Pengembangan Terapi Sel Punca dalam Perspektif Bioetika, KODEKI dan Aturan Regulasi

0

Oleh : Dr dr Abd Halim, Sp.PD, SH, MH, MM

BARU-baru ini, beredar viral testimoni berbau iklan oleh seorang tokoh masyarakat (DI) yang mendapat manfaat dari pengobatan sel punca di klinik pengobatan sel punca di Surabaya.

HASILNYA, metode pengobatan atau terapi itu pun diajukan untuk kalangan tenaga medis, khususnya para dokter agar bisa membuka klinik di berbagai daerah.

Apa Sel Punca dan Perkembangannya

Konsep sel induk sudah ada sejak akhir abad ke-19 sebagai postulat teoretis untuk menjelaskan kemampuan jaringan yang memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi dalam jangka waktu yang pendek.

Sel induk atau sel punca memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi 200 jenis sel yang berbeda, dari sel otot hingga sel otak. Dalam beberapa kasus, mereka juga memiliki kemampuan untuk memperbaiki jaringan yang rusak.

Di bidang kedokteran, sel induk disinyalir dapat mengobati berbagai penyakit, cedera, dan kondisi terkait kesehatan lainnya. Potensi sel punca dibuktikan dalam terapi leukemia pada anak-anak, juga dimanfaatkan untuk cangkok jaringan dan mengobati penyakit atau cedera pada tulang, kulit, dan permukaan mata.

BACA : Cetak 1.978 Dokter, Fakultas Kedokteran ULM Luluskan 3 Dokter Spesialis Penyakit Dalam Terbaik

Sampai saat ini, penelitian dan uji klinis aplikasi sel punca pada bidang kedokteran dan pengobatan masih terus dilakukan oleh para peneliti. Mereka percaya bahwa di kemudian hari terapi berbasis sel induk dapat digunakan untuk mengobati penyakit yang menghancurkan seperti kelumpuhan dan penyakit Alzheimer.

Terapi berbasis sel induk mendapat perhatian luas di pengobatan modern sebagai alternatif yang menjanjikan. Salah satunya adalah embrionic stem cells yang berasal dari embrio berusia dua minggu memiliki potensi tinggi untuk berdiferensiasi menjadi lapisan trigerminal, yaitu ektoderm, mesoderm, dan endoderm.

BACA JUGA : Akselerasi Benih Tranformasi Regulasi (Revisi) Praktik Kedokteran dan Dokter Indonesia

Sel induk tidak merangsang respon imun sehingga obat penekan kekebalan tidak diperlukan dalam penggunaannya. Kehadiran sel induk menjadi paradigma baru terapi pengobatan yang menjanjikan. Pemanfaatan Embryonic Stem Cells secara terbuka dinyatakan melalui hasil penelitian Thomson dan Gearhardt (1998) menyatakan bahwa tidak semua embrio yang berhasil dibuahi dalam proses bayi tabung memiliki potensi untuk berkembang menjadi manusia baru.

Embrio yang tidak terpakai tersebut masih memiliki sifat pluripoten yang berpotensi membentuk sel-sel organ-organ tertentu dalam tubuh manusia. Pemanfaatan sel punca yang berasal dari ‘sampah’ untuk terapi kedokteran menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang kontra, menolak stem cell karena alasan moral dari embrio, riset embrio yang dikhawatirkan tidak manusiawi dan risiko komersialisasi embrio.

BACA JUGA : Obat Virus Corona Diluncurkan, Simak Telaahan Ahli Farmakologi Fakultas Kedokteran ULM

Dari sudut pandang etika humanisme, penggunaan ESCs memicu polemik terkait status moral pemanfaatan embrio betapapun embrio tersebut baru berusia 4-5 hari pascafertilisasi. Sel induk dibedakan berdasarkan sumber asalnya, setiap sel tersebut memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi yang berbeda-beda. Sel yang mampu berkembang menjadi banyak jenis sel berbeda disebut pluripotent.

