‘Meruwat’ Indonesia, Arah Gerakan Kebangkitan Nasional Baru? (2)

0

Oleh: Dr Ir H Subhan Syarief MT *)

SEMUA yang terjadi, ujungnya memunculkan tanya kita, mengapa sudah lama Merdeka hal tersebut masih bisa terjadi? Mengapa ketika mau mendapatkan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia sulit untuk bisa tercapai, dan bahkan semakin terasa suram.

MENGAPA, yang makmur sejahtera dan yang mudah mendapatkan keadilan adalah mereka para ‘pengatur negeri’, mereka yang berpunya, berikut koleganya para pengusaha/oligargi, kelompok dan keluarganya? Ya, mengapa itu semua bisa terjadi. Ini sebuah pertanyaan penting yang sampai saat ini tak pernah terungkap jawabannya. Semua tahu, esensi utama dari makna merdeka adalah untuk mendapatkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia.

Mengapa hal tersebut tak tercapai dan bahkan yang terjadi adalah ‘rakyat’ banyak yang seolah tetap terjajah karena jauh dari keadilan, jauh dari gambaran kehidupan makmur sejahtera.

BACA JUGA: IKN Baru, Subhan Syarief : Mari Fokus Manfaatkan SDA Kalimantan untuk Warga Kita

Sebagai contoh, dengan beban hutang yang besar yang mencapai kisaran 7.500 triliun menyebabkan ada pandangan bahwa setiap warga Indonesia termasuk bayi yang baru lahir di pastikan menanggung beban hutang sebesar kurang lebih 25 juta rupiah setiap orang.

Dengan gambaran ini sudahlah bisa di simpulkan bahwa Indonesia tidak sedang dalam kondisi ‘sehat’. Ya, bagaimana tidak, setiap rakyat Indonesia termasuk bayi yang baru lahir sudah terbebani hutang, bukannya diberikan subsidi atau kompensasi layanan kesehatan dan pendidikan gratis dari Pemerintah.

Melihat kondisi ini bisa diartikan, bila terkait dengan beban hutang sebenarnya rakyat Indonesia belumlah merdeka. Telah ‘terjajah oleh hutang’, dan ini adalah salahsatu masalah besar yang membuat keuangan negara semakin rapuh, bahkan bila tak berbenah bisa saja akan menuju lumpuh. Ya, tak sadar negeri ini sejatinya telah tergadai.

BACA JUGA: 15 Kampung di Kota Banjarmasin Raih Penghargaan Proklim

Bila ditelusuri perjalanan bernegara yang telah dilalui, bagi yang cermat akanlah menemukan berbagai penyebab utama mengapa semua terjadi. Ya, paling tidak penyebab utama bisa dikelompokkan sebagai berikut :

PERTAMA, terkait hal kondisi berbagai produk dan terapan dari aturan hukum saat ini, banyaknya produk hukum yang mestinya berfungsi mengatur berbagai pengoperasionalan aktivitas bernegara agar sesuai dengan tujuan bernegara, tujuan Merdeka, dan tujuan adanya konstitusi (UU 1945 dan Pancasila) tak sadar dijalankan menyimpang dan disimpangkan atau bahkan dibuat sejak awal untuk ‘menyesatkan’ tapi kemudian di citrakan seakan sejalan dengan aturan di atasnya.

Semua yang mestinya dihadirkan untuk memperkuat implementasi dari isi dan makna atau nilai filosofis UUD 1945 ataupun Pancasila ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Tak jarang dalam sebuah aturan terdapat pasal yang dikeluarkan untuk memperlemah ataupun memelintir bunyi pasal baik itu UU 1945 ataupun Pancasila. Bunyi pasal yang sejak awal memunculkan multy tafsir dilakukan utak-utik penyesuaian agar ketika diimplementasikan dapat menguntungkan dan memperkuat, bahkan melindungi kepentingan pihak tertentu. Ya, ujungnya semua berdampak semakin menggerus tujuan dari makna merdeka.

Pemahaman hakekat  keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia semakin dibuat ambaradul, semakin jauh dari harapan untuk menuju keberpihakan kepada anak bangsa.

BACA JUGA: Kota Banjarmasin, Sungai dan Arsitektur

Kondisi aturan yang seperti diatas, yang tak berpihak bagi kepentingan rakyat mestilah dikaji ulang. Nilai-nilai filosofis yang di kandung dalam hal adil, makmur, sejahtera mesti dijadikan rujukan dalam membuat aturan kehidupan bernegara.

Produk aturan perundangan ataupun aturan sejenis nya yang semakin jauh dari makna kandungan Pancasila dan UUD 1945 perlu di lakukan perubahan. Piranti pasal yang dikeluarkan, digodok, dilahirkan dan diterapkan oleh hasil kolaborasi para tokoh-tokoh di legislatif, eksekutif dan yudikatif yang  sengaja meng ‘utak-utik’ atau bahkan memanipulasi tata bahasanya asli dari induknya.

