Wacana Reduksi SIP, Karpet Merah oleh Regulator Menjadi Kenyataan?

0

Oleh: Abd. Halim,dr.SpPD.SH.MH. MM. FINASIM.CMed.CLA.cAdv.CMCHt.

WACANA mereduksi surat izin praktik (SIP) dokter dan tenaga kesehatan (nakes) menjadi satu, terus bergulir dan mendapatkan tanggapan yang beragam. Baik pro maupun yang kontra. Berbagai sudut pandang terhadap wacana ini disampaikan dan mengkristal.

INI menyusul sikap penolakan dokter sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) seperti disampaikan dalam acara diskusi mingguan pada 24 Oktober 2021, berkenaan 71 HUT IDI oleh Forkom IDI Wilayah dan cabng seluruh Indonesia yang diiniasi oleh IDI Wilayah Riau. Acara ini diikuti lebih dari 1.000 partisipan.

Karpet Merah Regulasi

Sesuai dengan regulasi yang masih berlaku sampai sekarang baik dalam tingkat UU dan peraturan dibawahnya yaitu UU 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang merupakan lex specialis bagi dokter dan dokter gigi dan juga PMK Nomor 2052 Tahun 2011 bahwa setiap dokter dan dokter gigi berhak memiliki maksimal SIP di 3 tempat praktek dan apabila diperlukan oleh Dinkes provinsi dapat diberikan Surat Tugas yang berfungsi sebagai SIP tempat keempat dan atau seterusnya sesuai kebutuhan pelayanan terhadap spesialisasinya.

Namum wacana mereduksi jumlah SIP telah dilakukan kajian dan diskusi yang mendalam dari pemangku kebijakan yaitu Kemenkes dan salah satu pusat pendidikan hukum kesehatan. 

BACA : Refleksi HUT IDI ke-71; Regulasi Satu SIP atau Monoloyitas Dokter Berdasar Hukum Kontrak

Dari diskusi awal dipaparkan beberapa alasan antara lain adalah maldistribusi dokter baik dokter umum maupun dokter Spesialis, terkonsentrasi dokter spesialis di kota kota besar dan sedang, ketimpangan kualitas layanan oleh dokter dokter di RS Pemerintah yang merupakan tugas utama bagi dokter PNS di RS tersebut dimana dokter PNS lebih mengutamakan dan lebih terkenal pelayanan di RS Swasta yang merupakan SIP kedua dan atau ketiga.

Juga telah menjadi rahasia umum pada daerah tertentu terjadi moratorium dan sulit masuknya dokter spesialis yunior atau pindahan dari daerah ke kota tersebut karena sudah diisi dan dikavling dengan tiga SIP dokter terdahulu dan atau senior.

Ada juga analisis liar dari adanya wacana ini adalah untuk memuluskan program rezim ini untuk mempermudah masuknya dokter asing bisa menjalankan praktik kedokteran dan kemudahan pendirian RS dan FK asing di Indonesia serta mewujudkan wisata medis.

Dengan alasan alasan di atas maka para pengusung wacana tersebut sebenarnya sudah terlihat beberapa tahun yang lalu. Yaitu, ketika mulai diobok-oboknya UU 29 Tahun 2004 pada pasal-pasal yang berkenaan dengan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yaitu polimik penetapan dan pengangkatan anggota KKI yang dinilai IDI melanggar UU tersebut.

BACA JUGA : RUU Pendidikan Kedokteran; Harapan Besar Bagi Masyarakat dan Dokter

Bahkan, sampai digugat Keppresnya di PTUN namun akhirnya kandas. UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang juga menyasar UU Rumah Sakit sehingga diterbitkan PP Nomor 47 Tahun 2021 tentang perumahsakitan.

Pada pasal tentang persyaratan pendirian rumah sakit bahwa sumber daya manusia (SDM) dokter wajib berstatus tenaga tetap dan bekerja purnawaktu. Pada kondisi tertentu bisa mengangkat dokter tidak tetap tapi dengan perjanjian antara para pihak dengan isi kontrak yang mengikat secara hukum.

Bagi dokter ASN juga telah diterbitkan UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang ASN  dan PP Nomor 17 Tahun  2020 tentang Manajemen ASN dan PP Nomor  94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS. Disebutkan bahwa seorang ASN (dokter) wajib mematuhi aturan tersebut termasuk jam kerja ASN dan kesedian ditempatkan dimanapun di seluruh Indonesia.

