Menyoal Infrastruktur Kawasan Batang Banyu, Mengapa Tak Berkembang Maju (1)

0

Oleh : Dr Subhan Syarief

EKSPEDISI Batang Banyu menelusuri Sungai Martapura, Sungai Barito dan Sungai Nagara mulai Banjarmasin, Marabahan, Margasari dan Nagara menyisakan banyak tanya.

PERTANYAAN itu menyangkut persoalan lingkungan, pengurasan sumber daya alam (SDA), sosial, politik, budaya, pendidikan, infrastruktur ataupun berkelindan dengan keadilan, hak warga dan bahkan persoalan kepemimpinan pun ada di sana.

Memang. Dari berbagai pembicaraan dan diskusi sepanjang perjalanan menyusuri tiga sungai, hal kompenen infrastruktur fisik penunjang aktivitas kehidupan warga, terkhusus warga sepanjang tepian sungai atau mungkin sepanjang kawasan bantaran sungai belum banyak tersentuh atau tepatnya dikuak ke permukaan.

Ketika diskusi, hal infrastruktur digunakan hanya sebagai alat bukti bahwa kemajuan tak menyentuh kawasan tersebut. Ya, kawasan Batang Banyu dari segi Infrastruktur fisik terkhusus area yang langsung berbatasan dengan sungai akan menjadi studi menarik, apalagi bila kemudian di kaitkan dengan pemanfaatan potensi SDA yang tiap hari hilir mudik lewat sepanjang Sungai Barito.

Bicara infrastruktur fisik secara mendasar tak bisa dipisahkan dengan pemanfaatan sungai dalam menunjang berbagai aktivitas kehidupan warga. Infrastruktur fisik ini tumbuh berkembang secara alamiah akibat semakin meningkatnya aktivitas perekonomian, perniagaan, angkutan beragam hasil alam, keamanan geopolitik daerah, dan berbagai aktivitas lainnya yang melalui jalur sungai.

BACA : Bukan Hanya Susur Sungai, Hasil Kajian Ekspedisi Batang Banyu Direspons Rektor ULM

Umumnya di setiap kawasan Batang Banyu yang relatif sudah berkembang terdapat beberapa kompenen Infrastruktur fisik, antara lain:

Pertama; Infrastruktur Dermaga/Pelabuhan, Pasar dan Gudang. Awal mula pertumbuhan daerah pusat kawasan di tepi sungai tidak bisa lepas dari hal jalur sarana transportasi atau moda transportasi sungai. Kapal, perahu dan jukung merupakan alat angkutan manusia, hasil pertanian, perkebunan dan berbagai barang atau jasa lainnya. Semua berfungsi untuk melancarkan pemenuhan berbagai kebutuhan pokok penunjang kehidupan manusia, kemudian untuk melancarkan dan memudahkan layanan berbagai aktivitas tersebut kemudian di sediakan lah infrastruktur berupa pelabuhan atau dermaga.

Sejatinya, bila merunut sejarah dan mencoba memasuki ranah pikiran para ‘pemikir’ tempo dulu, maka hampir dipastikan dermaga adalah infrastruktur utama yang didahulukan dibangun oleh masyarakat Batang Banyu. Karena ini area yang memudahkan mereka untuk menyandarkan perahu dan juga ketika bongkar muat barang ataupun turun naiknya penumpang. Perkembangan berikutnya, baru kemudian di sekitar dermaga tersebut di bangun pasar untuk berdagang dan mungkin juga gudang-gudang untuk menyimpan barang-barang yang mau di kirimkan ketempat lain.

BACA JUGA : Ekspedisi Batang Banyu; Menelusuri Duka dan Harapan di Jalur Sungai Martapura-Barito-Nagara

Dalam hal ini bisa diilustras kan bahwa era lampau bila ada dermaga/pelabuhan maka akan disertai dengan juga dengan di bangunnya infrastruktur perdagangan jasa berupa pasar dan gudang-gudang untuk menyimpan stock barang yang akan diperjualbelikan atau yang akan dikirim ke daerah lainnya. Baik lewat jalur darat ataupun juga dikirim lewat jalur sungai.