Utak-atik yang membuat makna yang dikandung menjadi bias dan bisa ditafsirkan sesuai keinginan mereka untuk memenuhi permintaan mendukung dan memperkuat perlindungan dan  kepentingan kelompok tertentu (Oligargi, Pemodal, Asing, Penguasa) mestilah dibatalkan.

Semua yang dibuat dengan tujuan yang tak sejalan untuk mencapai keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia baik di sisi politik, ekonomi, sosial, keamanan, dan yang lainnya harus dikembalikan ke fitrah dasar tujuan filosofis dari merdeka dan bernegara. Ya, terkhusus tujuan yang ada termaktub di UUD 1945 dan Pancasila dan menjaga konstitusi Negara ini.

BACA JUGA: Lebih Baik Fokus Banjarbakula, Subhan Syarief : Gugatan ke MK Bukti Perlawanan Rakyat Banjarmasin!

KEDUA, Kondisi semakin minim dan  langkanya, bahkan tersingkir nya atau tepatnya disingkirkannya peran tokoh-tokoh yang punya integritas, jujur , berkompetensi dan keluhuran sikap prilaku untuk menjadi tokoh pemegang amanah mengatur Negara. Ini terjadi dihampir semua institusi atau organisasi baik itu di lingkup formil (eksekutif, legislatif dan yudikatif) ataupun dilingkup informil (organisasi masyarakat). Tokoh-tokoh mumpuni berjiwa pejuang murni seperti dulu, yang banyak bermunculan di era sebelum merdeka, awal merdeka, ataupun ketika era orde baru saat ini semakin langka dan sulit ditemukan.

Walaupun ada, itu akan segera ditarget untuk dimatikan dan dilemahkan atau dibungkam dengan berbagai cara, semisal melalui jejalan berbagai ‘subsidi dan imbalan’ baik harta ataupun jabatan agar tak lagi kritis. Bahkan bila tak bisa cara halus, cara kasar dan kejam pun akan dilakukan. Hal kriminalisasi, fitnah dan pembusukan menjadi pilihan yang akan menimpa para tokoh idealis tersebut.

Kondisi pembungkaman ini sadar ataupun tak sadar umumnya terjadi atau dilakukan secara tersistem. Ini bisa dilakukan melalui lembaga-lembaga resmi baik Lembaga politik (Partai-Partai dan institusi pengatur jalannya Demokrasi), Lembaga Formil (institusi pemerintah, legeslatif, eksekutif dan yudikatif),  lembaga/organisasi informal (organisasi keagamaan, organisasi profesi, organisasi pengusaha, organisasi intelektual, organisasi alumnus, organisasi kepemudaan, dan organisasi lainnya bahkan termasuk juga di organisasi kampus). 

BACA JUGA: Ngobrol Pinggiran di jrektv, Pendapat Subhan Syarief Soal Calap

Dari sinilah akhirnya posisi institusi baik formal ataupun informal menjadi tak lagi sesuai dengan konstitusi awal yang mengaturnya. Semua jadi tak jelas arah, karena di ombang ambing oleh kepentingan tokoh dan ‘penguasa’ bahkan tak jarang ‘pengusaha’ yang duduk atau yang menentukan siapa yang duduk di institusi atau organisasi tersebut.

Sejak awal, para kader potensial, punya integritas, jujur, profesional dengan jejak rekam yang baik akan sangat sulit mendapat tempat utama di organisasi tersebut. Yang banyak terjadi figur yang tak jelas, biasa-biasa saja, bahkan yang punya masalahlah yang didudukan atau menduduki jabatan utama dalam sebuah organisasi.  Mereka duduk, tepatnya didudukkan karena punya kemampuan sumberdaya finansial dan jaringan kuat dengan pendahulunya.

Ya, hampir semua organisasi saat ini hanya menjadi ajang perebutan untuk berkuasa agar bisa populer, agar bisa membentuk kekuatan, bahkan tak jarang digunakan agar bisa menjarah ‘harta’ dan membentuk kelompok jaringan sebagai modal untuk mempersiapkan mempertahankan dan mewariskan kekuasaan kepada penerus yang di kendalikannya (dinasti).

Semua bukan semata untuk digunakan sebagai tempat mengabdi dalam rangka memberikan kemanfaatan bagi masa depan rakyat dan negara Indonesia untuk bisa  mencapai makmur sejahtera dan maju berjaya, tapi hanya untuk melanggengkan kekuasaan agar kepentingan pribadi dia dan keluarganya, kelompok, golongan dan kroninya bisa tetap berjalan dengan baik.

BACA JUGA: Pentingnya Tahap Negosiasi Awal Pasar Batuah, Subhan Syarief: Butuh Pelibatan Masyarakat Sekitar…

Ya, sejatinya mereka yang berpikir dan bersikap prilaku seperti ini dasarnya sama dengan pola pikir dan gerak langkah para penjajah.