Aturan-aturan di atas bisa sebagai karpet merah untuk memaksakan pemberian SIP satu tempat bagi dokter ASN yang bekerja dan ditempatkan di RS atau fasilitas kesehatan (faskes) pemerintah.  Sedangkan bagi dokter yang bekerja di RS atau faskes swasta bisa dipaksakan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja dan Perjanjian Kontrak Kerja para pihak.

BACA JUGA : Tindak Kekerasan terhadap Dokter dan Nakes, Perlukah Mengutuk? (1)

Saat ini, di DPR telah disiapkan RUU Praktik Kedokteran (Pradok) sebagai pengganti UU Nomor 29 Tahun 2004. Kalau membaca draf yang beredar dari hasil pembahasan pada September dan Oktober 2020, terutama di Pasal 37 tentang SIP masih tertera seorang dokter maksinal mempunyai tiga SIP termasuk di dalamnya untuk praktik telemedicine dan SIP tidak berbasis tempat praktik lagi, tapi berbasis wilayah kota/kabupaten dimana SIP itu diterbitkan oleh pemda bukan oleh kepala dinas kesehatan.

Namun kita IDI tetap harus waspada dan mencermati pembahasan RUU Pradok ini selanjutnya. Dan, tidak menutup kemungkian dan tidak mustahil akan ada perubahan mendasar dari regulasi SIP ini apalagi adanya indikasi kekuatan luar dan kuat yang menghendaki reduksi SIP menjadi satu tempat.

Pengurus Besar IDI pun perlu membentuk tim ad hoc yang khusus mengawal ini dan juga menyampaikan sikap resmi penolakan wacana reduksi ini.

Filosofi  Diberikan SIP Dokter Lebih dari Satu untuk Pelayanan atau Kesejahteraan Dokter?

Sebelum UU 29 Tahun 2004 dan PMK 542 Tahun 2007, jumlah SIP maksimal yang bisa diterbitkan seorang dokter adalah lima SIP. Nah, setelah diundangkanya UU 29 Tahun 2004, maka batas maksimal SIP yang bisa diterbitkan oleh dinas kesehatan adalah tiga SIP. Apabila diperlukan layanan spesialisasi tertentu masih diperlukan di tempat lain bisa diterbitkan Surat Penugasan dari Kadinkes Provinsi sebagai pengganti SIP dan berlaku untuk satu tahun.

Dinas Kesehatan memiliki kewenangan yang diberikan oleh Permenkes 2052/2011 untuk memberikan SIP atau tidak memberikan SIP kepada dokter. Kebutuhan pelayanan kesehatan ditentukan berdasarkan rasio-rasio keseimbangan yang meliputi :

                1.            Rasio jumlah fasilitas kesehatan berbanding jumlah penduduk

                2.            Rasio tenaga dokter berbanding jumlah penduduk

Penjelasan dari Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Perumahsakitan ” Penyediaan Rumah Sakit didasarkan pada perhitungan rasio tempat tidur dan jumlah penduduk” Dan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 34 tahun 2016 terdapat rasio-rasio yang digunakan sebagai berikut :

                1.            Rasio Tenaga Dokter per penduduk adalah 1 : 2500

                2.            Rasio Tenaga Dokter Spesialis per penduduk adalah 1 : 16.000

                3.            Rasio Puskesmas terhadap penduduk adalah 1 : 16.000

                4.            Rasio Puskesmas Pembantu terhadap penduduk adalah 1 : 1.500

                5.            Rasio ketersediaan tempat tidr Rumah sakit per satuan penduduk adalah 1 : 1000

                6.            Rasio tenaga dokter per satuan penduduk adalah merupakan perbandingan ideal antara jumlah ketersediaan tenaga dokter berbanding jumlah penduduk. Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal Kesehatan, rasio idealnya adalah 1 : 2.500

                7.            Rasio tenaga Dokter Spesialis per satuan penduduk adalah merupakan perbandingan ideal antara jumlah ketersediaan tenaga dokter spesialis berbanding jumlah penduduk. Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal Kesehatan, rasio idealnya adalah 1 : 16.000.

BACA JUGA : Damage Control; Darurat Kematian Dokter dan Nakes Akibat Covid-19

Kebutuhan dokter untuk setiap rumah sakit berbeda-beda. Itu tergantung tipe atau kelas dari masing-masing rumah sakit. Berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan juga dalam PP 47 Tahun 2021 yang merupakan PP dari UU No 11 tahun 2020 Cipta Kerja (OBL). ada empat tipe rumah sakit yakni tipe A, B, C, dan D.

