Harapan Hukum Kedokteran dan Kesehatan Vs Oligarki Politik dan Finansial

0

Oleh :  Abd. Halim, dr.SpPD.SH.MH. MM.Dr(c) FINASIM.CMed.CLA.cAdv.CMCHt.

DALAM bentuk pemerintahan suatu negara ada yang disebut oligarki. Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi.

MELANSIR Thoughtco bahwa Oligarki berasal dari kata Yunani “oligarkhes”, yang berarti “sedikit yang memerintah”. Jadi, oligarki adalah struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, agama, politik, atau kekuatan militer.

Semua bentuk pemerintahan, seperti demokrasi, teokrasi, dan monarki dapat dikendalikan oleh oligarki. Adanya konstitusi atau piagam formatif serupa tidak menghalangi kemungkinan oligarki memegang kendali yang sebenarnya atas pemerintahan.

Di bawah “hukum besi oligarki” semua sistem politik akhirnya berkembang menjadi oligarki. Dalam demokrasi, oligarki menggunakan kekayaan mereka untuk mempengaruhi pejabat terpilih.

Dalam monarki, oligarki menggunakan kekuatan militer atau kekayaan mereka untuk mempengaruhi raja atau ratu. Secara umum, para pemimpin oligarki bekerja untuk membangun kekuatan mereka sendiri dengan sedikit atau tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat.

Oligarki Politik dan Finansial di Indonesia

Meningkatnya oligarki merupakan salah satu fenomena paling menonjol di tengah perkembangan politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan oligarki sering disebut banyak lembaga dan pengamat politik Indonesia sebagai salah satu indikator utama kemunduran demokrasi Indonesia.

Oligarki terus meningkat dengan kian menguatnya koalisi politik gemuk fraksi-fraksi di DPR. Koalisi besar pro-rezim; F-PDIP, F-PG, F-Nasdem, F-PKB, F-Gerindra, F-PPP, F-PAN) dapat melakukan langkah politik apapun. Dua fraksi sisanya: FPKS dan F-Partai Demokrat hampir tak berdaya membendung langkah oligarki politik.

BACA : Pertegas Wilayah Kelola Rakyat, Robohkan Oligarki Kapitalistik

Meningkatnya oligarki yang hampir tidak terbendung terlihat dalam sejumlah langkah politik pejabat publik puncak dan elit politik di lingkungan eksekutif dan legislatif. Mereka yang bisa disebut ‘oligark’ (oligarch) politik, sering mengambil keputusan menyangkut kepentingan publik dan hajat orang banyak di dalam lingkaran mereka sendiri. Oligarki politik tidak melibatkan warga yang diwakili masyarakat madani, asosiasi dan serikat profesi, ormas dan LSM.

Kenyataan ini jelas terlihat dalam proses legislasi di DPR sejak perubahan UU No 30/2002 KPK menjadi UU No 19/2019 tentang KPK; perubahan UU No 4/2009 tentang Minerba menjadi UU No 3/2020 tentang Minerba; dan pengajuan RUU Omnibus Law sejak Oktober 2019 menjadi UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Perubahan dan pengesahan semua UU itu sepenuhnya ditentukan oligarki eksekutif dan legislatif. Publik tidak dilibatkan secara signifikan dalam perubahan dan pembentukan UU tersebut. Dalam gugatan masyarakat sipil terhadap berbagai UU tersebut oligarki politik didukung lembaga yudikatif (MK dan MA).

Bagaimana Corak dan Tipologi Oligark dan Oligarki di Indonesia?

Baik di masa Presiden Soekarno maupun era Presiden Soeharto agaknya praktik oligarki politik dan oligarki finansial belum terlalu eksis atau meluas. Presiden Soekarno dalam masa Demokrasi Terpimpin (1959-65) menjadi ‘penguasa tunggal’; mengambil semua keputusan praktis terpusat pada dirinya.

