Legalitas Praktik Kedokteran Melalui Audio Visual (Telemedicine) Saat Pandemi Covid-19

0

Oleh : dr Abd. Halim, SpPD.SH.MH.MM.FINASIM

DALAM keadaan wabah Covid-19 yang masih belum terkendali ini hubungan tatap muka antara dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan menjadi rawan terhadap penyebaran penyakit infeksi termasuk Covid-19.

TERUTAMA soal penyebaran dari pasien kepada dokter maupun penyebaran dari dokter yang sudah terinfeksi sebelumnya sebagai Orang Tanpa Gejala (OTG) kepada pasien.

Untuk itu, dibutuhkan langkah-langkah dalam melakukan pencegahan terhadap penyebaran Covid-19, salah satunya dengan pembatasan pelayanan kesehatan secara tatap muka melalui memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi berupa telemedicine.

Secara harfiah, istilah telemedicine adalah layanan kesehatan yang dilakukan dari jarak jauh . (Telemedicine is health care carried out at a distance). Telemidicine adalah transfer data medik elektronik dari satu lokasi ke lokasi lainnya (telemedicine is the transfer of electrical medical data from one location to another).

Definisi Telemedicine menurut Perkonsil Nomor 74 Tahun 2020 dan Permenkes nomor 20 tahun 2019 adalah pemberian pelayanan kedokteran jarak jauh oleh Dokter dan Dokter Gigi dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.

Seperti, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.

Kegiatan telemedis merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa kita tolak dinegara kita dijaman milineal ini.

Pelayanan Telemedis terdiri atas pelayanan:

a. teleradiologi;

b. teleelektrokardiografi;

c. teleultrasonografi;

d. telekonsultasi klinis; dan

e. pelayanan konsultasi Telemedicine lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Pasal 3 ayat 1 PMK 20 2019).

Adapun yang dimaksud dengan konsultasi kesehatan online  yang lagi marak saat ini dapat dikategorikan sebagai telekonsultasi klinis, yaitu pelayanan konsultasi klinis jarak jauh untuk membantu menegakkan diagnosis, dan/atau memberikan pertimbangan/saran tata laksana.

Pelayanan telemedicine ini dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki surat izin praktik (SIP) di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) penyelenggara.(Pasal 2 PMK 20 2019).

Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 36 bahwa setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik. Pada Pasal 37 dijelaskan bahwa SIP itu dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang ditempat praktik kedokteran dilaksanakan dan berlaku ditempat praktek yang tertera dalam SIP tersebut.

Fasyankes penyelenggara telemedicine tersebut meliputi :

1. Fasyankes pemberi konsultasi

2. Fasyankes peminta konsultasi.

Fasyankes pemberi konsultasi adalah fasyankes yang menerima permintaan dan memberikan pelayanan konsultasi

telemedicine, yaitu rumah sakit milik pemerintah pusat, daerah, dan swasta. Sedangkan, fasyankes peminta konsultasi adalah fasyankes yang mengirim permintaan konsultasi  telemedicine, berupa rumah sakit, fasyankes tingkat pertama, dan fasyankes lain.

Jenis-jenis fasyankes tersebut jika merujuk pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mempunyai SIP dokter antara lain tempat praktik mandiri tenaga kesehatan, pusat kesehatan masyarakat; klinik pratama dan utama.

Ada hak dan kewajiban yang didapatkan dijalankan masing masing fasilitas seperti tertuang dalam pasal 17 dan 18 Permenkes 20 tahun 2019.

Pasal 17 ayat (1) Fasyankes Pemberi Konsultasi dalam melaksanakan Pelayanan Telemedicine memiliki hak:

1. Menerima informasi medis berupa gambar, citra (image), teks, biosinyal, video dan/atau suara yang baik dengan menggunakan transmisi elektronik untuk menjawab konsultasi dan/atau memberi Expertise; dan

2. Menerima imbalan jasa Pelayanan Telemedicine.

Dan ayat (2) Fasyankes Pemberi Konsultasi dalam melaksanakan Pelayanan Telemedicine memiliki kewajiban:

1. Menyampaikan jawaban konsultasi dan/atau memberikan Expertise sesuai standar.

2. Menjaga kerahasiaan data pasien.

3. Memberikan informasi yang benar, jelas, dapat dipertanggungjawabkan, dan jujur mengenai hasil konsultasi dan/atau Expertise.