Rumah sakit tipe C, misalnya, butuh minimal 9 dokter umum untuk pelayanan medis dasar. Selain itu, perlu minimal 2 dokter gigi umum, 2 dokter spesialis pelayanan medis dasar, 1 dokter spesialis pelayanan medis penunjang, dan 1 dokter gigi spesialis. Sementara, untuk rumah sakit tipe B, butuh minimal 12 dokter umum, 3 dokter gigi umum, 3 dokter spesialis pelayanan dasar, 2 dokter spesialis pelayanan medis penunjang, 1 dokter spesialis pelayanan medis spesialis, 1 dokter spesialis pelayanan medis subspesialis, dan 1 dokter gigi spesialis.

Secara filisofi penerbitan SIP dokter / dokter gigi oleh pejabat yang berwewenang adalah berbasis kebutuhan pelayanan dokter kepada masyarakat yang mana masih timpangnya ratio dokter di daerah daerah baik di pulau jawa yang jumlah penduduknya banyak dan padat.

BACA JUGA : Penerimaan CPNS Balangan, Kouta Dokter Spesialis Kosong Pelamar

Apalagi di luar Pulau Jawa yang pada saat diundangkan UU Pradok, pendidikan dokter dan dokter spesialis terpusat di Jawa dan hanya beberapa di Sumatera dan Sulawesi. Begitu pula, jumlah Fakultas Kedokteran (FK) masih terbatas.

Adapun kondisi saat ini, menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BPPSDM) Kemenkes Usman Sumantri mengatakan Indonesia saat ini mengalami surplus tenaga kesehatan khususnya profesi dokter. Sementara di sisi lain, ia mengaku ada persoalan pada pendistribusiannya dokter di Indonesia.

Oleh sebab itu sebagai langkah yang tepat, ia mengaku Kemenkes bersama Kemenristekdikti sudah sepakat untuk mengendalikan lulusan dokter pada Fakultas Kedokteran yang ada saat ini.

“Tahun ini lulusan FK saja sudah 12.000, jadi Kemenristekdikti sudah membatasi jumlah lulusan dari FK, FK jadi dikuotakan,” ujarnya di Jakarta Selatan, Jumat (5/4/2019).

Menurutnya, total 12.000 dokter lulusan FK tersebut berasal dari 78 FK yang ada, dari total 89 FK yang ada di Indonesia.

“Kalau semuanya memproduksi, bayangkan jumlahnya. Makanya dikuotakan supaya tidak terlalu banyak dan kualitasnya semakin bagus,” ujarnya. Sementara itu, untuk mengatasi pendistribusian tenaga kesehatan (nakes) yang tidak proprosional karena hanya menumpuk di satu titik saja.

BACA JUGA : Kewajiban Etik dan Hukum bagi Dokter dalam Menjalankan Praktik Kedokteran dan Aspek Pidananya

Padahal sebelumnya, pada saat HUT IDI ke 62 (sembila tahun yang lalu ) dr Slamet Budiarto SH MHkes selaku Sekjen PB IDI saat itu pernah menyatakan bahwa program pemerintah untuk membatasi pendirian Fakultas Kedokteran didukung Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Bahkan tidak hanya membatasi pendirian Fakultas Kedokteran baru, IDI memandang bila perlu Fakultas Kedokteran yang sudah ada dan tidak berkualitas ditutup saja.

”Sekarang banyak Fakultas Kedokteran yang akreditasi C. Mau tidak mau bukan hanya dibatasi tetapi yang sudah berdiri kalau tidak berkualitas ditutup saja,” kata dr Slamet Budiarto SH M.Kes, Sekjen PB IDI kepada Lombok Post (Grup JPNN), Minggu (14/10) di Mataram.

Menurut dr Slamet, perbandingan jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah dokter anggota IDI sebenarnya sudah memadai. Munculnya fakultas-fakultas kedokteran yang baru dikhawatirkan hanya menambah jumlah lulusan tetapi mutunya kurang terjamin. Jumlah dokter anggota IDI saat ini sudah mencapai 110.000 orang. Terdiri dari 85 ribu dokter umum dan 25 ribu dokter spesialis. Ratio kebutuhan dokter terhadap jumlah penduduk adalah 1:3.000. Artinya satu dokter melayani 3.000 penduduk.

”Kalau penduduk Indonesia 230 juta jiwa, berarti kebutuhan dokter sudah cukup. Cuma penyebarannya yang belum merata,” kata dr Slamet. Ia mengharapkan pemerintah untuk memperhatikan tenaga dokter dengan memberi reward dan penghargaan. Memperhatikan jenjang karier mereka yang bertugas di daerah terpencil atau di desa-desa. Kalau tidak, dokter akan tetap enggan ke desa, karena dari segi financial tinggal di kota jauh lebih menjanjikan.

