Mencermati RUU Praktik Kedokteran Usulan Pemerintah

0

Oleh : Abd. Halim,dr.SpPD.FINASIM.,SH.MH.MM

ADA yang patut dicermati dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Praktik Kedokteran usulan pemerintah. Regulasi hak dokter pun memiliki tiga tempat praktik. Apakah hal itu mereduksi SIP dokter monoloyalitas terhadap fasilitas kesehatan (faskes) demi keadilan dan pemerataan atau demi pelayanan terbaik?

TULISAN ini menanggapi beberapa pertanyaan sejawat tentang mulai dibicarakan pembatasan jumlah SIP dokter hanya 1 tempat dan bahkan mulai dibahas salah Webinar Hukkes. Utamanya, terkait rasio dan lulusan dokter per tahun.

Untuk diketahui, jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya, Indonesia hanya memiliki empat dokter yang melayani 10.000 penduduknya. Jumlah ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura yang memiliki 2 dokter per 1.000 penduduk.

Selain dokter, Indonesia memiliki keterbatasan tenaga kesehatan lainnya. ketersediaan perawat dan bidan Indonesia juga memiliki posisi terburuk di antara negara lainnya. Rasio perawat per 1.000 penduduk sebesar 2,1 yang artinya dua orang melayani 1.000 penduduk di Indonesia.

Dari informasi KKI bahwa lulusan dokter per tahun lebih dari 12.500 dari 91 Fakuktas Kedokteran yang ada di Indonesia. Jumlah ini semestinya dapat memenuhi kebutuhan dokter di fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes).

Namun, masih ada puskesmas yang tidak memiliki dokter, sementara puskesmas lainnya memiliki jumlah dokter yang berlebih. Maldistribusi juga bisa dilihat dari rasio ketersediaan dokter antarprovinsi yang kesenjangannya cukup besar.

BACA : RUU Pendidikan Kedokteran; Harapan Besar Bagi Masyarakat dan Dokter

Redistribusi yang sulit dilakukan juga menjadi masalah krusial. Adanya dokter enggan ditempatkan di wilayah DPTK. Kondisi tersebut dimungkinkan karena wilayah DPTK memiliki keterbatasan akses, geografis sulit, serta keterbatasan sarana prasarana pelayanan kesehatan.

Regulasi Penerbitan SIP Dokter/Dokter Gigi

UU Nomor 29 Tahun 2004 merupakan UU lex specialis bagi dokter dan dokter gigi dalan menjalankan praktik kedokterannya. Dalam UU tersebut  terdapat ketentuan hak dan kewajiban dokter, kewajiban memiliki STR dan SIP dalam menjalankan praktik. 

Tujuan dibuat UU Pradok seperti dalam Pasal 3 Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :

1. memberikan perlindungan kepada pasien;

2. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan

3.            memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

Pada Pasal 36 : Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik.

Pasal 37  disebutkan bahwa

4. Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.

5. Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.

6. Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.

Pasal 38

(1) Untuk mendapatkan surat izin praktiksebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus :

memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32; mempunyai tempat praktik; dan memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.

(2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :

1. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; dan

2. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktik.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan Peraturan Menteri.

Permenkes terbaru tentang SIP dan praktek kedokteran  yaitu  NOMOR 2052/MENKES/PER/X/2011 TENTANG IZIN PRAKTIK DAN PELAKSANAAN PRAKTIK KEDOKTERAN yang merupakan revisi terhadap permenkes terdahulu yaitu  Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007.

Dalam PMK 2052 / 2011  Pasal 3

4. SIP bagi Dokter dan Dokter Gigi dapat berupa SIP dokter, SIP dokter gigi, SIP dokter spesialis, dan SIP dokter gigi spesialis.

5. SIP bagi dokter peserta program internsip berupa SIP Internsip dengan kewenangan yang sama dengan dokter.

6. SIP bagi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atau peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis (PPDGS) berupa SIP dokter atau SIP dokter gigi dengan kewenangan sesuai kompetensi yang ditetapkan oleh Ketua Program Studi (KPS).

