Ekspedisi Batang Banyu; Arungi 3 Sungai Berujung Luka (1)

0

Oleh : Dr Subhan Syarief

DIAWALI diskusi santai antar narasumber usai tayang acara rutin Ngobrol Pinggiran (Ngopi) dalam podcast JR TV dan jejakrekam.com, di akhir pekan, tercetuslah ide Ekspedisi Batang Banyu.

AWALNYA, diksi itu bernama Ekspedisi Sungai, kemudian diganti dengan Ekspedisi Batang Banyu agar ada kekhasan atau bernuasa lokal daerah. Terutama, menunjukkan daerah yang ada di kawasan di hulu sungai baharinya di sebut sebagai daerah batang banyu.

Ekspedisi Batang Banyu bertujuan melakukan kegiatan napak tilas kawasan vital yang menjadi awal pusat pertumbuhan atau perkembangan Provinsi Kalimantan Selatan, bahkan Kalimantan. Ya, kegiatan bak riak kecil bermaksud memetakan berbagai masalah dan potensi daerah hulu sungai yang saat ini semakin terpinggirkan.

Di samping itu, tentu bisa saja ke depan diharapkan memberikan persepsi berbeda tentang bagian sejarah perjalanan atau peradaban di Kalimantan Selatan, bahkan Kalimantan, terkhusus bagi generasi yang lahir di era 1980-an keatas, yang sudah jarang mengetahui berbagai aktivitas kehidupan sungai.

Rute ekspedisi dari Banjarmasin dengan tujuan akhir Babirik, tapi mengingat kapal besar yang disewa tak bisa mencapai ke sana akibat terhalang jembatan rendah, maka rute sampai Nagara saja. Perjalanan menuju Nagara akan melewati Marabahan dan Margasari.

BACA : Catatan Ringan Ekspedisi Batang Banyu dari Banjarmasin ke Negara (1)

Tepat pada Jumat (1/9/2023) sekira jam 10 pagi dari dermaga depan Hotel Swisbell Bornoe Banjarmasin, rombongan resmi dilepas oleh Rektor Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof Dr Ahmad Alim Bachri, perjalanan ekspedisi mengarungi tiga sungai dimulai.

Ekspedisi Batang Banyu diikuti sekitar 60 peserta dengan menggunakan kapal motor bahari yang dulunya terkenal dengan nama Kapal Nagara.

Kapal motor ini bertingkat dua, biasanya khusus digunakan untuk angkutan umum para penumpang dan barang rute Banjarmasin ke Nagara ataupun dari sebaliknya. Kapal Nagara sampai dengan saat ini masih beroperasi, kapal motor yang besar bertingkat dua infonya hanya ada tersisa 2 buah, tentu ini patut menjadi perhatian.

Sejarah angkutan transportasi sungai kapal Nagara ini adalah aset budaya dan tradisi bahari masyarakat batang banyu, sehingga dasarnya sangatlah patut untuk dilestarikan. Kawasan batang banyu, adalah istilah atau kata yang mengunakan bahasa daerah (Banjar), batang banyu konon merupakan sebutan bagi kawasan daerah yang umumnya terletak hulu sungai atau daerah yang berada di tepi sungai disepanjang sungai Martapura, Sungai Barito dan Sungai Nagara.  Kehidupan kawasan tersebut sangat kuat ketergantungan nya dengan sungai sehingga sungai menjadi sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan mereka.

BACA JUGA : Catatan Ringan Ekspedisi Batang Banyu dari Banjarmasin ke Negara (2-Habis)

Dari sungailah peradaban, sosial budaya dan bahkan kreativitas masyarakat menjadi tercipta. Ya, bila menguak sejarah lahirnya peradaban dunia, maka banyak fakta kemajuan budaya dan peradaban berasal dengan adanya sungai di kawasan tersebut.

