Bakancangan Urat Gulu dan Serangan Ganti Pakoleh

0

Oleh: Noorhalis Majid

HARI-hari sekarang tensi politik semakin tinggi. Hampir di banyak kesempatan, termasuk ngobrol di warung kopi atau di acara keluarga, selalu saja diisi pembicaraan tentang politik. Terutama terkait dukung mendukung sosok Capres- Cawapres.

BERBAGAI kubu muncul, ada yang fanatik mengarah pada “ragap papan”. Ada pula yang bergaya moderat, seolah menjaga jarak, terkesan mampu melihat serta mendengar berbagai sudut pandang.

Tidak dapat dipungkiri, kemajuan informasi dan kecepatan media sosial merespon perkembangan, membuat semua orang memiliki akses yang sama mendapatkan berita. Seketika walau tanpa latar pendidikan cukup, dapat saja menjadi pengamat atau ahli. Bahkan gayanya bisa melebihi ahli, karena mampu menjabarkan pendapat tokoh-tokoh yang dikaguminya dengan rinci.

Hanya saja, manakala sama-sama awam, tidak mengerti substansi yang dibahas. Atau tidak memiliki ilmu cukup dalam membangun argument, tetapi ngotot dengan pendapat dan merasa paling tahu, paling benar, yakin dengan apa yang dipegang, akhirnya berujung debat kusir.

BACA : Bentuk Timses Daerah, Adu Strategi Menangkan Sang Capres-Cawapres 2024 di Kalsel

Dalam kebudayaan Banjar menyindir hal seperti itu dengan ungkapan “bakancangan urat gulu”. Tidak ada salahnya mempertahankan pendapat sekuat-kuatnya. Atau ngotot dengan pilihan yang diyakini. Hanya saja yang harus tetap dijaga adalah “kewarasan”, sehingga mampu meletakkan persoalan pada posisinya. Bahwa semua yang diperbincangkan ini adalah “politik”.

Ketika sudah disebut “politik”, diperlukan kelenturan, bahkan daya lenting untuk bisa melihat berbagai situasi. Tidak bisa dengan cara ngotot se ngotot-ngototnya, seolah tidak mungkin berubah, karena di dalamnya penuh negosiasi, kompromi dan kesepakatan.

Kalau mampu menempatkan politik sebagai cara menegosiasikan kepentingan, maka pasti mengerti bahwa semuanya tidak ada yang final, tidak ada yang titik. Apalagi ketika Pilpres 2024 ternyata berlangsung dua putaran. Saat itu negosiasi dan kompromi akan terjadi. Pilihannya harus taktis strategi, tidak perlu “bakancangan urat gulu”.

Serangan Ganti Pakoleh

Wajar saja warga menerima pemberian uang. Sebab, berapa lama waktu terbuang untuk datang ke TPS? Bila itu digunakan untuk bekerja, pastilah menghasilkan uang. Kalau hari itu harus libur, siapa yang menanggung pengeluaran sehari? Sedangkan bekerja saja hasilnya tidak memadai, tidak mencukupi makan sehari.

BACA JUGA : Ini Komentar Elite Parpol Terkait Debat Capres ; Ganjar Lebih Baik, Prabowo Patriotik, Dan Anies Sangat Realistis

Itulah argumen yang sering muncul untuk membenarkan money politik. Sehingga uang suap berubah nama menjadi pengganti waktu. Bila tidak ada uang pengganti waktu, akan banyak yang golput. Apalagi bila tidak ada alasan kuat berpartisipasi menyukseskan pemilu.

Pengganti waktu atau konpensasi dalam kebudayaan Banjar, disebut dengan “ganti pakoleh”. Maksud dari ungkapan ini, bahwa waktu harus dihargai, jangan terbuang percuma. Apalagi ketika sehari bekerja untuk makan sehari. Bila tidak bekerja, tidak ada pendapatan untuk hari itu. Pakoleh seratus ribu, harus dibayar seratus ribu pula.

Tentu saja tidak benar “ganti pakoleh” menjadi dalih tindakan money politik. Karena pemilu yang jujur dan adil, menentukan masa depan. Setidaknya menentukan nasib warga lima tahun ke depan.

Jangan mengeluh kalau nanti harga-harga melambung tinggi, tarif listrik dan air mahal, pajak dinaikkan sesuka hati, biaya kesehatan dan pendidikan tak terjangkau, dan korupsi merajalela. Karena semua itu buah dari kebijakan politik yang berawal dari hasil Pemilu.

BACA JUGA : TPD AMIN Kalsel: Anies Baswedan Unggul Dalam Debat Capres Dan Menguasai Materi

Pertaruhan “ganti pakoleh” tentu lebih dari sekedar seratus atau dua ratus ribu. Lebih dari sekedar pengorbanan pendapatan sehari. Namun menyangkut “pakoleh” warga untuk mewujudkan kesejahtraan bersama selama lima tahun.

Tinggi atau rendahnya partisipasi, tidak akan mengubah kuantitas anggota legislatif maupun presiden. Jumlahnya tetap sesuai rencana. Yang berbeda mungkin kualitasnya. Apabila partisipasinya rendah, karena hanya datang ke TPS kalau dibayar, maka kualitas pemilu pasti menurun. Warga justru mempertaruhkan “ganti pakoleh” selama lima tahun.(jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Forum Ambin Demokrasi

Mantan Ketua KPU Kota Banjarmasin

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.