Kewajiban Etik dan Hukum bagi Dokter dalam Menjalankan Praktik Kedokteran dan Aspek Pidananya

0

Oleh : dr. ABD. HALIM, SpPD.FINASIM.SH.MH.MM

PROFESI dokter yang merupakan profesi tertua serta profesi mulia dengan tugas memberikan pelayanan kesehatan dan kemanusian kepada masyarakat.  Apabila dokter dalam menjalankan profesi kedokteran mampu menghayati dan menjalankan secara utuh sumpah kedokteran. Maka dokter tersebut telah menjadikan profesi dokter sebagai profesi mulia (nobile officium).

DALAM profesi dokter ada tiga aturan dasar yang mengatur ruang lingkup dokter, yaitu:

1. Etika kedokteran;

2. Disiplin ilmu kedokteran; dan

3. Hukum (Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan Hukum Administrasi).

Profesi dokter mempunyai kode etik kedokteran (Kodeki) yang harus dijalankan dalam melaksanakan praktik kedokteran. Dalam buku kodeki yang dikeluarkan MKEK PB IDI terdapat 3 kewajiban dokter yaitu kewajiban umum (pasal 1 s/d  13) kewajiban terhadap pasien ( pasal 14 sampai 17) kewajiban terhadap sejawat (pasal 18 dan 19) kewajiban terhadap diri sendiri ( pasal 20 dan 21).

Kewajiban Etik dan Hukum  Menjaga Rahasia Medis

Secara etik dan hukum seorang dokter diwajibkan merahasiakan catatan medis  pasien nya. Dalam kodeki  Pasal 16 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Dan, secara hukum juga terdapat dalam UU Nomor 29 Tahun 2004  Pasal 48 ayat (1) setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Dan ayat (2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,  memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,  permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Ketentuan pidana bagi dokter yang melakukan pembukaan rahasia medis tanpa ada alasan seperti pasal 48 ayat 2 tersebut apabila  pelaku penyebaran identitas pasien dan catatan medis di atas adalah dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 51 huruf c UU 29/2004, maka dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50 juta berdasarkan Pasal 79 huruf b dan c UU 29/2004 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007 (hal. 120).

Dan juga bisa  dijerat  dan melanggar  Pasal 54 ayat (1) UU KIP: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Kewajiban Adanya STR dan SIP Dokter

Setiap dokter yang melalukan praktik kedokteran wajib memiliki STR dan SIP hal ini seperti tercantum dalam pasal 29 dan pasal 36  UU  nomor 29  tahun 2004. Pasal 29 (1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi. (2) Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Tentang kewajiban SIP ditekankan pada Pasal 36  bahwa Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik. Pada Pasal 37 (1) Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan. (2) Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat. (3) Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.

Pasal 38 ayat (1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus :

  1. memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32;
  2. mempunyai tempat praktik; dan
  3. memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.

Ayat (2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :

  • surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; dan
  • tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktik. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan Peraturan Menteri.

Selain itu dalam UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan di Pasal 44 aya1 bahwa setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki STR. Di pasal 46 ayat 1 bahwa Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin. Di ayat 2 Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.

Sanksi Hukum Pidana bagi Dokter Tanpa STR SIP dalam Menjalankan Praktik Kedokteran

Dalam UU nomor 36 Tahun 2014 Pasal 74 : bahwa Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mengizinkan Tenaga Kesehatan yang tidak memiliki STR dan izin untuk menjalankan praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Ketentuan pidana bagi dokter yang dalam menjalankan praktik kedokteran tidak memiliki STR yang masih berlaku dikenakan Pasal 75 (1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Sedangkan bagi dokter yang tidak memiliki SIP pada tempat Praktek atau yankes yang sesuai SIPnya dikenakan Pasal 76 Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana  dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Mengenai pidana penjara pada pasal diatas sudah di judicial review di MK dan MK telah membatalkan sanksi pidana penjara tersebut tapi tetap mempertahankan sanksi denda.