7. SIP bagi peserta program dokter dengan kewenangan tambahan yang memperoleh penugasan khusus di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu berupa SIP dokter dengan kewenangan sebagaimana tercantum dalam surat keterangan kompetensi yang dikeluarkan oleh Kolegium.

Pasal 4

8. SIP Dokter dan Dokter Gigi diberikan paling banyak untuk 3 (tiga) tempat praktik, baik pada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, swasta, maupun praktik perorangan.

9. SIP 3 (tiga) tempat praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berada dalam kabupaten/kota yang sama atau berbeda di provinsi yang sama atau provinsi lain.

Pasal 6

(1). Dalam rangka melaksanakan program pemerataan pelayanan kesehatan: SIP bagi Dokter dan Dokter Gigi yang melakukan praktik kedokteran pada suatu fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah berlaku juga bagi fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dalam wilayah binaannya yang tidak memiliki dokter/dokter gigi.

BACA JUGA : Tindak Kekerasan terhadap Dokter dan Nakes, Perlukah Mengutuk? (1)

SIP bagi Dokter dan Dokter Gigi spesialisasi tertentu yang melakukan praktik kedokteran pada suatu fasilitas pelayanan kesehatan berlaku juga bagi fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah di daerah lain yang belum memiliki pelayanan spesialisasi yang sama.

(2). Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi fasilitas pelayanan kesehatan milik TNI/POLRI, Puskesmas, dan balai kesehatan/balai pengobatan milik pemerintah.

(3). Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi rumah sakit milik pemerintah yang bersifat publik yang bekerjasama dalam bentuk sister hospital.

(4). Pemberian pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b harus diberitahukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

Pertimbangan Penerbitan SIP Dokter

Menurut pasal  37 ayat 2  UU Pradok dan  PMK 2052 Tahun 2011 pasal 2 ayat 2 bahwa yang berwewenang  mengeluarkan SIP adalah pejabat bidang kesehatan dalam hal ini Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Bahan pertimbangan dikeluarkan SIP selain terpenuhinya persyaratan  administrasi seperti tercantum pada  Pasal 8  ayat 1 PMK 2052 tahun 2011 yaitu  Untuk memperoleh SIP, Dokter dan Dokter Gigi harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat praktik kedokteran dilaksanakan dengan melampirkan :

1. Fotokopi STR yang diterbitkan dan dilegalisasi asli oleh KKI;

2. Surat pernyataan mempunyai tempat praktik, atau surat keterangan dari fasilitas pelayanan kesehatan sebagai tempat praktiknya;

3. Surat persetujuan dari atasan langsung bagi Dokter dan Dokter Gigi yang bekerja pada instansi/fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah atau pada instansi/fasilitas pelayanan kesehatan lain secara purna waktu;

4. Surat rekomendasi dari organisasi profesi, sesuai tempat praktik; dan

5. Pasfoto berwarna ukuran 4×6 sebanyak 3 (tiga) lembar dan 3×4  sebanyak 2 (dua) lembar.

Dan juga ada tambahan persyaratan sesuai amanah UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang CIPTA KERJA dan PP  NOMOR 5 TAHUN 2O2I TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERBASIS RISIKO disyaratkan untuk mempunyai Nomor Induk Berusaha (NIB)  dan bagi yang praktek Mandiri  ditambah beberapa pesyaratan yaitu denah lokasi, dan daftar peralatan praktek, pengelolaan limbah medis, Kerjasama dengan puskesmas dan kesediaan menjalankan praktek sesuai peundangan yang berlaku. 

BACA JUGA : Tangani Pandemi Covid-19, IDI Kalsel Mencatat Sudah 13 Dokter Gugur

Di samping hal di atas, kepala Dinas Kesehatan kabupaten/ kota dalam memberikan SIP dokter  HARUS  mempertimbangkan keseimbangan antara jumlah Dokter dan Dokter Gigi dengan kebutuhan pelayanan kesehatan. (Pasal 2 ayat 3 PMK 2052/ 2011).