Sungai Martapura menjadi rute pertama yang mesti dilalui oleh tim Ekspedisi Batang Banyu. Sungai ini merupakan anak sungai Barito, muaranya di Kota Banjarmasin hulunya menuju ke wilayah kabupaten Banjar.  Sungai Martapura, di era Kerajaan Banjar kurun tahun 1640 M bernama Sungai Kayutangi, tapi ada juga sebagian yang menyebutnya sebagai Sungai Banjar Kecil. Bahkan ketika era aktivitas pedagang China yang tinggi di hilir sungai di zaman dahulu sungai ini disebut juga sebagai Sungai Cina.

Nama lain yang diberikan ketika VOC-Belanda, kisaran Agustus 1787 berkuasa dinamakan Sungai Tatas, ini karena adanya delta Pulau Tatas yang sekarang menjadi pusat Kota Banjarmasin. Sehingga nama lain dari Kota Banjarmasin adalah Kota Tatas.

BACA JUGA : Dari Kalkulasi Ekspedisi Batang Banyu, Batubara Yang Milir Di Sungai Barito Bernilai Rp 129 Triliun Setahun

Di era kuasa Oloh Masih, konon sebelum Kerajaan Banjar berdiri kawasan ini disebut kawasan Bandar Patih Masih/Bandar Masih yang lokasinya terletak di sebelah hulu muara Sungai Kelayan. Dengan posisi Banjarmasin dibelah oleh Sungai Martapura berikut anak sungainya inilah kemudian fungsi sebagai kota Bandar/Pelabuhan membuat Banjarmasin menjadi tumbuh berkembang, bahkan menjadi pusat perdagangan jasa di kawasan Kalsel, Kalteng dan Kaltim.

Banjarmasin menjadi daerah penting untuk menampung barang dari luar pulau Kalimantan untuk disebar ke pedalaman Kalimantan dan kemudian menampung barang dari pelosok pulau Kalimantan untuk dikirimkan ke luar pulau. Jadi, kondisi inilah yang akhirnya pertumbuhan kawasan tepi sungai menjadi dipenuhi permukiman yang pesat, dengan pusatnya di kawasan perdagangan Sudimampir/Ujung murung. Ya, memang di masa lalu sungai betul-betul disadari sebagai faktor vital dalam memudahkan aktivitas kehidupan masyarakat di semua aspek kehidupan.

BACA JUGA : Ekspedisi Batang Banyu; Menelusuri Duka dan Harapan di Jalur Sungai Martapura-Barito-Nagara

Sungai adalah urat nadi kehidupan Kota Banjarmasin. Ya, sayangnya di perkembangan berikut, ketika jalur transportasi sungai di alihkan bahkan diutamakan melalui darat karena dinilai lebih efisien efektif maka keberadaan sungai tidak lah dianggap penting lagi. Sehingga sungai semakin terabaikan dan dibiarkan tak terjaga dengan baik.

Menikmati jejeran permukiman dari atas kapal menjadi sangat menarik, bayangan masa lalu yang dipenuhi oleh rimbunan pepohonan, seperti kelapa, rambai dan vegetasi lainnya. Diringi celotehan kera dan kicauan burung taklah ada terdengar lagi.

Sepanjang sungai terlihat permukiman berjejer, permukiman yang terlihat jelas menampilkan suguhan etelasi tak nyaman di lihat mata. Kawasan pusat perdagangan jasa di Sudimampir, Pasar Harum Manis dan Pasar Lima yang dulu menjadi pusat grosir Kalimantan tak lagi terlihat ramai. Bahkan pelabuhan untuk tambatan dan persinggahan kapal motor yang kami tumpangi pun tidaklah memberikan gambaran keindahan sebuah kota sungai yang maju dan berkembang.