Memang, ketika melewati empat daerah atau kota yang dulunya menjadi pusat pemicu pertumbuhan Kalsel, bahkan Kalimantan, mulai dari Kota Banjarmasin, Marabahan, Margasari dan Nagara bisa terlihat sisa kejayaan masa lampau tersebut. Pada semua kawasan pusat pertumbuhan kota-kota di bantaran sungainya selalu terdapat minimal dermaga/pelabuhan dan pasar. Untuk yang lengkap dengan area pergudangan yang masih tergambar adalah yang terdapat di Kota Banjarmasin.

BACA JUGA : Dari Kalkulasi Ekspedisi Batang Banyu, Batubara Yang Milir Di Sungai Barito Bernilai Rp 129 Triliun Setahun

Tetapi sayangnya, fakta yang terlihat di keempat kota tersebut, kondisi dermaga,pasar ataupun pergudangan seolah tak terawat, tak pernah tersentuh oleh pembenahan yang terpadu secara komprehensif. Ada perbaikan atau renovasi sepertinya sekedar ‘tambal sulam’  dan seadanya.

Bahkan di Kota Banjarmasin, sebagai kota yang maju perdagangan jasanya. Mestinya bisa memberikan contoh pemanfaatan atau optimalisasi terhadap berbagai aset bahari tersebut, ternyata hal perbaikan terhadap berbagai dermaga, pasar dan pergudangan yang bernilai sejarah tinggi sepanjang tepian Sungai Martapura hampir tak ada dilakukan. Kalaulah ada, itu hanya sekadarnya saja.

BACA JUGA : Catatan Tercecer Dari Ekspedisi Batang Banyu; Bercerita Margasari Dan Nagara

Kedua; Masalah Infastruktur Perumahan. Secara umum begitu perkembangan dermaga dan pasar, gudang telah menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi kawasan, maka selanjutnya berbagai aktivitas manusia, barang dan jasa pun akan semakin meningkat tajam. Sehingga agar bisa mempermudah warga baik itu pendatang ataupun orang asli daerah dalam menjalankan aktivitas bisnis, maka berujung kebutuhan akan hunian pun menuntut untuk disediakan.

Kebutuhan ini akhirnya secara alamiah membuat warga dan pendatang membangun hunian atau rumah untuk mereka beristirahat atau bahkan menetap. Dari sini, kemudian berbagai pusat kawasan Batang Banyu mulai padat. Dan ini terlihat pada kawasan bantaran sungai di sepanjang kawasan Batang Banyu yang dilalui tim ekspedisi, terkhusus yang memang menjadi tempat bermukim warga baik itu Sungai Martapura, Sungai Barito dan Sungai Nagara umumnya dipenuhi oleh perumahan warga berbentuk rumah panggung berjejer di sepanjang bantaran/tepi sungai, model rumah relatif sederhana, tak banyak yang mengesankan kemewahan.

BACA : Ekspedisi Batang Banyu; Arungi 3 Sungai Berujung Luka (1)

Kondisi rumah menunjukkan kesederhanaan, seperti sudah dibangun lama, mungkin ketika aktivitas transfortasi sungai menjadi pilihan satu-satunya.  Pertumbuhan kawasan bantaran sungai di zona dekat pusat kawasan menunjukkan kondisi pertumbuhan yang berkembang pesat.

Beranda belakang menjadi bagian utama dari rumah dan umumnya punya area untuk melaksanakan aktivitas transaksi jual beli barang berbagai kebutuhan pokok melalui jalur sungai. Juga tak jarang sebagai area parkir alat transportasi sungai yang mereka miliki; seperti klotok, jukung ataupun speed boat.

Fasilitas penunjang hunian seperti toiled, masih didominasi dengan model komunal melalui mengandalkan sistem ‘lanting’ atau ‘batang’ yang langsung berada di atas sungai, tanpa adanya septic tank untuk menampung atau mensterilkan limbah kotoran. Mereka, mandi, cuci dan buang kotoran pun semua diatas lanting.

Ya, budaya turun temurun yang sampai saat ini masih digunakan, terkhusus bagi warga yang ekonominya tak mampu. Sedangkan warga yang sudah ekonomimya relatif mampu, disertai pemahaman mengenai hal kesehatan, mereka sudah mulai memindahkan toiletnya langsung ke rumah, dengan septic tank yang dobuat di daratan dan lebih higienis.