Sedangkan Presiden Soeharto dengan demokrasi Pancasila, awalnya juga memusatkan kekuasaan pada dirinya; mengambil keputusan tanpa melibatkan tiga partai politik, apalagi publik luas.

Sejak masa Presiden Soeharto mulai berkembang gejala ‘oligark finansial’ atau ‘oligark bisnis’ yang juga lazim disebut ‘cukong’. Mereka adalah super rich dengan korporasi besar yang dekat dengan Presiden Soeharto. Tetapi, berapa besar persisnya pengaruh oligark terhadap kebijakan politik Presiden Soeharto masih harus diteliti; tetapi bisa diasumsikan, pak Harto terlalu kuat untuk bisa dikendalikan para oligark.

BACA JUGA : Jika Politik Transaksional, Oligarki Campur Tangan, Isra : Pilgub Kalsel Hingga PSU Contoh Anomali

Oligarki politik yang memiliki jaringan dengan oligarki finansial atau oligarki cukong—super rich di tingkat nasional, dan the rich di tingkat lokal tumbuh pesat di masa reformasi.

Alasannya; pertama, politik Indonesia dengan demokrasi liberal terfragmentasi dalam banyak parpol. Karena tidak memiliki keuangan memadai, elit parpol berusaha mendapat dukungan finansial dari super rich atau the rich. Kedua, sejak Pemilu legislatif 1999, Pilpres langsung 2004, Pilkada langsung 2005 dan seterusnya, biaya calon dalam kontestasi elected offices kian mahal.

Menurut Institut Otda (2021), biaya calon Pilkada/Pemilu (2019: caleg lokal DPRD kabupaten/kota antara Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar; caleg DPRD Provinsi Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar; caleg DPR RI sekitar Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar; calon bupati/walikota Rp 10 miliar sampai Rp 30 miliar; calon gubernur Rp 30 miliar sampai Rp 100 miliar; dan calon presiden sekitar Rp 5 triliun sampai 20 triliun.

Liberalisasi politik dengan bermacam Pemilu membuat posisi oligarki cukong secara finansial dan politik terus menguat. Oligark super kaya dan kaya juga kian banyak yang menjadi politisi—membuat mereka sekaligus oligar politik. Sebaliknya oligark politik yang semula kere kemudian menjadi oligark kaya.

Oligark politik dan oligark cukong selalu menimbulkan dampak negatif terhadap demokrasi dan penegakan hukum—kasus tergamblang adalah pelemahan KPK. Oligark selalu berusaha agar proses legislasi dan penegakan hukum tidak merugikan mereka; sebaliknya mesti menguntungkan dan menjadikan posisi mereka dalam oligarki politik dan oligarki ekonomi-finansial tetap dan kian kuat.

Dampak Oligarki dalam Kehidupan Bernegara dan Masyarakat

Oligarki biasanya meningkatkan ketimpangan pendapatan, karena terbiasa dengan gaya hidup mereka yang mewah dan istimewa. Para pemain oligarki dan rekan-rekan dekat mereka sering mengantongi sebagian besar kekayaan negara secara tidak proporsional.

Oligarki bisa menjadi stagnan. Oligarki cenderung bersifat klan, bergaul hanya dengan orang-orang yang memiliki nilai yang sama. Meskipun hal ini dapat memberikan stabilitas, hal ini juga mencegah orang-orang dengan ide dan perspektif baru memasuki kelas penguasa.

BACA JUGA : Negara dalam Cengkraman Oligarki dan Pengkhianatan terhadap Daulat Rakyat

Oligarki yang mendapatkan terlalu banyak kekuasaan dapat merugikan rakyat dengan membatasi pasar bebas. Dengan kekuatan tak terbatas, para pemain oligarki dapat membuat kesepakatan di antara mereka sendiri untuk menetapkan harga, menolak manfaat tertentu untuk kelas bawah, atau membatasi jumlah barang yang tersedia untuk masyarakat umum.