4. Menyediakan waktu konsultasi 24 (dua puluh empat) jam dalam sehari, 7 (tujuh) hari dalam seminggu.

Pada Pasal 18 ayat (1) Fasyankes Peminta Konsultasi dalam melaksanakan Pelayanan Telemedicine memiliki hak:

1. Memperoleh jawaban konsultasi dan/atau menerima Expertise sesuai standar

2. Menerima informasi yang benar, jelas, dapat dipertanggungjawabkan, dan jujur mengenai hasil konsultasi dan/atau Expertise.

Ayat (2) Fasyankes Peminta Konsultasi dalam melaksanakan Pelayanan Telemedicine memiliki kewajiban:

1. Mengirim informasi medis berupa gambar, pencitraan, teks, biosinyal, video dan/atau suara dengan menggunakantransmisi elektronik sesuai standar mutu untuk meminta jawaban konsultasi dan/atau memperoleh Expertise

2. Menjaga kerahasiaan data pasien.

3. Memberikan informasi yang benar, jelas, dapat dipertanggungjawabkan, dan jujur mengenai hasil konsultasi dan/atau Expertise kepada pasien.

Kelebihan utama layanan telemedicine adalah penggunaan teknologi untuk mengeliminasi batasan jarak dan geografis serta biaya yang terkait, khususnya untuk pelayanan medis di daerah terpencil yang kekurangan tenaga medis.

Hal ini sangat relevan dan menjadi keniscayaan di Indonesia, yang memiliki area sangat luas, terdiri dari ribuan pulau, dengan infrastruktur transportasi penghubung masih belum baik, serta memiliki jumlah dokter yang sangat terbatas.

Sementara itu, jaringan internet dapat ditunjang melalui satelit ke seluruh pelosok nusantara, melintasi kendala geografis seperti laut, bukit, gunung, hutan, dan sebagainya. Tentu saja dengan demikian pemerintah Indonesia perlu memprioritaskan investasi dalam pengadaan satelit milik negara yang dapat menunjang pelayanan telemedis.

Layanan telemedis dapat dikembangkan mulai dari edukasi, komunikasi/ konsultasi, layanan farmasi jarak jauh, supervisi, ekspertisi, hingga pembedahan jarak jauh (telesurgery). Telesurgery menggunakan teknologi robotik dan komunikasi audiovisual sehingga seorang dokter dapat melakukan pembedahan dari jarak jauh, mengeliminasi batasan jarak dan geografis serta memudahkan operasi di tempat-tempat terpencil yang tidak memiliki tenaga ahli.

Bentuk bentuk layanan Telemedicine yang biasa dilakukan antara lain:

1. Layanan Telemedicine dengan maksud konsultasi dan supervisi antara staf medis. Dalam layanan telemedis jenis ini, satu pihak staf medis melakukan interaksi tatap muka langsung dengan pasien, namun melibatkan staf medis lain yang dihubungi melalui layanan telemedicine . Umumnya kedua pihak staf medis itu adalah sama-sama dokter atau tim dokter, namun dapat juga antara perawat home care dengan dokter. Contoh paling sederhana adalah konsul dokter jaga IGD kepada spesialis, atau konsul dokter residen kepada konsultannya. Semangat untuk konsultasi kepada dokter yang lebih ahli ini sangat sesuai dengan yang tertera pada Kode Etik Kedokteran (KODEKI) pasal 14. Dengan melibatkan dokter lain yang lebih kompeten melalui wahana telemedicine, maka diharapkan dokter tersebut dapat memberikan pelayanan medis yang lebih berkualitas kepada pasiennya.