BACA JUGA : Ekspedisi Batang Banyu; Arungi 3 Sungai Berujung Luka (2-Habis)

Ketika tim ekspedisi mengarungi tiga sungai dan melewati beberapa perkampungan atau permukiman ditepian sungai. Terlihat adalah kondisi rumah-rumah yang seolah  tak pernah tersentuh perbaikan, kesan tua, kumuh dan tak sehat kentara terlihat.

Banyak rumah yang minim jendela dan ventilasi udara. Hampir tak ada yang luar biasa, atau perubahan yang berarti dan memberikan tampilan etalase yang berkemajuan dibandingkan dengan kondisi perumahan yang ada di area daratan. Bahkan ada beberapa kawasan yang dilalui terdapat rumah-rumah warga yang sudah tak berpenghuni.

Bangunan rumah-rumah tersebut sudah kosong dan dipenuhi oleh tanaman merambat, ketika kapal motor yang ditumpangi tim ekspedisi melewati kawasan tersebut terlihat di atas atap bangunan/rumah banyak kera-kera yang duduk santai, sepertinya sudah sejak lama kawasan tersebut tak berpenghuni sehingga menjadi sarang dari binatang liar, seperti kera-kera khas Kalimantan.

BACA JUGA : Terbangun Kepanasan, Ancaman El Nino Mengintai Batang Banyu Dan Berharap Hujan Di Bulan ‘Ember’

Kondisi ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut sudah tak menjanjikan lagi untuk di huni manusia, padahal awalnya dulu mungkin tersebut cukup maju berkembang. Entah karena potensi pertanian, perkebunan atau mungkin dulunya sebagai rest area kapal singgah.

Ketiga; Infrastruktur Pabrik/Tempat Usaha. Multiplier effect atau efek berganda dari banyaknya aktivitas perdagangan jasa dan hunian memunculkan aktivitas lainnya, seperti diperlukan infrastruktur fisik lain seperti bengkel, pabrik pengolahan hasil pertanian, warung makan, warung minum, penginapan dan berbagai tempat usaha lainnya.

Ketika era kayu menjadi ‘ladang emas’ sektor usaha Kalsel, maka berbagai ‘wantilan’ (pabrik pemotongan kayu tradisional) dan pabrik besar seperti pabrik plywood bahkan kantor perusahaan kayu pun di bangun di tepi sungai. Selain itu,. juga banyak tempat usaha sampingan, seperti penggilingan padi, toko sembako dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Kadangkala tempat usaha ini juga merangkap sebagai rumah tinggal.

Bahkan, ada pula yang terapung, biasanya disebut rumah lanting. Sampai saat ini masih ada di atas sungai Martapura, Sungai Barito dan Sungai Nagara berbagai tempat usaha terapung, seperti warung terapung, toko terapung yang kadang kala juga merangkap sebagai rumah, rumah lanting itu sebutannya.

BACA JUGA : 3 Hari Ekspedisi Batang Banyu Merekam Budaya Luhur Pemukim Bantaran Sungai di Kalsel

Sama sepertinya halnya infrastruktur dermaga, pasar dan gudang, hal infrastruktur pabrik atau tempat usaha ini juga tak banyak lagi yang bisa bertahan. Kalau pun bisa bertahan, maka kondisinya juga sangat memprihatinkan. Yang terlihat masih banyak adalah terkait dengan warung makan dan minum, serta penginapan.

Hampir semua sudah ditinggalkan, ini karena jalur utama angkutan barang jasa sebagai pengerak aktivitas usaha dan bisnis warga sudah berpindah dari sungai ke daratan.

Keempat; Infrastruktur Fisik Berupa Titian atau Jalan.Titian atau Jalan merupakan bagian dari fasilitas publik yang di gunakan untuk jalur penghubung antar hunian/rumah masyarakat. Atau bisa juga merupakan area jalan untuk keluar masuk ke kawasan permukiman, atau keluar masuk menuju pelabuhan, menuju pasar dan menuju infrastruktur publik lainnya. Titian umumnya terbuat dari konstruksi kayu; sistem panggung, dengan material tiang, balok dan alas injak (lantai) dari kayu ulin.

BACA JUGA : Batang Banyu Berujar: Jaga Alam, Tata Lingkungan, Haragu Sungai dan Bangunakan Urangnya!