Pelanggaran terhadap hukum penawaran dan permintaan ini dapat berdampak buruk pada masyarakat secara luas. Oligarki dapat menyebabkan pergolakan sosial. Ketika orang menyadari bahwa mereka tidak memiliki harapan untuk bergabung dengan kelas penguasa, mereka mungkin merasa frustrasi yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.

Oligarki dalam Pembangunan Kesehatan

Kajian Edward Aspinall, 2014, Health care and democratization in Indonesia, memperlihatkan dengan jelas, bagaimana upaya membangun program kesejahteraan dimulai dengan agenda demokrasi.

Persoalan publik, yang termuat dalam ranah kebijakan sesungguhnya terkait dengan hal-hal politik. Keterbukaan ruang politik, membuat agenda dan partisipasi publik dimungkinkan. Sementara itu, pada posisi yang sebaliknya, transaksi gelap di panggung politik, hanya akan menghasilkan jarak terpisah antara kepentingan publik dari pengambil keputusan.  Kerangka oligarki politik yang menguat, mengabaikan serta meninggalkan aspirasi publik di bagian akhir.

Bentuk tinjauan Aspinall pada literatur tersebut, memfokuskan diri pada pembangunan sistem kesehatan nasional. Salah satu tujuan yang hendak dicapai melalui momentum kemerdekaan adalah mengantarkan kesejahteraan, dengan upaya melindungi segenap warga negara. Sehingga usaha pembangunan dalam mengisi kemerdekaan, ditujukan untuk memastikan distribusi keadilan dan kemakmuran.

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pada perjalanannya mengambil bentuk yang dinamis serta berubah sejalan dengan arah demokrasi. Pasca kemerdekaan, pembangunan sistem kesehatan berlangsung dengan model yang sentralistik. Pusat-pusat kesehatan dibangun melalui instrumen negara, jejaring pusat kesehatan masyarakat dirumuskan dengan konsep upaya kesehatan publik.

BACA JUGA : Oligarki dan Dinasti Politik dalam Pilkada

Di tahap awal, fokus penyelesaian masalah kesehatan ditujukan pada problem kesehatan dasar, khususnya berbagai penyakit infeksi menular yang terjadi. Termasuk melakukan edukasi serta promosi kesehatan publik yang terintegrasi dalam sistem pendidikan, dengan memperkenalkan konsep gizi seimbang empat sehat lima sempurna.

Penguatan sarana dan prasarana pendukung dari sektor kesehatan, termasuk mencetak para pengabdi bagi pelayanan kesehatan, dirumuskan sebagai bagian yang tidak terpisahkan atas semangat kemandirian dalam mengurus persoalan domestik yang bebas dari intervensi kepentingan antar blok dunia saat itu.

Peralihan politik dari Orde Lama ke Orde Baru, yang kemudian pada akhirnya mampu mewujudkan konsep Pusat Kesehatan Masyarakat -Puskesmas yang telah digagas sebelumnya. Termasuk berbagai program baru, semisal pelaksanaan konsep keluarga ideal, melalui Keluarga Berencana. Pengendalian populasi, merupakan sarana dalam melakukan kontrol publik.

Ketika transisi kritis Orde Baru, mewujud menjadi Orde Reformasi, maka gagasan kepentingan publik untuk perluasan akses kesehatan publik menjadi titik tekan yang penting. Realitas sosial akan sulitnya publik untuk memperoleh layanan dari fasilitas kesehatan, semakin disadari terjadi. Selain itu, kebutuhan akan peningkatan kualitas kesehatan publik, menjadi suatu standar kehidupan yang baru.

BACA JUGA : Pilkada di Tengah Pusaran Oligarki Lokal

Melalui fase demokratisasi, mimpi tentang negara kesejahteraan dihembuskan. Pembentukan peraturan mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional -SJSN pada akhirnya terjadi tahun 2004. Gagasan tentang kesamaan hak untuk mendapatkan perlindungan publik, melalui bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, semakin dimatangkan dengan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial -BPJS di 2011.