BACA JUGA : Bukan Hanya Susur Sungai, Hasil Kajian Ekspedisi Batang Banyu Direspons Rektor ULM

Belum lagi bila melihat kawasan permukiman di sepanjang Teluk Tiram, Rantauan Darat sampai ke kawasan Basirih. Kondisi atap, dinding dan bahkan  berbagai fasade bangunan yang mestinya asri sesuai dengan keindahan sungai Martapura ternyata berkesan kumuh, tua dan bahkan rapuh.

Etalasi yang tersaji menyatakan bahwa kawasan tepi sungai ini sejak lama , bahkan mungkin lebih dari puluhan tahun keatas sangat tak diperhatikan, atau bahkan memang tak pernah tersentuh program kebijakan untuk dilakukan penataan.

Paling menyedihkan adalah ketika melihat kawasan unggulan kota berupa pusat perdagangan jasa dan pelabuhan atau dermaga untuk moda angkutan sungai yang dulu membuat ekonomi kota Banjarmasin tumbuh dan berkembang pun tak terperhatikan, bahkan  tidaklah tersentuh program pembangunan yang berkelanjutan.  

BACA JUGA : 3 Hari Ekspedisi Batang Banyu Merekam Budaya Luhur Pemukim Bantaran Sungai di Kalsel

Dari etalase fisik yang terlihat, seolah kawasan tersebut tak dipedulikan, seolah mau di matikan secara pelan-pelan. Mengherankannya, malahan yang ditata secara masif dan berkelanjutan adalah pembangunan siring sepanjang bantaran sungai di seberang dari pusat perdagangan bahari kota Banjarmasin. Siring berkonstruksi beton dengan tiang pancang yang ditanamkan puluhan meter tersebut dipastikan telah menghabiskan dana lebih dari ratusan miliar, bahkan bisa saja telah mencapai jumlah triliunan Rupiah.

Padahal dari segi manfaat tidak sebesar jika dana tersebut digelontorkan guna membenahi dan menata ulang kawasan pusat perdagangan jasa Sudimampir dan sekitarnya, terletak di tepian Sungai Martapura.

Kadangkala muncul tanya, pembangunan mana sebenarnya yang diutamakan, paling memberikan manfaat bagi masyarakat dari segi sosial ekonomi dan masa depan mereka? Ataukan menata bantaran sungai dengan dilakukan penyiringan beton berbiaya besar tersebut.

BACA JUGA : Konsep Batang Banyu yang Kian Berubah di Tengah Masyarakat Banjar

Melewati Sungai Martapura sebelum mencapai pertemuan dengan Sungai Barito, memang cukup banyak hal lain yang juga terlihat. Bagaimana pemandangan masyarakat yang tetap beraktivitas seperti masa lalu, mencuci pakaian, mandi di sungai. Terlihat juga yang memancing ikan melalui beranda belakang rumah yang menyatu dengan sungai, jamban-jamban yang limbahnya langsung di buang kesungai.

Tampak pula berbagai kapal-kapal motor, termasuk kapal penarik tongkang batubara yang parkir atau mungkin sedang di perbaiki akan tetapi seenaknya memarkir kapalnya sehingga hampir mencapai tengah sungai yang ujungnya menyulitkan kapal motor atau klotok yang mau lewat.

Sisi lain, juga cukup banyak kawasan atau area potensial yang sebenarnya bila ditata atau dibangun menjadi permukiman atau rest area, hotel terapung ataupun yang sejenis yang di buat unik dan khas yang nantinya akan bisa menampilkan sebuah kawasan yang asri, indah dan berkarakter sungai.

Tentu bila bisa dikelola dengan baik akan menjadi area  wisata sekaligus bisnis, atau kawasan kampung batang banyu berdiri diatas air di tepian atau di delta yang ada di sepanjang sungai Martapura. Bila semua dibuat terencana dan tertata dengan baik, tentu akan bisa menguntungkan, bahkan bisa meningkatkan kualitas kawasan tersebut.

BACA JUGA : Batang Banyu Berujar: Jaga Alam, Tata Lingkungan, Haragu Sungai dan Bangunakan Urangnya!

