Catatan Tercecer dari Ekspedisi Batang Banyu; Bercerita Margasari dan Nagara

0

Oleh : Dr Subhan Syarief

USAI dari Desa Kaladan, Candi Laras Utara, Kabupaten Tapin, kapal bergerak mengarungi Sungai Barito menuju Margasari. Jarak tempuhnya hampir 3 jam lamanya.

Dari jendela kapal, kerlap – kerlip lampu tugboad penarik tongkang batubara terlihat bak kunang-kunang. Sambil kapal melaju di atas Sungai Barito menuju ke arah Sungai Nagara, kami menikmati sajian makan malam menu sepiring nasi goreng ukuran minimalis. Rasanya enak tapi sayang tak bisa nambah.

Sesuai jadwal, sebelum istirahat malam, ada acara diskusi melibatkan peserta yang ada di atas kapal. Diskusi tentang peran warga Batang Banyu menyongsong perpolitikan tahun 2024. Anak muda milineal, mahasiswa dan ibu-ibu yang turut ikut ekspedisi diminta memberikan pandangannya.

Tim peneliti Ekspedisi Batang Banyu hanya bertugas menjadi pemicu diskusi. Isi pembicaraan tak jauh lepas dari hal yang dilihat dan dirasakan ketika mengarungi sungai sepanjang Sungai Martapura dan Sungai Barito. Ya, dalam dialog semua sepakat bahwa masa depan perubahan adalah tergantung dari pemimpin kedepan dan juga peran serta semua komponen masyarakat untuk aktif mendorong terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.

BACA : Ekspedisi Batang Banyu; Arungi 3 Sungai Berujung Luka (1)

Langkah gerakan perubahan harus segera dimulai ketika perhelatan politik baik nasional ataupun regional mulai bergulir. Ini semua menjadi momentum penting untuk melakukan perubahan, memilih calon yang tepat dan jelas keberpihakan nya kepada kepentingan warga Batang Banyu atau daerah menjadi sebuah kewajiban yang saat ini harus dilakukan. Diskusi ditutup, dan malam pun semakin larut, kapal sudah menyisir Kota Margasari.

Di atas dak ujung depan kapal, di keheningan malam bersama peneliti Prof Ahmad Yunani, guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dilanjutkan dengan diskusi ringan.

Diskusi santai mengenai sejarah Kerajaan Nagara Dipa, kerajaan tua sebelum lahirnya Kerajaan Nagara Daha. Obrolan diawali ketika kapal mau melewati pertemuan sungai yang konon menjadi tempat Empu Jatmika, ayahnda Patih Lambung Mangkurat menemukan Putri Junjung Buih. Hingga kemudian diangkat sebagai Ratu Kerajaan Nagara Dipa. Ada beberapa poin menarik yang muncul dari diskusi itu, termasuk mitos munculnya Putri Junjung Buih dari pusaran air. Tentu kisah legenda ini masih perlu dikaji lenih mendalam, sehingga bisa diterima kebenarannya oleh publik bukan sekadar mitos.

BACA JUGA : Ekspedisi Batang Banyu; Arungi 3 Sungai Berujung Luka (2-Habis)

Begitu pula, pandangan awal berdirinyya Kerajaan Banjar. Semacam ‘kudeta’ akibat permainan para oligarki di masa itu. Kami sangat menghargai tindakan yang dilakukan Raja Nagara Daha terakhir Pangeran Tumenggung. Dia memilih mengalah dan menerima Kerajaan Banjar berdiri di Banjarmasin. Ya, tentu saja hepotesis dini ini perlu untuk lebih didalami lagi.

Bicara Margasari juga menarik. Kawasan ini termasuk kota tua, dulu juga terkenal dengan industri kerajinan tangannya. Industri kerajinan dari hasil kreativitas warganya memanfaatkan berbagai tanaman yang terdapat di sekitar kawasan sungai atau hutan di seputar Margasari.

BACA JUGA : Catatan Ringan Ekspedisi Batang Banyu dari Banjarmasin ke Negara (1)

Ada kerajinan kopiah/topi jangang dari akar kayu khas kawasan rawa. Kemudian aneka kerajinan kipas dan tas dari rotan. Dulu setiap ada acara perkawinan warga Kalimantan Selatan, dan bahkan dari luar Kalimantan Selatan banyak souvenir atau hadiah yang dipesan dari hasil kerajinan warga Margasari.