Ternyata tidak mudah, upaya materialisasi kebijakan yang mengatur hajat publik, masih harus dimenangkan dalam gelanggang pertarungan politik.Termasuk memastikan dukungan bagi pelaksanaan program jaminan sosial kesehatan nasional secara berkelanjutan dan berkesinambungan.

Proses demokrasi langsung, yang memungkinkan pemilihan kandidat secara terbuka, menghadirkan figur yang mencoba mendekati publik dengan berbagai tema kampanye populis. Isu di sektor pendidikan dan kesehatan, menjadi daya tarik bagi keterpilihan. Premis utamanya, popularitas tokoh dengan bungkus kampanye program kerja populis, akan meningkatkan elektabilitas kandidat, yang berguna dalam memenangi pemilihan.

BACA JUGA : Mencermati RUU Praktik Kedokteran Usulan Pemerintah

Terdapat kesenjangan antara janji kampanye politik yang gegap gempita pada periode pemilihan, terutama tentang kesehatan dan kesejahteraan, dengan lemahnya realisasi serta bukti atas dukungan serta pengutamaan kepentingan publik dalam ranah pengambilan kebijakan. Sekurangnya ruang demokrasi, telah membuka asa dan celah sempit mengenai nasib kesehatan publik.

Di antara tarik-menarik kepentingan elit dan publik, kita berharap agar program jaminan kesehatan selayaknya misteri pada kotak pandora, yang menyisakan bintang terang harapan di dasar kotak, setelah bintang-bintang yang membawa aura buruk menyebar ke seluruh penjuru sesaat setelah kotak pandora terbuka.

Harapan akan negara kesejahteraan dengan perlindungan serta jaminan atas hak esensial publik harus tetap dinyalakan sebagai tujuan besar dalam kehidupan bernegara.

RUU Pendidikan Dokter (Dikdok) dan RUU Praktik Kedokteran (Pradok) dalam Lingkaran Oligarki

Saat ini, ada dua RUU sangat penting bagi dokter dan dokter gigi yang lagi dibahas publik dan DPR sebagai Pengusul RUU tersebut yang bekenaan dengan komponen sentral dari pembangunan bidang kesehatan yaitu RUU Pendidikan Kedokteran yang merupakan regulasi dasar untuk menhasilkan dokter yang berkualitas dan berdaya saing dalam pelayanan global saat ini dan yang akan datang.

Dan juga RUU Praktik Kedokteran yang merupakak aturan hukum lex spesialis bagi dokter untuk melaksanakan kegiatan praktek kedokteran. Disamping adanya rencana revisi UU Kesehatan dan UU Tenaga Kesehatan bahkan beredar wacana untuk membentuk OBL UU yang berkenaan dengan

BACA JUGA : Wacana Reduksi SIP, Karpet Merah oleh Regulator Menjadi Kenyataan?

Kedokteran dan Kesehatan. Isu penting oligarki di bidang kesehatan adalah peluang yang dibuka lebar dalam pembukaan Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikan dan RS Non Pendidikan oleh pihak swasta dan konglomerat (Oligarki Finansial)

Dalam RUU Pendidikan Kedokteran yang sudah disahkan DPR RI sebagai usulan inisiatif DPR dan menunggu respon Presiden terdapat beberapa pasal yang memudahkan oligarki finansial dan kongkemerasi lokal maupun asing untuk bisa membuka program studi dokter dan pendidikan spesialis dan subspesialis di Fakultas Kedokteran Swasta dan RS Swasta apalagi berbasis kolegium dimana RS Pendidikan sebagai sentral.

Pasal 13, 14, 28, 30, 31 dan 45 memberi peluang bagi konglomerasi dan oligarki finansial mengusahinya dan akan menjadi insklusif pelayanan kesehatan di Indonesia dan memberikan jalan investasi asing untuk menguasainya.

Dalam RUU Praktik Kedokteran yang juga dibahas di Fraksi Pengusul dan walaupun belum masuk Prolegnas 2021 dan tetap dicermati adanya pengaruh oligarki politik dan finansial seperti dalam pasal pasal dibawah ini dari Bagian Ketiga RUU Pradok tentang Dokter dan Dokter Gigi Warga Negara Asing pasal 40, 41, 42, 43 dan 44. 