2. Layanan Telemedicine dengan maksud Ekspertise. Seperti halnya konsultasi antara dokter dengan spesialis, layanan telemedis dapat digunakan untuk memperoleh ekspertise atas pemeriksaan penunjang tertentu dari ahli atau spesialis terkait. Salah satu yang paling sering digunakan adalah teleradiologi, yakni penggunaan teknologi untuk mengirim data radiologis ke sentra lain untuk diinterpretasi oleh dokter spesialis radiologi di tempat tersebut. Teknik ini sangat membantu pelayanan medis mengingat jumlah spesialis radiologi yang sangat terbatas.

3. Layanan Telemedice dengan maksud konsultasi antara Dokter dan Pasien. Dalam layanan telemedis jenis ini, terjadi interaksi jarak jauh antara dokter dan pasien. Salah satu contoh klasik adalah layanan emergensi seperti layanan 911 di Amerika Serikat, di mana setiap orang dengan akses telepon dapat menghubungi nomor 911 ketika ada kegawat- daruratan termasuk dalam bidang medis. Layanan telemedis ini berpotensi untuk memberikan pelayanan triage medis yang cepat, mudah, dan murah, yang dapat mengarahkan pasien gawat darurat ke rumah sakit terdekat, memanggilkan ambulans, atau sekadar merujuk pasien ke spesialis yang tepat berdasarkan gejalanya.

Di era modern ini, semakin bermunculan program tertentu yang menawarkan konsultasi masalah kesehatan melalui internet atau aplikasi ponsel berupa platform. Jenis inilah yang banyak berkembang di dunia termasuk Indonesia.

Walaupun dimulai dengan tujuan dan maksud yang baik, namun layanan telemedicine jenis ini rentan dengan masalah etik, antara lain keyakinan profesional dokter terhadap informasi kondisi pasien yang didapatkan terbatas, perbedaan harapan dokter dan pasien, dan masalah konfidensialitas.

KODEKI Pasal 7 menjelaskan bahwa, “Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”.

Pada cakupan pasal 7 tersebut juga disebutkan pada ayat 1, “Dalam memberikan surat keterangan medis/ahli atau ekspertis dan pendapat ahli apapun bentuk dan tujuannya, dokter wajib mendasarkan isinya pada fakta medis yang diyakininya benar sesuai dengan pertanggungjawaban profesinya sebagai dokter”.

Salah satu frase kunci pada uraian pasal di atas ialah bahwa dokter dalam memberi pendapat harus berdasarkan kondisi klinis pasien yang “diyakininya benar”. Perlu ada keyakinan profesional dari dokter dalam setiap putusan profesional yang dibuat, termasuk di dalamnya penegakan diagnosis dan penentuan tatalaksana.

Dokter perlu menyadari bahwa wahana telemedicine memiliki keterbatasan dalam menyajikan keutuhan informasi kondisi klinis pasien. Pemeriksaan fisik yang sifatnya observasional (inspeksi) memang dapat difasilitasi melalui layanan telemedis dengan metode video, namun pemeriksaan fisik lainnya yang non-observasional (palpasi, perkusi, dan auskultasi) atau memerlukan manuver khusus tidak mungkin didapatkan melalui wahana telemedis.

Keterbatasan informasi tersebut berpotensi menyebabkan pelayanan medis menjadi serba terbatas atau bahkan salah mengambil keputusan. Secara umum, dokter yang dihubungi melalui wahana telemedis pada konteks ini perlu mengarahkan pasien dan atau keluarganya untuk menanyakan hal-hal tersebut ke dokter atau tim dokter yang sedang merawatnya.

Dokter yang berkiprah dalam dunia telemedis harus sangat berhati-hati dalam memberikan saran medisnya sebagaimana dalam praktik dunia nyata.

Saat ini seperti yang kita ketahui kini juga berkembang platform digital layanan konsultasi yang memiliki konsep konsultasi online dengan para dokter.

Namun berdasarkan penelusuran kami, platform digital itu bukan merupakan penyelenggara pelayanan kesehatan, melainkan hanya sebuah platform yang merupakan sarana untuk memudahkan pencarian atas layanan kesehatan.Pada Sub bab B Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2017 tentang Strategi E-Kesehatan Nasional

menerangkan bahwa e-Kesehatan adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pelayanan dan informasi kesehatan, utamanya untuk meningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan proses kerja yang efektif dan efisien.