Surat Tugas Pengganti SIP

Dalam PMK 2052 tahun 2011  Pasal 15  ayat(1) Untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan kedokteran, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atas nama Menteri dapat memberikan Surat Tugas kepada dokter spesialis atau dokter gigi spesialis tertentu yang telah memiliki SIP untuk bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan atau rumah sakit tertentu tanpa memerlukan SIP di tempat tersebut, berdasarkan permintaan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Dan pada ayat (2) Surat Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan di daerah yang tidak ada dokter spesialis untuk memberikan pelayanan kesehatan spesialis yang sama.

Regulasi SIP dalam RUU Pradok

Penulis di bulan November 2020 mendapat kiriman dua buah RUU dari sumber yang valid dan kredibel yaitu RUU PRADOK yang merupakan inisiasi pemerintah dan RUU DIKDOK inisiasi DPR  yang sekarang sudah bergulir di Baleg DPR  dan masuk Prolegnas 2021.

Bagian kedua  RUU PRADOK, pada Pasal 33 bahwa setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki SIP. Berikutnya, terdapat pula pada Pasal 34.

6. SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi akan dilaksanakan.

7. SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota tempat dikeluarkannya SIP.

8. Setiap dokter atau dokter gigi hanya memiliki paling banyak 3 (tiga) tempat praktik yang berjadwal,  termasuk telepraktik.

9. Dalam hal terdapat keterbatasan jumlah dokter dengan keahlian tertentu di wilayah Kabupaten/Kota, Dinas Daerah Kabupaten/Kota dapat menugaskan dokter atau dokter gigi dengan keahlian yang dibutuhkan berpraktik di tempat lain selain tempat praktik sebagaimana ketentuan pada ayat (3) untuk perluasan akses pelayanan kepada masyarakat. (Sepakat 17 September 2020)

Pasal 35 Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, dokter atau dokter gigi harus memenuhi persyaratan yang meliputi:

10. Memiliki STR dokter atau gigi yang masih berlaku;

11. Mempunyai tempat praktik yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

12. Melampirkan rekomendasi dari organisasi profesinya.(Sepakat 17 September 2020)

Pasal 36 : SIP masih tetap berlaku sepanjang:

13. Surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; dan

14.Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktik.

Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai SIP diatur dengan Peraturan Menteri.

Dalam RUU ini jelas bahwa dokter berhak mendapatkan 3 buah SIP di 3 tempat praktek Berjadwal dan termasuk untuk praktek telemedicine.  Hal ini menarik dari RUU Pradok ini adalanya SIP praktek telemedicine yang menjadikan praktek tanpa dinding atau Hospital without Wall dan ini akan menjadi kenyataan dari keniscayaan yang ada pada era 4.0 atau 5.0 nanti. Dan ruang lingkup SIP berbasis wilayah kota atau kabupaten dimana SIP itu diterbitkan.

Karena RUU pradok ini masih belum masuk Prolegnas 2021 dan terus digodok oleh pengusul dari pemerintah maka kemungkinan bisa berubah dan adalah bukan yang mustahil reduksi jumlah SIP dokter/dokter gigi menjadi monoloyalitas pada satu faskes tempat praktek.

Regulasi SIP Monoloyalitas bagi Fasyankes/Dokter

Dalam PP No 47 tahun 2021 tentang Penyelenggarakan  Perumahsakitan yang merupakan aturan turunan dan UU Nomor 11 tahun 2020 OBL CIKA kluster Kesehatan / RS, dusebukan tentang klasifIkasi RS  dan Persyaratan yang harus dipenuhi sesuai klasifikasi tersebut. ( Pasal 2, 3, 4, 5, 6) dan tentang SDM yang wajib dipenuhi RS pada pasal 22, 23, 24,).