Pasal ancaman pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebagian pasal 75 ayat (1), pasal 76 dan pasal 79 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, dokter yang tak memiliki Surat Izin Praktek (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR) kini bisa lega, tak perlu khawatir dipenjarakan. Namun demikian, Mahkamah Konstitusi tetapmempertahankan ancaman denda kepada mereka yang mengabaikan kewajiban SIP dan STR, atau pemasangan papan nama tanda praktik.

Dalam putusannya yang bernomor 4/PUU-V/2007, Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau  serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata atau huruf e dalam UU Praktek Kedokteran dinyatakan MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara  1945 dan dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat.

MK menganggap sanksi kurungan dan penjara dalam UU Praktek Kedokteran jika ditilik  dari teori filsafat hukum pidana, logika kriminalisasi yang dibentuk dalam UU tersebut tidak proporsional, dan menimbulkan rasa takut bagi dokter. Ketakutan dari para dokter dapat berakibat menurunnya pelayanan kesehatan pada masyarakat sehingga akan berbenturan pula dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Sanksi pidana dalam UU 36 tahun 2014 pada Pasal 85 ayat 1 bahwa setiap Tenaga Kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa memiliki STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal  86 ayat 1

Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Kewajiban Etik dan Hukum Mengikuti Perkembangan Iptek Kedokteran

Kewajiban dokter secara etik dan hukum lainnya bahwa dokter wajib mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran sehingga dapat memberikan memberikan pelayanan kesehatan terbaik dan optimal kepada masyarakat. 

Pada kodeki Pasal 2 Seorang  dokter wajib   selalu  melakukan  pengambilan  keputusan profesional secara  independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi dan Pasal 21 Setiap  dokter  wajib  senantiasa  mengikuti  perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/ kesehatan.

Selain kewajiban secara etik kedokteran juga terdapat kewajiban secara hukum yaitu pasal 51 ayat e UU NOMOR 29 Tahun 2004 Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :

a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Terhadap pelanggaran pasal 51 ini terdapat sanksi pidana seperti termahtub dalam Pasal 79 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paloing banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:

Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 ayat (1);

  1. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagai mana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau
  2. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagai mana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e.

Kewajiban Etik Dokter dengan Sesama Kolega atau Sejawat Dokter

Dengan perkembangan zaman sekarang ini dijamin revolusi industri 4.0 dimana liberalisasi dan komersialisasi pendidikan kedokteran dan gaya kehidupan di jaman mineral  menyebabkan melunturnya rasa kesejawatan atau kekolegaan dokter dengan sejawatnya baik antara dokter senior dengan junior  apalagi antar yang setara atau seumur.  Banyaknya fakultas kedokteran yaitu sekitar 88 FK di Indonesia dengan disparitas kualitas hasil lulusan. Minimnya pendidikan etika kedokteran saat pendidikan dokter dan juga setelah lulus sehingga masalah etika sering timbul masalah etik.

Pasal 18 Kode Etik Kedokteran menyebutkan Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Dan pada Pasal 19 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya  atau berdasarkan prosedur yang etis.

Etik Kedokteran mengharuskan setiap dokter memelihara hubungan baik dengan teman sejawatnya sesuai makna atau butir dari lafal sumpah dokter yang mengisyaratkan perlakuan terhadap  sejawatnya sebagai berikut : “Saya akan perlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan” .

Hubungan antara teman sejawat dapat menjadi buruk bukan karena perbedaan pendapat tentang cara penanganan pasien, perselisihan mengenai cara mewakili teman sejawat yang cuti, sakit dan sebagainya. Kejadian tesebut hendaknya diselesaikan secara musyawarah antar sejawat. Kalau dengan cara demikian juga tidak terselesaikan, maka dapat diminta pertolongan pengurus Ikatan Dokter Indonesia atau Majelis Kehormatan Etik Kedokteran untuk menjelaskannya. Harus dihindarkan campur tangan dari pihak luar. Perbuatan sangat tidak kolegial ialah mengejek teman sejawat dan mempergunjingkannya dengan pasien atau orang lain tentang perbuatannya yang dianggap kurang benar. Mencermarkan nama baik teman sejawat berarti mencemarkan nama baik sendiri, seperti kata pribahasa : “Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri”. Sejawat senior wajib membimbing sejawat yang lebih muda, terutama yang berada di bawah pengawasannya.

