Tantangan dan Peluang dalam Regulasi Klasifikasi Rumah Sakit dalam UU Kesehatan Berbasis Kompetensi

0

Oleh : Dr.dr. ABD HALIM, SpPD, SH.MH.MMRS

DALAM Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, terutama Pasal 1 ayat (10) disebutkan Rumah Sakit (RS) adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan (PKP) secara paripurna.

PELAYANAN kesehatan rumah sakit  secara paripurna yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/ atau paliatif dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Dalam UU Kesehatan ini, ada tambahan pelayanan yang dapat diberikan yaitu pelayanan kesehatan bersifat paliatif kepada pasien terminal atau tidak ada harapan sembuh. Amanat Pasal 184 ayat (1) UU Kesehatan bahwa rumah sakit menyelenggarakan fungsi pelayanan kesehatan perseorangan dalam bentuk spesialistik dan/atau subspesialistik dan pada ayat (2) bahwa RS dapat memberikan pelayanan Kesehatan dasar oleh dokter umum pada IGD dan MCU serta kegiatan pelayanan imunisasi.

Regulasi tentang perizinan dan klasifikasi RS saat ini yang masih berlaku adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja. Dalam regulasi ini klasifikasi rumah sakit umum (RSU) berdasarkan jumlah tempat tidur (TT) yang dimiliki RS yaitu RSU kelas A (250 TT), RSU kelas B (200 TT), RSU Kelas C (100 TT), RSU Kelas D (50 TT) dan untuk persyaratan sumber daya manusia (SDM) RS tenaga medis dokter spesialis dan subspesialis bersifat fakultatif (+/-).

BACA : RUU Kesehatan Beri Rasa Takut Profesi Kesehatan Dalam Melayani Rakyat

Regulasi rujukan pasien juga masih diterapkan rujukan berbasis berjenjang berdasarkan klasifikasi RS tersebut khususnya pasien JKN. Problem rujukan saat ini sistem rujukan yang dibangun saat ini berdasarkan tempat tidur dan jumlah SDM RS secara umum dan tidak menggambarkan dukungan peralatan untuk menunjang dalam bekerja serta adanya rencana penyesuaian tarif INA-CBGs menjadi single tarif sesuai dalam kemampuan pelayanan penyakit.

Berdasarkan evaluasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa klasifikasi RS saat ini tidak menggambarkan kompetensi pelayanan yang diperlukan dan ternyata bahwa RS dengan klasifikasi sama misalnya A namun kompetensi beda. Ambil contoh, RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan RSUD Ulin Banjarmasin yang sama-sama RS kelas A tapi secara kemampuan pelayanan berbeda.

BACA JUGA : Nasib Organisasi Profesi Nakes Pasca RUU Kesehatan Omnibus Law Disahkan, Salahkah Mereka Menolak?

Sistem rujukan yang diamanah dalam UU Nomor 17 Tahun 2023, Pasal 39 ayat (2) bahwa sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan dilakukan berdasarkan kebutuhan medis pasien dan kemampuan pelayanan pada setiap fasilitas pelayanan kesehatan.

Pada ayat (3) bahwa sistem rujukan pelayanan kesehatan perseorangan mencakup rujukan secara vertikal, horizontal, dan rujuk balik. Pada ayat (4) bahwa sistem rujukan Pelayanan Kesehatan perseorangan didukung dengan teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.

Dalam roadmap kebijakan Kemenkes RI berdasarkan UU Kesehatan akan merevisi klasifikasi RS dan sistem rujukan berdasarkan kebutuhan medis pasien dan kemampuan pelayanan pada setiap fasilitas [elayanan kesehatan (berbasis kompentensi). Kompetensi didasarkan pada kemampuan tertinggi yang dimiliki rumah sakit pada masing-masing jenis pelayanan.

BACA JUGA : Omnibus Law RUU Kesehatan Cabut 9 UU Kesehatan, Bagaimana Dengan Organisasi Profesi IDI Dan Perannya?

Rumah sakit akan memiliki kemampuan yang berbeda- beda untuk tiap layanan yang diberikan dan dengan berbasis kompentensi, maka pola pembayaran biaya pelayanan berdasarkan kemampuan layanan RS tersebut dan bukan lagi berbasis jenjang klasifikasi RS saat ini.

Dua komponen penting dalam penentuan klasifikasi RS berbasis kompetensi adalah ketersedian dan kemampuan/keahlian SDM dokter spesialis /subspesialis dan ketersedian sarana prasarana dan alat kesehatan yang dimiliki RS dalam menunjang pelayanan SDM rumah sakit dalam melayani pasien berbasis kompetensi.

Tingkat kompentesi SDM utama dalam klasifikasi RS berbasis kompentesi dapat memberikan pelayanan spesialis, subspesialis dan multisubspesialis. Sebagai ilustrasi tingkat kompetensi disebut pelayanan spesialistik hingga tuntas (operasi usus buntu tanpa perforasi). Pelayanan subspesialistik hingga tuntas (usus buntu dengan perforasi à laparotomi). Pelayanan multisubspesialistik hingga tuntas (usus buntu dengan perforasi, komplikasi TB usus dan lainnya).

BACA JUGA : Pelanggaran Etika dan Hukum dalam Perundungan di Dunia Kesehatan dan Kedokteran

Arah kebijakan ini ditinjau dari aspek manajemen RS dapat memberikan peluang dan tantangan bagi pemilik RS. Termasuk, RS itu sendiri. Arah bisnis plan dan strategi bisnis RS. Dengan regulasi ini, maka RS dengan kelas D dan C dapat memberikan pelayanan sampai kompetensi tertinggi (multisubspesialis) dengan pelayanan unggulan khusus penyakit tertentu dan rujukan utama dari RS lainnya.

Tantangan terberat dalam hal ini adalah penyediaan komponen SDM RS subspesialis yang masih terbatas jumlahnya dan produksinya terbatas. Di samping penyediaan sarana prasana dan alat kesehatan yang membutuhkan biaya yang sangat mahal dan besar. Pemilik RS akan mempertimbangkan untuk BEP investasi tersebut dan tarif INA CBGs yang belum sesuai nilai unit cost yang dikeluarkan RS.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Pascasarjana MMRS ARS University Bandung

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.