Sedangkan, sel yang hanya berkembang menjadi satu jenis sel saja disebut unipotent. Berdasarkan asal dan sifat dari sel induk tersebut, maka dikenal sel induk embrionik (embryonic stem cell), sel germinal/benih embrionik (embryonic germ cells), sel induk non-embrionik (adult stem cells), stem cell hematopoietic, dan stem cell mesenkimal.

BACA JUGA : Harapan Hukum Kedokteran dan Kesehatan Vs Oligarki Politik dan Finansial

Stem sel embrionik dan germinal disebut memiliki kemampuan pluripotent yang tinggi. Sel embrionik ini diekstrak dari blastosit embrio yang terdiri dari 50-150 sel, pada usia lima hari pasca fertilisasi. Sel germinal berasal dari sel germinal primordial janin berumur 5-9 minggu. Tiga jenis sel induk lainnya sudah tergolong ke dalam stem sel dewasa dengan kemampuan diferensiasi majemuk yang menurun.

Stem sel non-embrionik berasal dari darah tali pusat, sumsum tulang, darah ligament berbagai jaringan lain. Stem sel hematopoietic adalah sel induk pembentuk darah yang mampu membentuk sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah yang sehat. Sumber sel induk adalah sumsum tulang, darah tepi, dan darah tali pusar.

BACA JUGA : Mencermati RUU Praktik Kedokteran Usulan Pemerintah

Pembentukan sel induk terjadi pada tahap awal embryogenesis, yaitu dari mesoderm dan disimpan pada situs-situs spesifik di dalam embrio. Stem cell mesenkimal/mesenchymal stem cell (MSC) dapat ditemukan pada stroma sumsum tulang belakang, periosteum, lemak, dan kulit. MSC termasuk sel induk multipotensi yang dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang, otot ligament, tendon, dan lemak.

Bioetika dan KODEKI

Masalah bioetika utama yang terkait dengan sel induk manusia melibatkan turunan dan penggunaannya untuk penelitian. Saat ini, masalah etika muncul di sekitar derivasi dan penggunaan sel induk mirip sel HESC yang memiliki kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi semua jenis jaringan manusia.

Dalam waktu dekat, ketika bidang sel punca berkembang ke praktik klinik, masalah etis tambahan mungkin muncul terkait dengan penerapan klinis pengetahuan sel punca menjadi terapi pasien yang cukup aman, efektif, dan mudah diakses. Kontroversi pemanfaatan sel induk, telah muncul sejak pertama kali human embryonic cells (hESC) diisolasi dan dikultur dari embrio ‘sisa’ yang disumbangkan oleh pasangan pasien infertilitas tahun 1998.

BACA JUGA : RUU Pendidikan Kedokteran; Harapan Besar Bagi Masyarakat dan Dokter

Kekhawatiran masyarakat mengenai hESC merupakan dampak dari kegelisahan akan potensi negatif sains yang mungkin timbul dari pengembangan sains yang sudah ada sebelumnya, seperti cloning, komodifikasi bahan biologis, pencampuran spesies manusia dan hewan serta upaya manusia akan keabadian. Sebab, hESC muncul dengan membawa semua kegelisahan yang mungkin timbul akan sains dalam satu topik.

Guna menghindari kontroversi etis berkepanjangan mengenai sumber dan pemanfaatan sel induk, pada tahun 2005 mulai direkomendasikan pencarian sumber-sumber alternatif sel induk yang tidak melibatkan penghancuran atau membahayakan embrio manusia.

BACA JUGA : Prof Ruslan Muhyi Berpulang, Guru Besar Pertama di Fakultas Kedokteran ULM

Empat sumber alternatif sel induk yang layak dipertimbangkan secara serius. Yakni, sel induk dari embrio yang sudah mati, sel induk dari embrio hidup yang diperoleh dengan biopsi nondestruktif, sel induk yang diperoleh dari artefak seperti embrio rekayasa hayati dan sel induk yang diperoleh dari sel somatik yang berdiferensiasi.