Sayang, harapan tersebut tak pernah kunjung terwujud, minimnya kreativitas, pengetahuan dan pemahaman penguasa atau pengambil kebijakan terhadap potensi utama Kota Banjarmasin sebagai rujukan dalam mengembangkan penataan kota menjadi penghambatnya. Kelemahan dari sisi ini ke depan mestidilakukan perbaikan, tentu bila mau Banjarmasin tampil lebih baik, produktif dan berjati diri sesuai dengan karakteristik sebagai kota sungai.

Memasuki Sungai Barito, dari ujung batas Sungai Martapura membuat terkenang tempo dulu, kawasan sungai yang kurun tahun 1990-an dipenuhi dengan lalu lalang para pedagang berperahu ataupun para pelancong. Begitu pula, masyarakat yang hilir-mudik naik kelotok, kapal, jukung atau yang sejenisnya ternyata sudah semakin hilang. Kalau dulu sering terlihat iringan kapal penarik batang kayu gelondongan besar ataupun kelotok motor menarik jukung-jukung berjejer sudah tak terlihat lagi.

Tetapi sisi lain kesibukan dan hiruk pikuk bunyi mesin kapal tetaplah ada, bahkan bertambah ramai. Hanya jenis aktivitas saja yang berubah, sekarang yang banyak terlihat berseliweran adalah kapal tugboat penarik tongkang yang berisi batubara. Sangat banyak kapal penarik tongkang yang berisi batubara ribuan ton bak gunung berjalan melalui sungai Barito untuk dibawa ke laut.

Ketika kemudian kapal melewati kawasan Jelapat, Ujung Panti, bagi yang tahu sejarah pertumbuhan kawasan tersebut pasti akan tertegun. Bagaimana tidak, dulu di era 1970-an hingga 1990-an, kawasan ini sangat sibuk, karena di sana disepanjang tepian sungai Barito tersebut begitu banyak berjejer perusahaan industri kayu berada,dengan jumlah pekerja ribuan.

BACA JUGA : Terbangun Kepanasan, Ancaman El Nino Mengintai Batang Banyu Dan Berharap Hujan Di Bulan ‘Ember’

Di pagi, siang dan sore hari kawasan tersebut menjadi sangat padat. Sibuk karena para pekerja masuk kerja dan pulang kerja. Bahkan kadang kala malam hari pun industri tetap bekerja untuk mengolah kayu mentah menjadi plywood untuk kemudian di kirim keluar negeri. Ada beberapa perusahaan besar di sektor perkayuan berskala internasional yang pabriknya berada di sana, ambil contoh Daya Sakti, Australbina, Gunung Meranti, Barito Pasific, Jayanti Jaya, Tiga Badangsanak, dan lainnya. Geliat kehidupan sosial ekonomi masyarakat saat itu sangatlah tinggi terjadi di kawasan tersebut.

Kondisi kini, begitu melewati kawasan Jelapat hingga Ujung Panti ternyata yang terlihat di sepanjang tepian sungai bangunan bekas industri dan pabrik kayu, sepi tak berpenghuni.

Berbagai bangunan dan gudang-gudang besar sudah di penuhi berbagai vegetasi liar yang menutupi sampai ke atap bangunan. Kawasan yang dulu ramai telah berubah menjadi kawasan hutan belantara yang seakan tak ada kehidupan manusia. Bisa dipastikan geliat ekonomi yang dulu tinggi, saat dipastikan sangat terpuruk, bahkan mungkin puluhan tahun lalu telah begitu banyak terjadi PHK massal terhadap ribuan karyawan dan masyarakat sekitar yang dulu mencari nafkah di sektor industri kayu tersebut.