Pada Pasal 40 ayat (1) Dokter dan dokter gigi warga negara asing dapat melakukan praktik kedokteran di Indonesia dalam rangka investasi maupun noninvestasi, dengan ketentuan:

Terdapat permintaan dari pengguna dokter dan dokter gigi warga negara asing; untuk alih teknologi dan ilmu pengetahuan; belum tersedianya kompetensi yang sama dengan dokter dan dokter gigi setempat; dan untuk jangka waktu 2 (dua) tahun, dan hanya dapat diperpanjang selama 1 (satu) tahun berikutnya.

BACA JUGA : Refleksi HUT IDI ke-71; Regulasi Satu SIP atau Monoloyitas Dokter Berdasar Hukum Kontrak

Pada Pasal 40 Ayat (2), selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi dokter dan dokter gigi warga negara asing akan melakukan praktik di Indonesia dalam rangka investasi, hanya dapat ditempatkan di Kawasan Ekonomi Khusus.

Pada Pasal 41 Ayat (1) Dokter dan dokter gigi warga negara asing lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktik kedokteran di Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi. Kemudian, pada Ayat (2). Dikecualikan dari keharusan mengikuti evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi dokter dan dokter gigi warga negara asing yang akan melakukan praktik kedokteran dalam rangka Investasi

Regulasi Dokter, RS dan FK Asing Di Indonesia

Dalam UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, aturan untuk membuka praktek bagi dokter berkewarganegaraan asing diatur dalam Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3). Sebagai syarat membuka praktek, dalam UU tersebut, dokter WNA diharuskan mengikuti program adaptasi dan sertifikasi kompetensi, mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental, serta harus mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi di Indonesia.

“Dokter dan dokter gigi warga negara asing … juga harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia,” kutip beleid tersebut.

Sementara itu, Undang-Undang Cipta Kerja menyederhanakan perizinan tenaga kerja asing di Indonesia. Untuk diketahui, UU Ciptaker mengubah dan menghapus sejumlah aturan tentang pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

BACA JUGA : RUU Pendidikan Kedokteran; Harapan Besar Bagi Masyarakat dan Dokter

Praktik kerja dokter asing di Indonesia juga didukung oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Ia mengatakan hal ini dilakukan agar masyarakat tidak perlu berobat keluar negeri karena fasilitas dan SDM tersedia di dalam negeri.

Menurut Luhut, kemudahan bagi dokter asing itu akan dilakukan dengan memberikan visa khusus kepada mereka agar proses administrasi yang diperlukan untuk masuk ke Indonesia bisa lebih mudah.

“Kami sudah pertimbangkan visa itu untuk orang-orang spesifik, kerjanya, saya kira enggak perlu (ribet). Dan kemudian boleh ada multiple visa buat spesifik orang-orang yang kita butuhkan untuk kegiatan dalam negeri,” kata Luhut pada Oktober lalu.

Mengatasi ‘Hukum Besi Oligarki’

Demokrasi dengan kedaulatan rakyat sebagai sistem dan praksis politik Indonesia, tidak selaras dengan oligarki politik yang berkelindan dengan oligarki ekonomi-finansial; dan karena itu, mesti dibendung. Oligarki bukan tidak bisa dibendung. Oligarki politik bukan praktek umum; dari 195 negara di muka bumi, hanya ada 11 negara oligarki seperti disebut di atas.

Memang ada skeptisime di kalangan ahli ilmu politik dan publik berdasarkan teori ‘hukum besi oligarki’ (iron law of oligarchy).  Menurut teori yang diajukan sosiolog Jerman kelahiran Italia, Robert Michels dalam bukunya Political Parties (1911):

“Kekuasaan oleh elit terbatas (oligarki) adalah hukum besi yang tidak terelakkan dalam negara atau organisasi demokrasi sebagai bagian keharusan taktis dan teknis”. Atas dasar kasus Partai Demokratik Sosial Jerman, Michels berargumen partai politik atau serikat buruh yang dibangun dengan cita dan cara demokrasi, akhirnya dikuasai ‘elit pemimpin’ (oligarki) yang menguasai massa.