Masing-masing pendekatan ini berusaha untuk menghasilkan bahan baku sel induk fungsional setara sel induk dari embrio tahap blastosit hidup yang berpotensi majemuk dan secara genetik stabil serta berumur panjang.

Kontroversi penelitian sel hESC mengenai penghancuran sel embrio saat ini sedikit teredam dengan munculnya sel induk pluripotent diinduksi atau induced pluripotent cells (iPS) dari fibroblas kulit manusia yang direkayasa secara genetis untuk berperilaku seperti sel-sel hESC.

Teknik sel iPS dipelopori pada tahun 2006 oleh Kazutoshi Takahashi dan Shinya Yamanaka di Kyoto, Jepang. Keduanya menggunakan retrovirus untuk memasukkan empat gen yang berhubungan dengan sel induk ke dalam fibroblast dermal tikus.

BACA JUGA : Beredar Ramuan Bangkitkan Imun dari Kemenkes, Dekan Fakultas Kedokteran ULM : Bukan Obat Covid-19!

Mereka menunjukkan bahwa sel-sel biasa ini dapat diprogram ulang untuk berperilaku seperti sel induk embrionik tikus dan disebut sel-sel yang diprogram ulang ini menginduksi sel-sel induk pluripotent (iPS cells).

Kemudian, laboratorium Yamanaka dan tim peneliti independen sama-sama mampu menunjukkan bahwa sel iPS manusia dapat dibuat dan memiliki perilaku sangat mirip sel hESC. Sel induk pluripotent diinduksi (iPS) secara teknis tidak memerlukan penggunaan dan manipulasi embrio manusia, hal tersebut membuat kehadiran sel iPS menjadi angin segar bagi kelompok penentang hESC.

Sel iPS diambil dari jaringan somatik di bawah kulit dengan teknik biopsi yang tidak merusak jaringan donor dan cenderung aman. Berdasarkan asal sumber sel dan cara mendapatkannya, Presiden Dewan Bioetik menyatakan iPS tidak memiliki pertentangan secara etika dan dapat digunakan pada manusia.

BACA JUGA : Kewajiban Etik dan Hukum bagi Dokter dalam Menjalankan Praktik Kedokteran dan Aspek Pidananya

Pada penelitian lanjutan, melalui proses sekuensing DNA dalam jumlah besar, ada kemungkinan ditemukannya informasi baru mengenai penyakit dan pengobatannya yang mengarah kepada komersialisasi hasil penelitian tanpa memperhatikan hak-hak donor.

Dalam proses penelitian ada kemungkinan terjadinya percampuran antara sel iPS manusia dengan sel hewan yang bertentangan dengan keyakinan pendonor.

Beberapa negara maju yang mengembangkan penelitian hESC melihat masalah ini tidak hanya sebatas masalah ilmu pengetahuan tetapi sudah menjadi masalah politik sehingga negara turut andil dalam mengeluarkan pendanaan, kebijakan dan peraturan yang mengaturnya.

BACA JUGA : Legalitas Praktik Kedokteran Melalui Audio Visual (Telemedicine) Saat Pandemi Covid-19

Di Amerika Serikat, setiap negara bagian memiliki regulasi yang berbeda mengenai pengembangan hESC termasuk cara pengadaan gamet, embrio dan sel lain dari donor. Jerman dan Italia hanya mengizinkan penelitian hESC dari embrio yang diimpor. Sedangkan, Kanada dan Denmark mengizinkan penelitian sel hESC dan derivasi garis sel hESC baru dari embrio IVF yang disumbangkan.

Pada lingkup internasional, pengawasan masalah bioetik sel induk ada di bawah naungan Komisi Bioetik Internasional (International Bioethic Committee/ IBC) sebagai cabang komisi UNESCO yang secara khusus mengikuti kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan penerapannya dengan tujuan untuk menjamin martabat dan kebebasan manusia.