Sementara itu, istilah “penyelenggara sistem elektronik” didefinisikan dalam Pasal 1 angka 6a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008  tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: ” Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.” Oleh karena itu, harus dibedakan antara platform penghubung atau penyedia jasa dengan pelayanan atau penyelenggara telemedicine.

Walaupun layanan telemedicine dan praktik daring memiliki keterbatasan dibandingkan praktik kedokteran tatap muka, di antaranya adalah tidak dapat dilakukan perasat pemeriksaan fisis yang merupakan bagian sangat penting untuk menegakkan diagnosis.

Namun telemedicine dan praktik daring memberikan lebih banyak manfaat pada saat situasi pandemi Covid-19, ketika semua upaya menurunkan risiko penularan penyakit, mempunyai nilai tinggi ditinjau dan sudut pandang etika kedokteran.

Penggunakan fasihtas Iayanan telemedicine dan pelayanan kedokteran daring selama masa pandemi Covid-19 dengan tetap memperhatikan aspek hukum, etika profesi kedokteran, dan etika komunikasi di era teknologi informasi dengan sebaik-baiknya.

Konsil Kedokteran Indonesia telah mengeluarkan Perkonsil Nomor 74 Tahun 2020 yang mengatur layanan praktik kedokteran melalui telemedicine dalam masa pandemi Covid-19 ini di samping itu juga Menteri Kesehatan RI sesuai arahan Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/303/2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Rangka Pencegahan Virus Corona.

Untuk mencegah penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19), dokter yang meliputi dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi spesialis, dan dokter subspesialis dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi berupa telemedicine dalam pemberian pelayanan kesehatannya, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan melalui telemedicine dapat dilakukan selama Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan/atau Bencana Nasional Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dalam rangka pencegahan penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19).

2. Pelayanan telemedicine merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Dokter dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendiagnosis, mengobati, mencegah, dan/atau mengevaluasi kondisi kesehatan pasien sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya, yang dibuktikan dengan surat tanda registrasi (STR) dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.

3. Pelayanan telemedicine dilakukan antara Dokter dengan pasien, dan/atau antara Dokter dengan Dokter lain. Dokter yang memberi pelayanan telemedicine kepada pasien bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan yang diberikannya, termasuk menjamin keamanan data pasien yang mengakses pelayanan telemedicine. Penyelenggaraan pelayanan telemedicine antara Dokter dengan Dokter lain diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Hasil pelayanan telemedicine dicatatkan dalam catatan digital atau manual yang dipergunakan oleh Dokter sebagai dokumen rekam medik dan menjadi tanggung jawab dokter, harus dijaga kerahasiaannya, serta dipergunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Kewenangan Dokter dalam memberikan pelayanan telemedicine meliputi kewenangan untuk melakukan:

• Anamnesa, mencakup keluhan utama, keluhan penyerta, riwayat penyakit yang diderita saat ini, penyakit lainnya atau faktor risiko, informasi keluarga dan informasi terkait lainnya yang ditanyakan oleh Dokter kepada pasien/keluarga secara daring.

• Pemeriksaan fisik tertentu yang dilakukan melalui audiovisual.

• Pemberian anjuran/nasihat yang dibutuhkan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang, dan/atau hasil pemeriksaan fisik tertentu. Hasil pemeriksaan penunjang dapat dilakukan oleh pasien dengan menggunakan modalitas/sumber daya yang dimilikinya atau berdasarkan anjuran pemeriksaan penunjang sebelumnya atas instruksi dokter. Anjuran/nasihat dapat berupa pemeriksaan kesehatan lanjutan ke fasilitas pelayanan kesehatan.

• Penegakkan diagnosis, dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan yang sebagian besar didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik tertentu atau pemeriksaan penunjang.