Margasari dasarnya kota produktif yang terkenal di era tahun 1990-an ke bawah. Sayangnya era kekinian, kreativitas dan kemampuan dalam mengolah kerajinan tersebut mulai menyusut dan bahkan sudah sulit untuk mencari pengrajin yang menguasai dan ahli seperti era dulu.

Kadang, ini cukup mengherankan, mengapa hal kerajinan yang sejak lama berjaya dan memberikan nilai tambah bagi ekonomi masyarakat Margasari bisa stagnasi?  Bukankah bisa saja kerajinan atau keahlian membuat kipas, tas dan kopiah dan lainnya tersebut ada sejak era Kerajaan Nagara Dipa ataupun Nagara Daha, era Kerajaan Banjar bahkan sampai ke era tahun 1980-an,

BACA JUGA : Catatan Ringan Ekspedisi Batang Banyu dari Banjarmasin ke Negara (2-Habis)

Margasari pun sangat terkenal dengna produk kerajinan tangannya bahkan digemari warga Kalimantan Selatan, Kalimantan dan sampai keluar daerah. Tapi mengapa tak bisa dipertahankan dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya? Padahal ini bentuk budaya yang memiliki kearifan lokal yang mestinya perlu dijaga, dilestarikan dan ditumbuhkembangkan. Ya, makin terlihat bahwa memang ada yang tak tepat dalam berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah sepertinya tak terlalu peduli dan tak punya strategi tepat dalam melakukan pembinaan, pemberdayaan dan bahkan perlindungan.

Malam semakin larut, diperkirakan sudah dini hari, dari jendela kapal kerlap-kerlip lampu penerangan di permukiman tepi sungai menunjukkan bahwa hampir semua rumah atau bangunan berkonstruksi panggung. Rumah kayu masih mendominasi, jamban-jamban terapung tetap kokoh dan tetap berfungsi walaupun zaman sudah berubah. Itulah potret permukiman yang ditemukan di sepanjang Sungai Nagara, bahkan juga Sungai Barito.

BACA JUGA : Dari Kalkulasi Ekspedisi Batang Banyu, Batubara Yang Milir Di Sungai Barito Bernilai Rp 129 Triliun Setahun

Kapal melaju pelan keluar dari Margasari untuk menuju tujuan akhir yakni Kota Nagara. Dari Margasari ke Nagara memakan waktu sekitar 5 jam dengan kecepatan normal, diperkirakan jam 8 pagi kapal akan tiba di Kota Nagara.

Setelah beristirahat sekitar 3 atau 4 jam, kisaran jam 5.00 pagi sebagian dari peserta Ekspedisi Batang Banyu sudah mulai bangun. Kami tak ingin melewatkan momentum pagi hari ketika matahari muncul, bayangan menyaksikan keindahan alam ketika pagi dari atas atap kapal sangat  ditunggu.

BACA JUGA : Ekspedisi Batang Banyu; Menelusuri Duka dan Harapan di Jalur Sungai Martapura-Barito-Nagara

Di luar kapal, walaupun pagi sudah hampir menjelang, sisa cahaya rembulan yang tadi malam sedang berada dipuncak purnama masih memancar. Kapal sudah hampir memasuki Kampung Bajayau, kampung bahari yang berdasarkan tutur cerita konon menyimpan misteri atau mungkin sejarah. Ya, tentu ini menarik bila ked epan juga di kaji dengan lebih mendalam.

Dari Bajayau ke Nagara infonya memakan waktu sekitar 45-60 menitan. Di atas atap dak kapal, kami bersantai sambil menunggu matahari terbit. Diselingi diskusi ringan dengan tim ekspedisi, tak lama lempeng pisang tersaji, sungguh nikmat, makan lempeng sambil memandang kiri kanan sungai yang seolah tak bertepi.