BACA JUGA : Tinjauan Yuridis; Pemberian Informasi Terkait Rahasia Kedokteran dan Sanksi Pidana

Dalam laporan hasil pertemuan IBC di Kota Paris pada tahun 2001, dijelaskan mengenai status embrio manusia yang digunakan dalam penelitian sel induk adalah sel embrio yang berusia 5-13 hari sejak terjadinya fertilisasi, ketika sel masih dalam bentuk jaringan.

Dari sisi bioetika, penggunaan jaringan embrio untuk penelitian sel induk tidak menyalahi etika, karena jaringan embrio tersebut belum menunjukkan status sebagai manusia yang dihitung saat implementasi embrio terjadi pada rahim wanita.

Serangkaian masalah bioetika yang mengiringi pengembangan penelitian hESC muncul ketika penelitian yang terbatas di laboratorium akan menjadi aplikasi klinis yang melibatkan manusia. Isu-isu etis didengungkan selain untuk mempertanyakan kejelasan status moral embrio juga untuk melindungi manusia dengan hak dan kepentingan yang dapat dirugikan.

BACA JUGA : Kayu Bajakah Obat Kanker, Khasiat Kelakai Diteliti Fakultas Kedokteran ULM

Sampai saat ini, belum ada pedoman aplikasi klinis yang disetujui secara umum untuk pasien. Beberapa panduan yang dibuat oleh ISSCR mengenai peralihan penelitian sel induk kearah klinis adalah:

  • Standar rasio risiko atau manfaat yang akan mempengaruhi pasien harus dipertimbangkan secara seksama, untuk pembuatan dan pemrosesan sel harus melalui kesepakatan komunitas peneliti internasional, bank sel punca dan regulator.
  • Manusia sebagai subyek uji klinis harus mendapatkan prosedur perlakuan yang adil.

Dimulai dari mendapatkan peneliti yang ahli baik secara teknis juga etis, juga pasien harus mendapatkan informasi yang lengkap mulai dari resiko yang mungkin terjadi seperti fungsi sel yang abnormal, tumor hingga kanker bahkan efek terhadap kesehatan kedepannya dalam jangka panjang.

Pada praktiknya, sering terjadi pasien tidak menerima informasi panduan klinis terapi sel punca secara lengkap. Kombinasi akan keterbatasan informasi panduan klinis dan tingginya harapan pasien akan keberhasilan terapi sel punca, dimanfaatkan oleh segelintir oknum yang mengaku menyediakan terapi sel punca demi keuntungan materi.

‘Klinik Sel Punca’ ilegal bermunculan menawarkan terapi sel punca tanpa memiliki protokol transparansi, pengawasan atau perlindungan pasien yang jelas sehingga berisiko menempatkan pasien pada kerugian secara fisik dan finansial. Selain merugikan pasien, tindakan tidak bermoral tersebut dapat merugikan perkembangan penelitian sel punca itu sendiri, walaupun mungkin saja ada kemungkinan inovasi medis yang terjadi di dalamnya.

BACA JUGA : RSUD Ratu Zalecha Martapura Raih Predikat Paripurna dari Kemenkes

Seiring hal tersebut, perlu ada regulasi yang membedakan secara jelas antara pariwisata sel induk yang bermasalah dengan upaya sah perawatan pasien berbasis sel induk yang inovatif secara medis. Jika di masa lalu, perkembangan bioetika sebatas mengenai status embrio, saat ini wacana bioetika memiliki cakupan yang lebih luas dari nilai-nilai bersama seperti perlindungan subjek penelitian dan pasien dan keadilan sosial.

Pondasi moral penelitian sel punca dijanjikan untuk memperoleh manfaat seluas-luasnya bagi publik seiring dengan kemajuan penelitian klinis berbasis sel punca, sangat penting bahwa prinsip-prinsip keadilan sosial ditanggapi secara proaktif dan serius.