Janganlah sekalipun juga mengatakan di muka umum, bahwa ia baru lulus dan tidak mengetahui itu peraturan.  Pada umumnya masyarakat kita belum begitu memahami tentang hubungan yang begitu erat antar dokter dengan dokter, sehingga mereka kadang-kadang melakukan sesuatu yang cenderung mengadu domba. Tidak jarang terjadi seorang pasien mengunjungi dua atau tiga dokter untuk penyakitnya, dan pada akhirnya memilih dokter yang dalam ucapan dan perbuatannya sesuai dengan selera dan harapannya.

Dengan sendirinya seorang dokter yang mengetahui kejadian tersebut harus menasehatinya untuk tidak berbuat demikian, karena dapat merugikan kepentingan sendiri dan dapat membahayakan kesehatannya. Janganlah sekali-kali diberi kesempatan kepadanya untuk menjelekkan nama teman sejawat yang lebih dulu menolongnya. Seorang dokter harus ikut mendidik masyarakat dalam cara menggunakan jasa pelayanan kedokteran. Seandainya seorang teman sejawat membuat kekeliruan dalam pekerjaannya, maka teman

sejawat yang mengetahui hal itu seyogyanya menasehatinya. Dokter yang keliru harus menerima nasehat ataupun teguran dengan lapang dada asal disampaikan dalam suasana persaudaraan. Jangan sekali-kali menjatuhkan seorang sejawat dari kedudukannya apalagi menggunakan pihak lain. Sewaktu berhadapan dengan si sakit, seorang dokter tidak memperlihatkan bahwa ia tidak sepaham dengan teman sejawatnya dengan menyindir, atau dengan sikap yang menjurus kearah demikian. Untuk menjalin dan mempererat hubungan baik antara para teman sejawat, maka wajib memperlihatkan hal-hal berikut:

Dokter yang baru menetap di suatu tempat mengunjungi teman sejawat yang telah berada di situ. Hal ini tidak perlu dilakukan di kota-kota besar dimana banyak dokter yang berpraktik, tetapi cukup dengan pemberitahuan tentang pembukaan praktik baru itu kepada teman sejawat yang tinggal berdekatan.

Setiap dokter menjadi anggota Ikatan Dokter Indonesia yang setia dan aktif.

  • Dengan menghadiri pertemuan sosial dan klinik yang diselenggarakan, akan terjadi kontak pribadi sehingga timbul rasa persaudaraan dapat berkembang dan penambahan ilmu pengetahuan.
  • Terjalinnya hubungan baik antara teman sejawat membawa manfaat tidak saja kepada dokter yang bersangkutan, tetapi juga kepada para pasiennya. Rasa persaudaraan harus dibina sejak masa mahasiswa agar menjadi bekal yang berharga. Demikian tulisan ini sebagai pencerahan semoga bermanfaat.(jejakrekam)

Penulis adalah Dokter Ahli Utama/Pembina Utama Madya RSDI dan Klinik Utama Halim Medika

Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNISSULA

Anggota Kongres Advokat Indonesia dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia

Ketua Bidang Advokasi Medikolegal PAPDI Cabang Kalsel

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2020/10/08/kewajiban-etik-dan-hukum-bagi-dokter-dalam-menjalankan-praktik-kedokteran-dan-aspek-pidananya/,https://jejakrekam com/2020/10/08/kewajiban-etik-dan-hukum-bagi-dokter-dalam-menjalankan-praktik-kedokteran-dan-aspek-pidananya/#:~:text=Pada kodeki Pasal 2 Seorang pengetahuan dan teknologi kedokteran/ kesehatan

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.