BACA JUGA : Bukan Hanya Susur Sungai, Hasil Kajian Ekspedisi Batang Banyu Direspons Rektor ULM

Terlebih lagi, semua rawa berair dengan diselang-seling semak belukar yang sepertinya tidak produktif. Suara kicauan burung sesekali terdengar, diiringi oleh suara mesin kapal bak orkestra yang menciptakan komposisi yang bagiku ini keindahan yang sungguh luar biasa. Dari jauh, terlihat permukiman mulai banyak. Itu bisa diartikan kota Nagara semakin dekat. Kapal berjalan dengan  pelan, terlihat masyarakat yang mandi dan cuci disungai sudah mulai turun ke ‘lanting’.

Lanting terbuat dari susunan batang kayu bulat atau dari bambu besar yang diatasnya dipasang papan ulin sebagai lantai, dibagian sisi ujung/belakang di beri ruang (jamban) yang berfungsi sebagai toilet. Ya, walaupun sudah 78 tahun merdeka tapi kondisi ini tetap ada, seolah tak bisa untuk ditata lebih higienis, terkhusus untuk model pengelolaan limbah toiletnya. 

Lanting dan jamban ini cukup banyak berjejer di tepi sungai. Hampir setiap rumah punya lanting, memang lanting dasarnya sudah menjadi bagian dari area service dalam tata ruang setiap rumah masyarakat ditepian sungai. Memang ini mungkin sebuah tradisi atau solusi ekonomis, tapi tak higenis yang di pilih oleh warga batang banyu yang tinggalnya ditepian sungai.

BACA JUGA : Terbangun Kepanasan, Ancaman El Nino Mengintai Batang Banyu Dan Berharap Hujan Di Bulan ‘Ember’

Permukiman warga semakin padat, ini tanda sudah masuk kota Nagara, rumah warga berbentuk panggung dengan tiang-tiang penyangga bangunan dari kayu ulin. Terlihat sepintas, tingginya tiang tersebut minimal ada sekitar 3 4 meter. 

Kalau dulu, ketika kayu ulin mudah didapatkan tentu biaya membangun tidak besar. Tapi kini, membangun atau menggunakan material bangunan dari kayu ulin dipastikan harganya akan mahal. Bahkan mahalnya melebihi harga tiang beton yang saat ini harganya ada di kisaran Rp 1,5 jutaan per meter kubik. Bandingkan dengan kayu ulin harga per meter kubika sudah di atas Rp 5 juta. Itu pun sudah sulit untuk mencarinya.

Kondisi permukiman ini bagian belakang rumah yang berbatasan dengan sungai, atau di atas tepian sungai yang masih bisa disinggahi kapal langsung. Area belakang ini banyak yang difungsikan sebagai tempat berdagang/toko dan area usaha. Ini seperti menggambarkan karakteristik warga Nagara didominasi oleh pedagang atau pengusaha. 

BACA JUGA : 3 Hari Ekspedisi Batang Banyu Merekam Budaya Luhur Pemukim Bantaran Sungai di Kalsel

Memang fakta ini terbukti, rata-rata pedagang sukses yang ada di kota-kota di Kalimantan Selatan atau bahkan Kalimantan berasal dari Nagara. Di samping hal berdagang, sejarah lama orang Nagara adalah juga pengrajin olahan berbagai logam, mulai dari logam mulai emas sampai dengan mengolah logam besi bekas.

Dari membuat kerajinan emas sampai dengan membuat kapal, orang Nagara mampu menguasainya. Sebuah potensi bahari yang luar biasa, keahlian yang di wariskan secara turun-temurun sejak bahari. Sayang, ini semakin tergerus oleh perkembangan zaman dan diperparah  pihak pemerintah tak terlalu peduli untuk melestarikan keahlian ini.

Jujur, jika ini dipertahankan dan dibina, dijaga, dilindungi maka dipastikan orang Nagara tak akan kalah dengan orang Bali. Ya, karena mampu membuat mulai dari kerajinan logam mulia, berbagai logam untuk alat rumah tangga, untuk  alat pertanian, membuat berbagai onderdil untuk penggerak perahu dan kapal, bahkan alat persenjataan tradisional dan modern pun bila diizinkan, orang Nagara pasti bisa.

BACA JUGA : Batang Banyu Berujar: Jaga Alam, Tata Lingkungan, Haragu Sungai dan Bangunakan Urangnya!

Kembali ke topik tadi, ketidakpahaman, ketidakpedulian dan bahkan ketidakcerdasan pemerintah dalam melihat potensi ini untuk dikembangkan ke depan adalah masalah utama yang menyebabkan semua menjadi hilang dan tak banyak memberikan nilai tambah lagi.