• Penatalaksanaan dan pengobatan pasien, dilakukan berdasarkan penegakkan diagnosis yang meliputi penatalaksanaan nonfarmakologi dan farmakologi, serta tindakan kedokteran terhadap pasien/keluarga sesuai kebutuhan medis pasien. Dalam hal dibutuhkan tindakan kedokteran atau penatalaksanaan lebih lanjut, pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan ke fasilitas pelayanan kesehatan.

• Penulisan resep obat dan/atau alat kesehatan, diberikan kepada pasien sesuai dengan diagnosis.

• Penerbitan surat rujukan untuk pemeriksaan atau tindakan lebih lanjut ke laboratorium dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan sesuai hasil penatalaksanaan pasien.

Dokter yang menuliskan resep elektronik obat dan/atau alat kesehatan harus bertanggung jawab terhadap isi dan dampak yang mungkin timbul dari obat yang ditulis dalam resep elektronik. Penulisan resep elektronik dikecualikan untuk obat golongan narkotika dan psikotropika. Salinan resep elektronik harus disimpan dalam bentuk cetak dan/atau elektronik sebagai bagian dokumen rekam medik.

Penulisan resep elektronik obat dan/atau alat kesehatan dapat dilakukan secara tertutup atau secara terbuka, dengan ketentuan sebagai berikut:

• Penyelenggaraan resep elektronik tertutup dilakukan melalui aplikasi dari Dokter ke fasilitas pelayanan kefarmasian.

• Penyelenggaraan resep elektronik terbuka dilakukan dengan cara pemberian resep elektronik secara langsung kepada pasien.

• Penyelenggaraan resep secara terbuka membutuhkan kode identifikasi resep elektronik yang dapat diperiksa keaslian dan validitasnya oleh fasilitas pelayanan kefarmasian.

• Resep elektronik digunakan hanya untuk 1 (satu) kali pelayanan resep/pengambilan sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan dan tidak dapat diulang (iter).

Pelayanan resep elektronik di fasilitas pelayanan kefarmasian.

• Pelayanan kefarmasian dilaksanakan oleh apoteker dengan mengacu pada standar pelayanan kefarmasian pada masing-masing jenis fasilitas pelayanan kefarmasian.

• Setiap perubahan pada resep elektronik yang mungkin diperlukan karena sesuatu hal, harus sepengetahuan dan dengan persetujuan dari dokter yang menerbitkan resep elektronik.

• Sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan berdasarkan resep elektronik dapat diterima oleh pasien/keluarga pasien di fasilitas pelayanan kefarmasian, atau melalui pengantaran sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan.

Pengantaran sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen

kesehatan dalam resep elektronik secara tertutup dengan ketentuan sebagai

berikut:

• Pengantaran dilakukan melalui jasa pengantaran atau penyelenggara sistem elektronik kefarmasian

• Jasa pengantaran, atau penyelenggara sistem elektronik kefarmasian dalam melakukan pangantaran, harus:

1. Menjamin keamanan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan yang diantar

2. Menjaga kerahasiaan pasien

3. Mengantarkan sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan dalam wadah yang tertutup dan tidak tembus pandang

4. Memastikan sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan yang diantarkan sampai pada tujuan

5. Mendokumentasikan serah terima sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan

6. Pengantaran melengkapi dengan dokumen pengantaran, dan nomor telepon yang dapat dihubungi.

Apoteker pada fasilitas pelayanan kefarmasian yang menerima resep

elektronik wajib menyampaikan informasi sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan kepada pasien secara tertulis dan/atau melalui Sistem Elektronik.

Pasien yang telah menerima sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan harus menggunakan obat sesuai dengan resep dan informasi dari apoteker.

Demikian sedikit bahasan tentang dasar hukum pelaksanaan praktek kedokteran dengan telemedicine secara umum dan pada saat pandemi Covid-19 berlangsung, semoga bermanfaat.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Bidang Advokasi Medikolegal PAPDI Cabang Kalsel

Kandidat Doktor Ilmu Hukum PDIH FH UNISSULA

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2020/07/05/legalitas-praktik-kedokteran-melalui-audio-visual-telemedicine-saat-pandemi-covid-19/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.