Konfigurasi ulang model properti intelektual, perizinan, pengembangan produk, dan pendanaan publik yang ada secara kreatif untuk mendorong akses sosial yang luas untuk terapi berbasis sel induk. Mencapai keadilan sosial juga dapat melibatkan panggilan pada badan pengawas dan pengawasan untuk memasukkan keterlibatan yang lebih besar dari advokasi masyarakat dan pasien dalam pengawasan penelitian.

Teknologi dan pengembangan sel induk merupakan pengetahuan yang sangat berpotensi untuk dikembangkan. Ahli pengobatan modern menyatakan bahwa teknologi sel punca selain diakui sebagai temuan istimewa akhir abad ke-20, juga dianggap sebagai revolusi genetika terbesar dalam dunia kedokteran dan diprediksi akan sangat berpengaruh dalam 100 tahun yang akan datang.

BACA JUGA : Sikapi Dugaan Malpraktik Tangani Pasien, Advokat Muda BLF Sarankan agar Dituntaskan Terbuka

Pengembangan penelitian harus memiliki sifat netralitas ilmu pada sisi epistemologinya saja. Artinya, tanpa berpihak pada siapapun selain kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat. Peran etika dalam kajian masalah sel Induk adalah memastikan bahwa penerapan pengetahuan memberikan seluas-luasnya manfaat bagi kesejahteraan manusia dengan tidak merugikan pihak lainnya.

Penggunaan sel induk yang berasal dari sel embrionik diperkenankan dengan memperhatikan asal sumber dan tujuan awal dan pemanfaatannya. Sel induk embrionik diizinkan untuk digunakan hanya dalam terapi klinis dan tidak untuk dikembangkan menjadi individu utuh.

Praktik terapi sel induk dalam pelaksanaannya harus mengutamakan keselamatan pasien. Informasi panduan klinis harus disampaikan dan dipahami oleh pasien secara menyeluruh, agar pasien memahami tidak hanya manfaat yang dapat diperoleh tetapi ada risiko yang menyertai terapi sel induk.

BACA JUGA : Penuhi SDM Nakes, Fakultas Kedokteran ULM Buka 6 Program Pendidikan Dokter Spesialis

Dalam KODEKI 2012 pada Pasal 6 bahwa setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Dalam penjelasan cakupan Pasal 6 nomor;

(2) Setiap dokter yang menerapkan penemuan teknik keilmuan, ketrampilan atau modalitas pengobatan baru yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat seharusnya memperoleh tanggapan dan saran dari mitra bestarinya masing-masing. 

(4) Setiap dokter wajib menerapkan praktik kedokteran berbasis bukti ilmiah yang telah teruji kebenarannya dan diterima dalam standar praktek kedokteran,demi kepentingan terbaik dan memperhatikan keselamatan pasien sesuaidengan tujuan, cara dan ciri metodologi penelitiannya masing-masing sebagaimana yang lazim berlaku.

Regulasi Sel Punca

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,  Pasal 70 yaitu :

  • Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.
  •  Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Permenkes Nomor 32 tahun 2018 tentang penyelenggaraan pelayanan sel punca dan/atau sel yang mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Menteri Nomor 833/MENKES/PER/IX/2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca; dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 834/MENKES/SK/IX/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Medis Sel Punca.

Pada Pasal 3 ayat (1) dalam rangka meningkatkan mutu dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel, dibentuk Komite. (3) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan memiliki tugas memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada Menteri dalam pengambilan kebijakan, termasuk pembinaan dan pengawasan pelayanan serta penelitian sel punca dan/atau sel di fasilitas pelayanan kesehatan.

Pasal 4 (1) Pelayanan sel punca dan/atau sel hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi. (2) Penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyakit degeneratif dan nondegeneratif. (3) Pemulihan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk peremajaan sel, jaringan, dan organ. (4) Larangan untuk tujuan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan larangan penggunaan sel punca dan/atau Sel untuk pembuatan individu baru.