Disebutkan pada pasal 22 ayat 2 bahwa SDM yang bekerja di RS termasuk dokter (pasal 23 ayat 1 dan 2) harus TENAGA TETAP yang bekerja secara PURNA WAKTU.  Monoloyalitas dokter yang bekerja di RS tersebut sangat diperlukan untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan paripurna.  Pembatasan jumlah SIP bagi dokter tersebut dengan RS tempat bekerja bisa disepakati dengan surat kontrak yang disepakati kedua belah pihak.  Lex Spesialis buat para pihak tersebut. 

Pada pasal 22 ayat 5 disebutkan bahwa RS dapat mempekerjakan tenaga TIDAK TETAP dan atau tenaga lainnya berdasarkan kebutuhan dan kemampuan RS sesuai dengan peraturan peundang-undangan.  Terutama UU nomor  13 tahun 2003 dan UU 11 tahun 2020 dan PP 35 tahun 2021 .

Ada 2 pembagian  kelompok  Hubungan hukum dakam  melakukan pekerjaan yaitu

15. Melakukan pekerjaan dalam hubungan kerja  berdasarkan perjanjian kerja (yang ditandai dengan adanya upah tertentu dan adanya “hubungan diperatas” /dienstverhoudings

16. Hubungan hukum di luar hubungan kerja.  Yang di luar hubungan kerja, ada yang dilakukan berdasarkan perjanjian melakukan jasa-jasa dan ada yang dilakukan atas dasar pemborongan pekerjaan. Dan ada  juga yang dilakukan dengan hubungan kemitraan (partnership), dan ada yang  dilakukan berdasarkan suatu anggaran dasar (vide pasal 1601, pasal 1601a jo pasal 1601c KUHPerdata dan pasal 26 UU No. 20 Tahun 2008).

BACA JUGA : Damage Control; Darurat Kematian Dokter dan Nakes Akibat Covid-19

Penerapan hubungan hukum antara dokter  dengan manajemen  atau RS / KLINIK  sangat bervariasi, bergantung pada kebutuhan dan kondisi serta kesepakatan di antara para pihak. Ada yang didasarkan perjanjian kerja (DHK), ada yang berdasarkan perjanjian (kontrak) melakukan jasa-jasa, dan ada juga yang atas dasar bagi hasil, serta bentuk hubungan hukum lainnya.

Bagaimana perlakuan hukum terhadap dokter  tersebut? Hal tersebut sangat bergantung pada jenis hubungan hukum yang diperjanjikan (sebagaimana tersebut di atas). Artinya, apabila tenaga kesehatan tersebut dipekerjakan berdasarkan perjanjian kerja (employment agreement), maka berlaku ketentuan mengenai hubungan kerja dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).

Namun, apabila tenaga kesehatan tersebut bekerja didasarkan perjanjian melakukan jasa-jasa, kemitraan atau perjanjian dengan sistem bagi hasil, atau kontrak pelayanan kesehatan — untuk suatu jangka waktu tertentu –, maka apa yang telah diperjanjikan — oleh para pihak — menjadi “undang-undang” dan mengikat untuk dipatuhi oleh yang bersangkutan (pacta sun servanda, pasal 1338 KUHPerdata). Dalam hal bukan hubungan kerja, tentunya tidak berlaku ketentuan hubungan kerja (khususnya hak-hak dan kewajiban dalam hubungan industrial) yang diatur dalam UU Ketenegakerjaan.

Walaupun tetap harus mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan secara umum, seperti ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat (WKWI), ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta ketentuan mengenai standar minimum  pengupahan  (termasuk bagi hasil) serta ketentuan-ketentuan lainnya untuk menghindari terjadinya eksploitasi sesama insan manusia.

Dalam penerapan SIP monoloyalitas pada faskes tertentu harus berdasarkan hubungan berdasarkan perjanjian kerja yang disepakati kedua belah pihak antar dokter dan fasyankes tersebut. Dan dokter harus merelakan tidak mengambil haknya untuk berpraktek di tiga tempat seperti yang diamanahkan UU Pradok.