BACA JUGA : Tindak Kekerasan terhadap Dokter dan Nakes, Perlukah Mengutuk? (1)

Tetapi teori ‘hukum besi oligarki’ telah dibantah banyak ahli ilmu politik lain seperti Seymour Martin Lipset (1956) yang mengungkapkan pengecualian semacam organisasi serikat buruh. Pengecualian bisa dikembangkan sejak dari raison d’etre pendirian organisasi atau institusi seperti negara sesuai cita dan prinsip demokrasi; proses pembentukan dan suksesi kepemimpinan melalui kontrol dan keseimbangan; dan pengembangan kesejahteraan ekonomi-sosial anggota atau warga.

Saran Lipset relevan dengan upaya membendung oligarki di Indonesia. Saran itu dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memodifikasi kerangka yang diajukan Zephyr Teachout dan Kelly Nuxoll dalam ‘Three Solutions to the Oligarchy Problem’ (2013).

Pertama; perlu perubahan UU Pemilu, khususnya menyangkut ‘ambang batas parlemen’ dan ‘ambang batas parlemen’; kedua, perlu peninjauan ulang mengenai Pilkada dengan kembali melakukan pemilihan melalui lembaga perwakilan; ketiga; perlu pengaturan dan penegakan hukum tegas tentang pendanaan partai dan calon sejak awal masa pencalonan dan kampanye Pemilu.

Selain itu, berbagai pemangku kepentingan non-negara seperti masyarakat sipil perlu memobilisasi kesadaran dan kewaspadaan warga terhadap bahaya oligarki. Juga perlu membangun sikap asertif warga menolak setiap bentuk oligarki politik dan oligarki ekonomi-finansial yang sangat merugikan negara-bangsa.

BACA JUGA : Tangani Pandemi Covid-19, IDI Kalsel Mencatat Sudah 13 Dokter Gugur

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Pasal 96 tentang haka partisipasi masyarakat dan rakyat dalam pembuatan Peraturan Perundangan yaitu di ayat :

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:

a. rapat dengar pendapat umum;

b. kunjungan kerja;

c. sosialisasi; dan/atau

d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

BACA JUGA : Damage Control; Darurat Kematian Dokter dan Nakes Akibat Covid-19

Salah satu mengatasi dan melawan Hukum Besi Oligarki dalam pembentukan UU adalah dengan konsisten menggunakan hak partisipasi rakyat seperti dalam pasal 96 UU 12 tahun 2011. Terbentuknya PERDAHUKKI bisa menjadi angin segar untuk pembentukan UU bidang kesehatan dan kedokteran berdasrkan asas keadilan dan negara kesejahteran.(jejakrekam)

Penulis adalah Pendiri Voice Of Law Banua Law Center Study.

PP PERDAHUKKI Bidang Ilmiah dan Diklat Pengembangan SDM

Wakil Ketua Komisi Etik dan Hukum RSDI Banjarbaru

Ceo dan owner KLINIK UTAMA HALIM MEDIKA

Candidat Doktor Ilmu Hukum UNISSULA

Mediator Non Hakim Bersertifikat MA dan CLA

Anggota Kongres Advokat Indonesia KAI dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia IPHI

Ketua Bidang Advokasi Medikolegal PAPDI Cabang Kalsel. Anggata Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) dan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia  (APDHI).

Anggota Perhimpunan Profesi Mediator Indonesia (PPHI)

Ketua Harian Perkumpulan Profesional Hypnotherapy Indonesia (PPHI) Pusat

Ceo dan owner PT RADJAGO APLIKASI INDONESIA

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2021/11/03/harapan-hukum-kedokteran-dan-kesehatan-vs-oligarki-politik-dan-finansial/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.