Lebar titian tergantung kebutuhan. Umumnya hanya untuk berjalan kaki maka lebar nya antara 1,5 meter sampai 2 meter. Jarang yang lebih dari 2 meter.  Sedangkan, jalan umumnya dibuat dari gundukan tanah yang diratakan atau di bagian atas di lapis dengan pasir, kerikil atau batu sungai. Lebarnya kisaran 1 ,5 meter sampai dengan 4 meter, untuk yang lebarnya di atas 2 meter umumnya sudah bisa dilewati kendaraan.

Kalau dulu adalah dilewati oleh gerobak angkutan yang ditarik hewan seperti sapi, kuda, kerbau. Ketika sungai menjadi jalur utama transportasi maka jalan tidaklah terlalu berkembang maju, baru ketika transportasi berubah ke darat maka jalan menjadi bagian penting yang dibangun dan diperbanyak.

Kelima; Lanting/Batang. Lanting atau Batang berfungsi sebagai area service komunal warga batang banyu, atau warga tepi sungai. Lanting/Batang ini terapung di atas sungai, di gunakan untuk sarana mandi, cuci dan toilet untuk mewadahi kepentingan beberapa rumah warga. Lanting atau Batang ini terbuat dari material kayu gelondongan besar yang terletak di bagian bawah. Fungsinya untuk membuat Lanting jadi timbul/terapung, kemudian di atas batang kayu gelondong itu di pasang balok ulin untuk pengikat/pengaku sekaligus berfungsi sebagai tempat menempelnya papan ulin sebagai alas atau lantai dari Lanting/Batang.

Ukuran Lanting umumnya lebar antara sekitar 2 meter-3 meter, sedangkan panjangnya kisaran 4 meter – 6 meter ; bagian salah satu ujung belakang umumnya ada ruang berbentuk kotak yang berfungsi sebagai area toilet (tempat buang air besar dan ganti pakaian). Ruang toilet ini ada yang diberi penutup atap dan ada juga yang terbuka. Selain dari batang kayu gelondong, untuk daerah tertentu ada juga yang terbuat dari bambu yang disusun.

Ini umumnya banyak digunakan di daerah Tanjung, Barabai, Kandangan, Rantau dan Martapura. Permasalahan utama terkait lanting adalah persoalan pembuangan limbah kotoran, kotoran tak ditampung di septic tank tapi dibiarkan larut di sungai. Kesan jorok dan tak higienis ini membuat kondisi sungai juga tak mencerminkan kondisi nyaman, bersih dan asri.

Keenam; Infrastruktur Fisik Pusat Pemerintahan dan termasuk, Benteng Keamanan atau Pertahanan.Pada perkembangan awal, terkhusus ketika era kerajaan, bahkan di era penjajahan pun daerah kawasan batang banyu (Sungai) selalu ada dibangun benteng pertahanan, dan juga pusat pemerintahan, termasuk Istana Raja atau rumah petinggi penjajah.  Tetapi dalam kasus di Kalimantan Selatan ini, tak banyak punya data hal dimana dan model seperti apa bentuk kerajaan atau tata kota/master plan dari kawasan pusat pemerintahan dan pertahanan.

Untuk era Kerajaan Banjar dan era Pemerintahan Kolonial Belanda memang ada ilustrasi lokasi benteng pertahanan dan pusat pemerintahan, seperti Benteng Tatas. Bahkan konon, Istana Sultan Banjar Tamjidillah II pun berada di tepian Sungai Martapura, Banjarmasin. Secara umum, semua kerajaan mulai dari Kerajaan Nagara Dipa, Nagara Daha dan Banjar posisi pusat pemerintahan dan pusat pertahanan/benteng berada di tepian tiga sungai (Barito, Nagara dan Martapura) yang letaknya strategis.

Namun, hal bentukan ataupun sisa model peninggalan dari istana dan benteng tersebut sudah tak ada lagi. Penelusuran melalui tulisan dan kisah-kisah masa lalu pun tak mampu untuk memberikan gambaran utuh mengenai hal tersebut. Dari aspek konstruksi, hal infrastruktur fisik juga menarik untuk dicermati. Hampir semuanya, baik itu bangunan, rumah, pasar, gudang, pabrik, dermaga/pelabuhan, titian semuanya bermodel sistem panggung.

