Ekspedisi Batang Banyu; Arungi 3 Sungai Berujung Luka (2-Habis)

0

Oleh : Dr Subhan Syarief

SORE itu sekitar jam 17.00 Wita, kapal dagang Nagara sempat lego jangkar di Dermaga Marabahan, ibukota Kabupaten Barito Kuala (Batola), Kalimantan Selatan.

TIM peneliti dari kalangan akademisi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dan Uniska MAB kembali berdiskusi hangat di atas atap kapal dagang, usai mengarungi Sungai Martapura di Banjarmasin berlanjut ke Sungai Barito. Tujuan akhirnya adalah ke Negara, melalui Sungai Nagara.

Dengan latar Jembatan Rumpiyang yang megah dengan cat kontras merah, obrolan makin panas seiring dengan lalu lalang tongkang batubara bergunung-gunung yang ditarik tugboat melintas di Sungai Barito. Hampir setiap 15 menit, gunungan hitam itu berjalan di atas air. Jujur, kami orang daerah merasa menjadi sangat teramat bodoh karena membiarkan yang sejak lama terjadi ini tanpa adanya langkah keberatan dan penentangan.

BACA : Ekspedisi Batang Banyu; Arungi 3 Sungai Berujung Luka (1)

Rasa terluka perih bertambah ketika kembali membayangkan fakta yang terjadi pada kawasan lahan di tepian sepanjang sungai. Beberapa kampung atau permukiman warga yang kami lewati sangat jauh dari kategori layak huni, infrastruktur penunjang aktivitas wargapun.

Sebut saja seperti dermaga, titian, tempat ibadah pun sangat sederhana dan tak menunjukkan bahwa sungai di depan beranda mereka sudah puluhan tahun membawa kekayaan bumi Kalimantan, khususnya Kalsel berupa ‘emas hitam’ batubara.

Kekesalan tumpah saat diskusi, sambil bertanya dimana keadilan, di mana suara dan perjuangan para pengampu jabatan, baik gubernur, bupati serta para anggota Dewan  terhormat itu. Suara menuntut keadilan bagi daerah, bagi kesejahteraan dan kemakmuran kehidupan warga, nyaris tak terdengar. Padahal begitu musim kampanye tiba, mereka berlomba mencitrakan diri sebagai seorang ‘pejuang’ rakyat. Untuk kemudian minta dipilih menjadi penguasa gubernur, bupati atau meraih kursi wakil rakyat di DPR, DPRD maupun DPD.

BACA JUGA : Catatan Ringan Ekspedisi Batang Banyu dari Banjarmasin ke Negara (1)

Sambil kapal melaju, diskusi dilanjutkan hingga senja mulai menyapa. Pembicaraan ala warung kopi berakhir dengan rasa tak nyaman. Ini setelah banyak kesesakan dan gumpalan gundah bersemayam di dada yang seolah ingin ditumpahkan, atau mungkin dimuntahkan ketika kekayaan alam Banua ini dibawa ke luar.

Azan Maghrib pun tiba. Tepat ketika kapal sudah mencapai Desa Keladan di Kecamatan Candi Laras Utara, Kabupaten Tapin. Desa ini merupakan titik singgah tim Ekspedisi Batang Banyu guna mengali informasi berbagai hal terkait aktivitas di atas Sungai Barito dari waktu ke waktu.

BACA JUGA : Catatan Ringan Ekspedisi Batang Banyu dari Banjarmasin ke Negara (2-Habis)

Jelas, aspek sosial ekonomi dan kehidupan warga Keladan sangat terasa. Dari testimoni, warga Desa Keladan bernama Muhammad Husni yang menginjak usia 85 tahun, sudah merasakan pahit getirnya hidup di era penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, hingga memasuki alam kemerdekaan. Cukup banyak yang diungkapkan pria yang sudah menginjak usia senja itu.

Dia bercerita kapal uap era Belanda sampai tahun 1970-1980-an hingga musibah yang dialami Kampung Keladan usai ditabrak tongkang batubara yang menghancurkan pemukiman warga.

Kesaksian ini jelas memilukan, bahkan mengiris luka di dada. Dia bercerita dari kondisi lingkungan yang dulunya asri, dari usaha berladang, berkebun dan mencari ikan hingga memanfaatkan hasil hutan sangat menjanjikan. Tapi itu cerita dulu, sekarang warga Desa Keladan menghadapi debu batubara yang lalu lalang dari milirnya puluhan tongkang tiap hari.

BACA JUGA : Dari Kalkulasi Ekspedisi Batang Banyu, Batubara Yang Milir Di Sungai Barito Bernilai Rp 129 Triliun Setahun

Dampaknya bukan hanya ke pemukiman warga, tapi juga air Sungai Barito dan Nagara yang kian menyusut habitat seperti ikan dan udang. Ini belum ditambah lagi dengan invasi perkebunan sawit yang menggerus lahan-lahan produktif di Batang Banyu. Jelas, hal ini memengaruhi ata kelola air pertanian.

Akibatnya ladang yang mereka miliki pun sudah tak subur dan produktif lagi, bahkan hama semakin menjadi-jadi seakan tak pernah ada solusi. Parahnya, sisi lain hasil hutan yang juga menjadi sandaran penambah penghasilan atau bahkan menjadi penghasilan utama turut hilang. Berubah seiring lahan menjadi perkebunan sawit dan area lahan batubara.

BACA JUGA : Ekspedisi Batang Banyu; Menelusuri Duka dan Harapan di Jalur Sungai Martapura-Barito-Nagara

Soal debu batubara yang membawa partikel hitam tertiup angin membuat rumah, jalan, tanaman perkarangan sempat tertutup dan kotor. Udara yang sehat sepatutnya dinikmati, kini kian tak sehat dan tak senyaman dulu.

Mereka hanya bisa pasrah ketika air sungai ang menjadi sumber penghidupan telah tercemar debu batubara. Gambaran ini membuktikan jika kondisi makin ke sini justru makin terpuruk, gersang dengan suhu udara yang memanas ditambah lingkungan yang rusak.

Hingga terucap dari bibir sepuh Desa Keladan itu bahwa kehidupan di era penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang justru lebih menjanjikan atau enak dibandingkan masa kemerdekaan seperti sekarang. Saat ini, tanah yang ada di Desa Keladan tak sesubur dulu, sungai tak lagi ramah dengan ikan-ikan khas air tawar Sungai Barito.

BACA JUGA : Bukan Hanya Susur Sungai, Hasil Kajian Ekspedisi Batang Banyu Direspons Rektor ULM

Apa harapannya? Pria tua ini mengaku tak punya harapan lagi, karena tak berharap apa-apa, tinggal menunggu waktu serta menyerahkan hal itu kepada Yang Kuasa. Kegetiran ini benar-benar membekas bagi kami. Tak terbayangkan bagaimana kehidupan anak cucu atau generasi depan Banua dengan kondisi seperti sekarang.

Ketika mau pulang, pria tua ini pun mengatakan para pejabat atau wakil rakyat hanya mau datang saat minta dukungan atau dipilih, usai pesta demokrasi tak pernah lagi memerhatikan nasib mereka.(jejakrekam)

Penulis adalah Anggota Tim Peneliti Ekspedisi Batang Banyu

Pengampu Acara Ngopi JR TV

Editor Fahriza

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.