BACA JUGA : Dua Buku Merekam Kegelisahan Sang Dokter soal Pilkada di Tengah Pandemi

Seperti dikutip tirto.id tanggal 14 maret 2019 Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Daeng Mohammad Faqih mengatakan persoalan pemerataan tenaga medis khususnya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), masih menjadi persoalan sampai dengan saat ini.

Terutama di wilayah seperti NTT, Papua, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan. Padahal menurutnya, jika menggunakan rasio perhitungan dari World Health Organization yakni 1:2500 (1 dokter untuk 2500 jiwa), dengan jumlah dokter yang berada dalam catatan IDI sebanyak 172 ribu, dan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 265 jiwa per 2018 lalu. Menurutnya sudah terpenuhi kebutuhan dokter yang ada hingga wilayah-wilayah terpencil sekalipun.

“Tapi persoalannya terletak didistribusinya yang tidak rata. Banyak menumpuk di kota besar, Jakarta, Medan, dan lainnya,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (14/3/2019).

Melihat jumlah tenaga medisnya sudah tercukupi namun masih adanya wilayah yang belum terjangkau tangan dokter, Faqih menilai masalah ini karena belum terjaminnya insentif bagi para dokter tersebut, agar mau bekerja di daerah-daerah. Dalam konteks ini, menurutnya pemerintah daerah dengan otonomi yang ada sebetulnya berkewajiban menjaga ketersediaan dokter di masing-masing daerahnya.

BACA JUGA : Tragedi Kemanusiaan Kematian Dokter di Tengah Wabah Covid-19

Selain insentif gaji, menurut Faqih, ada hal yang perlu diperhatikan lagi. Terkait dengan jaminan rasa aman, jaminan kesehatan, dan jaminan pengembangan bagi keluarga dokter. Faqih juga menjelaskan, ada kekhawatiran para dokter yang bekerja di daerah dengan insfrastuktur pendidikan yang belum memadai, bagaimana nasib anak-anak mereka.

Hal semacam ini yang menurut Faqih perlu diperhitungkan, memang caranya tidak dengan pemerintah membangun sekolah yang sesuai dengan kualitas kota, sebab hal tersebut memakan waktu proses yang panjang.

“Tapi bisa juga dijamin dengan insentif transportasi untuk aktifitas pendidikan keluarga si dokter, Kalau tidak dipikirkan, dokter akan terbebani dan akhirnya memutuskan untuk kembali, tidak bekerja di wilayah terluar itu lagi. Bagi saya itu manusiawi,” pungkasnya.

BACA JUGA : Kasus Corona Kompleks, IDI Sebut Ada 60 Dokter di Kalsel Terpapar Covid-19

Penulis mengingat kembali bahwa secara autran perundangan tentang penertiban SIP saat ini seorang dokter berhak mendapatkan maksimal 3 SIP di 3 tempat praktek . Yang filisofi awalnya adalah untuk memberikan maksimal pelayanan kesehatan dan keahliannya kepada masyarakat di tiga titik pelayanan dan ini pun secara ekonomi akan meningkatkan penghasilan dan kesejahteran dokter.

Pengusung reduksi SIP satu tempat dalam bentuk monoloyalitas dokter terhadap RS atau faskes bahwa dengan menjamin  pemberian gaji dan insintif serta jasa medis dokter besaran sudah memenuhi harapan dokter yang bersangkutan sehingga dokter tersebut fokus memberikan pelayanan terbaik bagi masyararakat yang berobat ke RS atau faskes tersebut dan secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan dokter dan hidupnya RS.(jejakrekam)

Penulis adalah Dokter Ahli Utama RSDI Banjarbaru/ KUHM

Candidat Doktor Ilmu Hukum UNISSULA

Mediator Non Hakim Bersertifikat MA

Anggota Kongres Advokat Indonesia dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia

Ketua Bidang Advokasi Medikolegal PAPDI Cabang Kalsel. Anggata Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) dan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia  (APDHI).

Wakil Ketua Komite Etik dan Hukum RSDI Banjarabru

Pengurus Pusat PERDAHUKKI Bidang Ilmiah, Diklat dan Pengembangan SDM

Anggota Perhimpuman Profesi Mediator Indonesia

Ketua Harian Perkumpulan Profesional Hypnoterapy Indonesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.