BACA JUGA : Fakultas Kedokteran ULM Kembali Raih Prestasi, Kini Runner Up SPORA 2022

Sumber dan Jenis sel punca dan/atau Sel pada  Pasal 5 (1) Sel Punca dan/atau sel yang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan bersumber dari manusia, dan tidak diperbolehkan menggunakan sumber yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. (2) Sel Punca dan/atau Sel dari manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diambil dari pendonor yang dilakukan secara sukarela tanpa meminta imbalan.

(3) Pendonor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari diri sendiri atau orang lain. (4) Pendonor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas : a. Pendonor privat; dan b. Pendonor publik. (5) Pendonor privat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan Pendonor yang memberikan Sel Punca dan/atau Sel untuk orang yang telah ditunjuk oleh Pendonor. (6) Pendonor publik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b merupakan Pendonor yang memberikan Sel Punca dan/atau Sel untuk masyarakat yang membutuhkan. (7) Sumber Sel Punca dan/atau Sel dari Pendonor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang untuk diperjualbelikan.

BACA JUGA : Cetak 1.978 Dokter, Fakultas Kedokteran ULM Luluskan 3 Dokter Spesialis Penyakit Dalam Terbaik

Pasal 6 (1) Jenis Sel Punca terdiri atas: a. Sel Punca embrionik; dan b. Sel Punca nonembrionik. (2) Sel Punca embrionik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilarang digunakan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. (3) Sel Punca nonembrionik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa : a. Sel Punca mesenkimal; b. Sel Punca hematopoetik; dan c. Sel progenitor.

Pasal 7 Jenis Sel tubuh manusia yang dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat berupa : a. natural killer cell; b. Sel dendrit; c. makrofag; dan d. Sel lain yang bersumber dari isolasi Sel dewasa.

Pasal 19 (1) Aplikasi Klinis Sel Punca dan/atau Sel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Aplikasi Klinis Sel Punca dan/atau Sel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga medis yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.

(3) Aplikasi Klinis Sel Punca dan/atau Sel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme: a. sistemik; b. regional; c. lokal; dan d. topical. (5) Aplikasi klinis Sel Punca dan/atau Sel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dapat dilakukan di semua fasilitas pelayanan kesehatan.

BACA JUGA : Membanggakan, Tim Fakultas Kedokteran ULM Juarai Olimpiade Anatomi Nasional Amygdala 2022

Pasal 20 Penggunaan Sel Punca dan/atau Sel dilaksanakan pada: a. pelayanan terapi terstandar; dan b. penelitian berbasis pelayanan terapi. Bagian Kedua Pelayanan Terapi Terstandar Pasal 21 (1) Pelayanan terapi terstandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a merupakan pelayanan yang berbasis bukti (evidence based) dan telah mempunyai standar pelayanan.

(2) Pelayanan terapi terstandar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. pelayanan terapi Sel Punca dan/atau Sel autologus; dan b. pelayanan terapi Sel Punca dan/atau Sel pada kondisi tidak ada pilihan terapi lain, termasuk pemberian Sel Punca dan/atau Sel alogenik dari pendonor privat dan/atau publik. (3) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Komite dan ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 22 (1) Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel pada pelayanan terapi terstandar harus dilakukan di : a. rumah sakit; dan b. klinik utama. (2) Rumah sakit dan klinik utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diampu atau disupervisi, dan mempunyai perjanjian kerja sama dengan rumah sakit yang memiliki penetapan dari Menteri untuk melakukan penelitian berbasis pelayanan terapi.

BACA JUGA : Bersaing dengan Klinik Dokter Gigi, Kisah Tukang Gigi Tjang Eng Hwat Jaga Kepercayaan Pelanggan

(3) Rumah sakit sebagaimana pada ayat (1) huruf a melakukan aplikasi klinis Sel Punca dan/atau Sel sistemik, regional, lokal, dan topical sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3). (4) Klinik utama sebagaimana pada ayat (1) huruf b melakukan aplikasi klinis Sel Punca dan/atau Sel lokal dan topical sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf c dan huruf d. (5) Rumah sakit dan klinik utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki tenaga kesehatan yang kompeten di bidang Sel Punca dan/atau Sel, sarana, dan prasarana yang mendukung pelayanan terapi terstandar.