BACA JUGA : Banjarmasin, Kota Sungai Dihantui Bayang Krisis Air Bersih ‘Abadi’

Dari sini, bagi yang paham dan punya kepekaan maka nalar dan perasaan dipastikan akan terguncang. Bahkan terluka, masyarakat kalsel yang notabene pemilik sah berbagai sumber daya alam (SDA) seperti kayu tersebut tak pernah dapat jaminan hal masa depan hidup mereka. Padahal, bila saja mau ditelusuri, ditelisik dan didata para pemilik perusahaan-perusahaan tersebut dipastikan mereka masih tetap kaya raya tujuh turunan bahkan banyak pula menjadi konglomerat. Kekayaan mereka sangat berlimpah dengan berbagai bidang usaha yang berhasil dikembangkan pasca masa keemasan kayu sudah berakhir.

Jam 11.30 siang, kapal berhenti di salah satu permukiman warga di daerah Ujung Panti, berlabuh di sebuah dermaga, kalau tak salah dermaga Ujung Panti.  Dekat dermaga terdapat masjid sehingga memudahkan peserta ekspedisi untuk melaksanakan sholat Jumat. Dermaga tempat kapal berlabuh sangat sederhana, dan bahkan rapuh, begitu pula kondisi permukiman warga dan tentu termasuk masjid tempat dilaksanakan ibadah shalat Jumat.

Semua itu tampak tak mengambarkan kondisi makmur sejahtera. Sebuah pemandangan yang sangat kontras yang terpaksa kita lihat dan saksikan. Bahkan, sangat tak linear dengan banyaknya tongkang lalu lalang membawa ribuan ton batubara setiap hari. Tapi sudut lain kondisi infrastruktur perkampungan yang ada di sepanjang sungai Barito ini sangatlah memprihatinkan.

BACA JUGA : Dirikan Banyak Pabrik, Banjarmasin Dibagi Jepang dalam 19 Kampung

Usai Jumatan, kapal kembali berlayar, sajian makan siang khas daerah batang banyu menambah nikmatnya perjalanan. Walaupun tetap disertai gumaman geram. Kesal, sedih dan marah tatkala menengok keluar jendela dan melihat lalu lalang tongkang batubara hilir mudik mengangkut hasil ‘perampasan yang dilegalkan’ terhadap SDA batu bara yang dimiliki oleh Kalimantan Selatan.

Teriknya matahari di tambah dengan udara yang tak begitu nyaman membuat suasana gerah. Kondisi cuaca membuat peserta malas untuk duduk di bagian luar kapal atau di atas atap kapal.

Kegersangan memang sangat terasa dan terlihat nyata, disepanjang tepi sungai juga hampir tak terlihat rimbunnya pepohonan, semua dipenuhi semak belukar yang tak produktif. Jujur saja, hamparan lahan luas, bahkan tak terbatas ditepian sepanjang sungai barito ini seperti tak tersentuh atau diperhatikan untuk dikelola menjadi kawasan produktif. 

BACA JUGA : Cerita Aslan, Pengayuh Rombong Tersisa di Memudarnya Pasar Terapung Kuin Alalak

Padahal jika saja itu disiapkan berbagai infrastruktur untuk perkebunan, pertanian dan perikanan semisal di jadikan lahan untuk tanaman  kelapa, jeruk, pepaya, padi, kemudian juga di barengi adanya berbagai tambak udang, patin, jelawat, lais dllnya yang kemudian itu di tanggani oleh masyarakat tentu manfaat akanlah banyak.

Ya, sejatinya bila saja pemerintah mau melihat kondisi dan kemudian mampu membuat kebijakan yang tepat guna, berkelanjutan dan berpihak untuk memberikan kemanfaatan bagi warga sepanjang sungai Barito maka dipastikan kawasan yang tak produktif itu bisa dikelola dengan multy guna, dan memberikan nilai tambah jangka panjang untuk kesejahteraan warga yang tinggal disepanjang sungai Barito. Sayangnya, harapan terkait hal ini sejak lama dan silih berganti pemerintahan baik daerah ataupun nasional tidaklah pernah terpikirkan apalagi direalisasikan.