Kondisi ini membuat kita berpikir. Ujungnya mau tak mau menyimpulkan bahwa pemerintah,atau tepatnya para pemimpin ataupun pengambil kebijakan baik tingkat lokal, regional dan nasional  sudah lalai dan gagal dalam memahami berbagi potensi yang dimiliki oleh Kota Nagara. Kota tua yang pernah menjadi pusat kerajaan kuat di Kalimantan Selatan.

Kisaran jam 8 pagi, kapal tiba dan berlabuh di belakang rumah warga. Jadwal kapal tiba di Nagara memang tak seperti yang direncanakan dalam rundown acara. Kedatangan terlalu pagi, semestinya jam 10 pagi baru kapal tiba di Nagara. Peserta ekspedisi akan dijamu oleh Ketua Tim Ekspedisi Batang Banyu, Prof Hadin Muhjad.

BACA JUGA : Ekspedisi Batang Banyu; Menelusuri Duka dan Harapan di Jalur Sungai Martapura-Barito-Nagara

Di rumah tempat kelahirannya, peserta bisa mandi, dan istirahat. Bahkan, ada dua rumah disiapkan, rumah asri dan sangat nyaman. Sayangnya, ketika berjalan menuju rumah, panorama sungai hilang dan tak terlihat lagi, sepanjang tepian sungai tertutup oleh padatnya  bangunan rumah-rumah yang berjejer.  Pelipur laranya hanyalah ketika berada di bagian belakang rumah, sesekali mendengar bunyi mesin kapal yang lewat sebagai penanda ada sungai di belakang rumah.

Hari sudah menjelang siang, sekitar jam 12.30, setelah di jamu makan siang di rumah ketua Tim Ekspedisi Batang Banyu, peserta pun kembali naik ke kapal untuk diantarkan ke dermaga. Sambil dalam perjalanan ke dermaga semua peserta berkemas memasukan berbagai barang bawaan ke dalam tas agar tak ketinggalan.

Dari jauh, dermaga sudah terlihat. Ya, kembali terlihat kondisi dermaga yang seadanya. Ibarat pepatah bak “hidup segan mati tak mau”, tentu ini aneh dan sangat memprihatinkan. Memang terasa sekali, pemerintah seolah tak punya kepekaan dan kepedulian terhadap dermaga yang sudah banyak berjasa dalam perjalanan pertumbuhan Kota Nagara.

BACA JUGA : Konsep Batang Banyu yang Kian Berubah di Tengah Masyarakat Banjar

Ini kembali menjadi sebuah fakta nyata bahwa ada yang salah dalam tata kelola pemerintahan.  Apakah ini karena model kepemimpinannya,  atau karena memang para penguasa tak mau peduli dengan sejarah kebaharian Kota Nagara dan berbagai kota bahari lainnya, seperti Margasari dan Marabahan? Kota bersejarah ini jauh tertinggal dibandingkan dengan Kota Banjarmasin.

Dari segi infrastruktur perkotaan, Kota Nagara jauh dari gambaran kota yang etnik, atau kota yang pernah menjadi pusat kerajaan besar. Kesan kumuh, semrawut dan bahkan rusak karena terlalu tua sangat jelas terasa. Ya, tentu ini sangat memprihatinkan dan mengecewakan. Setelah sampai di Dermaga Nagara, maka berakhirlah perjalanan puluhan jam yang tim ekspedisi batang banyu lakukan.

Tahap awal perjalanan yang sangat luar biasa, dengan menyusuri tiga sungai yang ada di Kalimantan Selatan, Sungai Martapura, Sungai Barito dan Sungai Nagara. Walaupun, pada akhirnya menyisakan ‘duka dan luka perih’ akibat melihat kondisi ketidakadilan, ketidakberpihakan dan ancaman kehancuran lingkungan dan keterpurukan sosial ekonomi warga Batang Banyu.(jejakrekam)

Penulis adalah Anggota Tim Ekspedisi Batang Banyu

Pengampu Acara Ngopi JR TV

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/09/22/catatan-tercecer-dari-ekspedisi-batang-banyu-bercerita-margasari-dan-nagara/
Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.