BACA JUGA : Ekspedisi Batang Banyu; Menelusuri Duka dan Harapan di Jalur Sungai Martapura-Barito-Nagara

Sistem yang memang tepat untuk kawasan air atau rawa. Sedangkan struktur konstruksinya didominasi penggunaan material kayu, umumnya kayu ulin. Kayu besi ini umum digunakan pada rangka utama, seperti pada bagian rangka bawah (pondasi) dan bagian tiang bangunan.  Pada rumah atau area gudang/pabrik warga yang ekonominya menengah kebawah untuk penutup lantai dan dinding kebanyakan mengunakan material kayu dari jenis meranti/lanan, sedangkan rangka atap dari kayu meranti dengan penutup atap dari atap daun enau yang dikeringkan (atap kajang). Bagi warga yang mampu/kaya umumnya lantai dan dinding nya semua mengunakan kayu jenis Ulin. Penutup atap dari kayu Ulin yang disebut atap sirap.

Sering pula ditemukan, rumah/bangunan yang tiang utamanya, terutama bagian rangka bawah mengunakan batang kayu bulat. Batang kayu bulat ini kadang ada juga yang tidak menggunakan jenis kayu ulin. Tapi mengunakan jenis kayu lain yang cukup kuat dan tahan lama, seperti kayu balau atau kayu jenis bakau. Kayu ini memang tak sekuat ulin, tapi keuntungan nya harga relatif lebih murah. Baru kemudian pada perkembangan kekinian yang sudah mulai menampakkan pengunaan material modern dan mewah, dengan  pengunaan material lantai dari keramik dan dinding dari pasangan bata atau plesteran/cor semen.

BACA JUGA : Konsep Batang Banyu yang Kian Berubah di Tengah Masyarakat Banjar

Akan tetapi kondisi ini, hanya banyak terlihat pada pusat kawasan permukiman. Pada umumnya digunakan pada infrastruktur yang dibiayai oleh pemerintah atau dibiayai oleh urun dana masyarakat seperti pada dermaga, siring dan bangunan publik/masjid.

Ganjalan dalam benak kita ujungnya pasti memunculkan tanya, mengapa berbagai infrastruktur fisik kawasan Batang Banyu yang sejatinya memiliki nilai historis tinggi  dan memberikan sumbangsih dalam perkembangan provinsi Kalimantan Selatan ini tak bisa bergerak maju atau berkembang.

Secara sederhana bila didasarkan atau berpijak pada pengamatan terhadap fakta disertai ‘analisis empiris’ perjalanan panjang keempat kawasan tersebut, maka dapat diindikasikan faktor penyebabnya. Yakni;

BACA JUGA : Ungkap Hasil Riset, Tim Ekspedisi Batang Banyu Berdialog dengan Bupati Tabalong

Pertama; ketidakpekaan dan kurangnya pemahaman, kesadaran bahkan kepedulian dari para pengambil kebijakan, tokoh-tokoh baik itu intelektual, pakar budayawan dan sejarah, tentang hal penting nya nilai historis perjalanan pertumbuhan empat kota atau daerah tersebut untuk dijadikan rujukan dalam menata kawasan Batang Banyu.

Kedua; sejarah yang tertulis dan dipromosikan Kalsel, hanya di dominasi atau terfokus tentang hal kebesaran Kerajaan Banjar saja, dan mengabaikan penelusuran sejarah tentang kebesaran Kerajaan Nan Sarunai, Kerajaan Nagara Dipa dan Kerajaan Nagara Daha.

Ketiga; minimnya data tertulis dan bukti artefak; situs atau yang sejenisnya berkaitan dengan perjalanan era ke era masa kerajaan yang terdapat di Kalimantan Selatan.

Keempat; kurangnya, bahkan mungkin belum adanya dukungan dana dan kebijakan, atau regulasi untuk melakukan langkah kajian mendalam dan riset terhadap sejarah pertumbuhan dan peradaban kawasan sungai Barito, Sungai Martapura dan Sungai Nagara yang masuk dalam wilayah Kalimantan Selatan.

Kelima; belum punya masterplan atau roadmap tentang pengembangan dan penataan terpadu kawasan bantaran Sungai Barito, Sungai Martapura dan Sungai Nagara, terkhusus yang berada di wilayah Kalimantan Selatan.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Anggota Tim Peneliti Ekspedisi Batang Banyu 2023

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.