Siang berlalu, panas matahari sudah mulai mereda, angin sepoi-sepoi berhembus mengurangi panas yang tadi mendera. Kondisi ini membuat area luar kapal atau beranda luar dan atas atap kapal mulai nyaman untuk diduduki.

BACA JUGA : Asal Usul dan Catatan Historis Kampung Pekapuran Banjarmasin

Diskusi ringan pun mulai bergulir, semua sepakat ada yang salah dalam tata kelola potensi SDA Kalimantan Selatan. Daerah sangat dirugikan, sangat diremehkan, tak punya harga diri karena seperti tak punya kuasa atau tak punya hak konstitusionalnya untuk menjadi ujung tombak dalam mengelola dan memanfaatkan berbagai SDA yang dimilikinya ini.

Ketika diskusi santai berlangsung, tim peneliti ekspedisi mencoba meng ilustrasikan lah jumlah pendapatan dari batubara yang diangkut melalui sungai Barito ini. Ada yg memperkirakan sebesar Rp 129-170 triliun setahun, dengan dasar setiap hari minimal ada 20 tongkang yang diangkut keluar, sehingga dalam 1 bulan ada 600 tongkang dan dalam 1 tahun terangkut sekitar 7.200 tongkang.

Bila digunakan asumsi tongkang 300 feet dengan isi 8.000 ton, dalam 1 tahun baru bara yang terangkut sekitar 57,6 juta ton, dikonversikan ke  rupiah maka didapat angka sekitar Rp 129,6 triliun. Dengan catatan jika harga batubara di perkirakan sekitar Rp 2,25 juta/ton. Namun, bila harga menyentuh angka Rp 3 juta/ton maka didapatkan angka fantastis sekitar Rp 172 triliun, tentu ini jumlah yang tak sedikit.

BACA JUGA: Perahu Pulau Suwangi Alalak yang Mendunia, Diawali Orang Nagara Kini Digeluti Generasi Keempat

Padahal angka tersebut baru dari batubara yang diproduksi Kalsel yang diangkut lewat sungai Barito. Bayangkan bila dihubung juga  yang diangkut lewat jalur laut langsung; terkhusus yang berasal dari Tanah Laut, Tanah Bumbu dan juga Pulau Laut. Bila diilustrasikan jumlah minimal yang keluar sama dengan yang lewat sungai, maka artinya tembus Rp 250 triliun hingga Rp 300 triliun dihasilkan dalam setahun. Bayangkan saja, bila dana sebesar ini kemudian di berikan sekitar 2,5% dari Rp 130 triliun hingga Rp 170 triliun per tahun (khususnya diangkut lewat sungai Barito untuk pembangunan infrastruktur pertanian, perkebunan dan perikanan di sepanjang sungai Barito tentu akan luar biasa.

Dengan kisaran Rp 3 triliun hingga Rp 4 triliun per tahun maka dalam waktu 5 tahun akan didapatkan dana sekitar Rp 15-20 triiliun tentu akan menjadikan kawasan sepanjang sungai Barito menjadi kawasan produktif dan warganya pun akan makmur sejahtera dan mandiri. Walaupun nanti SDA semakin menipis tapi pendapatan ekonomi mereka akan tetap terjaga.

Laantas bagaimana bila ilustrasi ini digunakan juga untuk menghitung berbagai SDA yang di keruk di segenap Pulau Kalimantan? Pasti hitungan-hitungannya akan membuat semua terbelalak, tapi memang ilustrasi atau asumsi perhitungan ini masihlah teramat dangkal, perlu lebih diperdalam lagi dengan disertai data valid. Data yang dibuat oleh lembaga penelitian atau pemantauan yang independen.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Anggota Tim Peneliti Ekspedisi Batang Banyu

Pengampu Acara Ngopi JR TV

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.