Pro dan Kontra SIP Monoloyalitas

Terhadap wanana penerapan dan pengaturan SIP tunggal bagi dokter dan dokter gigi atau juga nakes yang lain, menimbulkan pro dan kontra bahkan kegaduhan  ini terlihat dari komentar dan tanggapan sejawat dokter / dokter gigi dalam grup WA dan medsos yang lain.

Bahkan, semakin menarik dengan adanya webinar MHKes UGM dan  Himpunan Advokat Khusus RS dan Kemenkes RI dan tentukan bukan acara dadakan tapi memang direncanakan untuk menggulirkan wacana dan rencana ini bisa dalam bentuk diterbitkan PERMENKES atau memasukkan dalam RUU PRADOK yang lagi dipersiapkan oleh pemerintah.

Bagi dokter  yang sudah terkenal dan laris manis pastilah regulasi ini Kontra baginya karena mengganggu status qou dan kenikmatannya meraup penghasilan yang besar di 3 tempat terutama  yang praktek dikota besar dan sedang  dan yang “basah”.  Yang tentunya menyingkirkan dokter lain yang kompotensi yang sama. (Sp yang sama). Sehingga tidak kebagian “kue”nya.

BACAJUGA : Beredar Ramuan Bangkitkan Imun dari Kemenkes, Dekan Fakultas Kedokteran ULM : Bukan Obat Covid-19!

Bagi yang pro regulasi ini, memungkinkan rasa keadilan dan pemerataan bagi dia dan sejawatnya dan tentunya ini merupakan peyejewantahan pasal 18 Kodeki tentang Kesejawatan.

Bagi pemilik RS atau Klinik juga menjadi pro dan kontra terhadap rencana regulasi ini.  Bagi yang Pro bahwa regulasi ini membuat layanan kesehatan dokter tersebut bisa fokus dan paripurna sehingga meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan Faskes tersebut dan bisa layanan unggulan sehingga pendapatan dan kemajuan faskes tersebut  berkembang pesat dan besar dan ini juga akan meningkatkan nilai tawar dokter tersebut dalam klausal  jasa pendapatan (upah) perjanjian kerjanya.  Sehingga rela melepaskan jatah 2 SIP-nya di tempat lain.

Bagi faskes yang kontra regulasi ini, terutama didaerah yang kurang dokter Spesialis yang dibutuhkan sebagai prasyarat pendirian RS atau Klinilk dan juga untuk kegiatan Akreditasi atau kerjasama dengan BPJS . Pastilah akan kesulitan mencari mendapatkan dokter dan dokter Spesialis atau Subspesalis di Faskes tetsebut karena pembatasan SIP Monoloyalitas dan juga masih maldistribusi dokter tersebut.

Penutup

Suatu saat nanti SIP MONOLOYALITAS terhadap faskes akan menjadi kenyataan dengan berjalannya waktu dan perkembangan. Maldistribusi dokter akan terurai dengan baik sehingga tujuan pembangunan kesehatan dan tujuan diundangkan UU  terutama seperti dicantumkan dipasal 3 akan tercapai dengan baik. Amati dan cermati dan beri masukan terhadap RUU PRADOK  yang sekarang lagi bergulir.(jejakrekam)

Penulis adalah Dokter Ahli Utama RSDI Banjarbaru/ KUHM

Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNISSULA

Mediator Non Hakim Bersertifikat MA

Anggota Kongres Advokat Indonesia dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia

Ketua Bidang Advokasi Medikolegal PAPDI Cabang Kalsel

Anggata Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) dan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia  (APDHI).

Anggota Perhimpuman Profesi Mediator Imdonesia

Ketua Harian PPHI

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2021/10/22/mencermati-ruu-praktik-kedokteran-usulan-pemerintah/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.