(6) Tenaga kesehatan yang kompeten di bidang Sel Punca dan/atau Sel sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuktikan dengan surat keterangan kompetensi dari kolegium masing-masing. (7) Dalam hal kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum dapat memberikan surat keterangan kompetensi tenaga kesehatan, pembuktian kompetensi dilakukan melalui sertifikat pelatihan yang diselenggarakan oleh Komite.

BACA JUGA : Akselerasi Benih Tranformasi Regulasi (Revisi) Praktik Kedokteran dan Dokter Indonesia

Pasal 24 ayat (1) Penelitian berbasis pelayanan terapi hanya diselenggarakan di rumah sakit yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 27 (1) Penyelenggara Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel dapat dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta.

(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. rumah sakit dan klinik utama, untuk pelayanan terapi terstandar; b. rumah sakit yang memiliki penetapan dari Menteri, untuk penelitian berbasis pelayanan terapi; c. laboratorium Sel Punca dan/atau Sel untuk kegiatan pengolahan Sel Punca dan/atau Sel; dan d. bank Sel Punca dan/atau Sel untuk kegiatan pelayanan berupa penyimpanan Sel Punca dan/atau Sel.

Pasal 32 (1) Dalam rangka menjaga mutu pelayanan pada penelitian berbasis pelayanan terapi Sel Punca dan/atau Sel, dilakukan audit mutu secara internal dan eksternal. (2) Audit mutu secara internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan penyelenggara Pelayanan Sel Punca dan/atau sel secara berkala sesuai dengan standar. (3) Audit mutu secara eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Komite secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali setiap tahun.

BACA JUGA : Harapan Hukum Kedokteran dan Kesehatan Vs Oligarki Politik dan Finansial

Adapun peraturan terkini yang berkaitan dengan institusi penyimpanan sel punca di Indonesia didukung oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan. pada bagian lampiran ke 39 Nomor 8 huruf a yang membahas tentang pelayanan yang ada di Bank Sel dan/atau Sel Punca dan nomor 9 huruf a angka 1 yang membahas tentang persyaratan produk/proses/jasa sel dan/atau sel punca.

Disebutkan dalam Permenkes ini bahwa: “Bank sel, sel punca dan/atau jaringan yang selanjutnya disebut Bank adalah suatu badan hukum yang bertujuan untuk menyimpan sel, sel punca dan/atau jaringan untuk keperluan pelayanan kesehatan.

Kesimpulan

Etika menjadi dasar dalam pembuatan panduan yang mengatur mengenai penelitian dan terapi sel induk agar semua pihak yang terlibat dapat membuat keputusan yang tidak menyampingkan nilai moral dan bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup yang lebih baik.

Penggunaan sel induk yang berasal dari sel embrionik diperkenankan dengan memperhatikan asal sumber dan tujuan awal dan pemanfaatannya. Sel induk embrionik diijinkan untuk digunakan hanya dalam terapi klinis dan tidak untuk dikembangkan menjadi individu utuh.

Dalam Permenkes 32 tahun 2018 sangat jelas menerangkan tentang pemanfaatan sel punca dalam pengobatan dan penelitian berbasis pengobatan dan dalam KODEKI pasal 6 juga apa yang dilakukan seorang dokter dalam praktik kedokteran serta dalam UUPK seorang dokter dibatasi oleh kompetensi yang dikeluarkan KKI dan kewenangan klinik yag diberikan faskes.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua BPH2A IDI Wilayah Kalimantan Selatan

Wakil Ketua Bidang Litbang  SDM PP PERDAHUKKI

Kompetemen HAMO PP PERSI

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.