Dari sinilah muara kehancuran, diawali dari tokoh-tokohnya yang duduk atau didudukkan yang punya kemampuan dan idealisme kuat dan kemudian membuat ujungnya independensi organisasi, lembaga ataupun institusi formil, ataupun informil di negeri ini menjadi tak lagi jelas arah. Semua berjalan sesuai kepentingan atau pesanan para ‘penguasa negeri ‘ saja.

Ya, saat ini banyak bukti menunjukkan kondisi tersebut. Lihatlah bagaimana sekarang gerak langkah dari berbagai institusi di eksekutif, Institusi lembaga yudikatif, institusi legislatif dan juga institusi informal lainnya. Keberpihakan alur kerja dan kebijakan semua institusi tersebut dasarnya sangat lah terlihat jelas tak banyak mendukung aspek terwujud nya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia.

KETIGA, Aspek ini adalah terkait dengan hal pembiaran terjadinya keterpurukan ekonomi rakyat, terkhusus rakyat kecil sebagai penghuni terbanyak negeri ini. Kesulitan disegi pemenuhan kebutuhan dasar dalam berkehidupan menjadi persoalan yang dibiarkan terjadi, tak ada keseriusan dan keberpihakan dari para pengatur negeri untuk mengatasi kondisi tersebut.

BACA JUGA: Mengembalikan “Marwah” Banjarmasin sebagai Kota 1.000 Sungai, Mungkinkah?

Hal aspek keadilan ekonomi berupa kondisi pengaturan pergerakan pembangkit ataupun penumbuh ekonomi yang tak berpihak kepada rakyat ekonomi kecil Indonesia adalah sumber utama penyebab semakin terpuruk nya kehidupan rakyat, terkhusus rakyat Indonesia asli.

Banyak fakta-fakta yang bisa dilihat, bagaimana misalnya kondisi petani, nelayan dan pedagang kecil di negeri ini yang menjadi pelaku langsung. Mereka sulit tumbuh dan berkembang maju, penghasilan ekonomi dari hasil profesi ataupun usaha mereka kadang hanya cukup untuk hidup sehari.  Jujur, bila dicermati parahnya kondisi keterpurukan ekonomi saat ini tak sadar atau mungkin dengan sadar di jadikan ‘kekuatan’ para penguasa pengatur negeri untuk memudahkan mereka mengatur langkah pikiran dan prilaku rakyat.

Rakyat di buat sibuk berkutat untuk urusan pemenuhan kebutuhan keseharian saja. Rakyat tak sempat lagi melihat dan memikirkan secara cerdas masalah kondisi negara mereka, bahkan memikirkan keberlangsungan masa depan anak cucu mereka agar bisa lebih baik pun sudah tak sempat mereka lakukan. Bagi mereka yang penting bisa makan dan mengatasi kebutuhan keseharian saja.

BACA JUGA: Hari Jadi 496 Tahun Banjarmasin di jrektv, Dr H Subhan Syarief: Kota Yang Memiliki Karakter, Khas…

Ya, kondisi pembiaran dan ketidak pedulian terhadap persoalan-persoalan kesulitan pemenuhan kebutuhan dasar ini sejatinya merupakan model penjajahan yang tak terasa. Kondisi tak ada keberpihakan ini sejatinya bak penjajahan yang tak sadar di lakukan oleh anak bangsa yang mampu, kuat dan berkuasa terhadap rakyat dan saudara sebangsanya sendiri. Mereka hidup makmur sejahtera, harta berlimpah, gaji besar, tunjangan besar, keluarga terjamin.

Ya, semua kebutuhan hidup mereka bahkan telah di jamin oleh Negara, sedangkan anehnya rakyat yang membayar berbagai pajak yang dari hasil pajak ini untuk membayar gaji para ‘pengatur negeri’ tersebut tetaplah hidup dalam kondisi pas-pasan, bahkan turun temurun hidup seadanya dengan kondisi miskin dan papa.

KEEMPAT, ini terkait dengan semakin masif nya tindakan ‘pembodohan’ baik sengaja ataupun tak sengaja oleh para  penguasa, pengusaha, tokoh masyarakat , intelektual dan bahkan lembaga-lembaga formil dan informil terhadap rakyat.

BACA JUGA: NGopi JRTV, Catatan Kritis Subhan Syarief : Ikon dan Keunikan Kota Banjarmasin. Mampukah Berbenah?

Rakyat lebih banyak di berikan suguhan sajian informasi, pandangan dan sikap prilaku yang tak benar.

Budaya mengelontorkan dana dan berbagai sembako ketika mau menjabat, saat mau mempertahankan jabatan ataupun saat mau berebut jabatan di masa pemilu, Pilpres, pilkada, ataupun perebutan kekuasaan di setiap organisasi baik formil ataupun informil  yang sudah dibiasakan atau di anggab biasa telah sangat merusak mental rakyat, semakin membuat rakyat bodoh dan membodohi rakyat.

Merekayasa berbagai proses pemilihan agar bisa menang, sudah lumrah dan nyata terlihat. Kemudian ‘cuci otak’ rakyat melalui berbagai statement  keberhasilan juga secara berkesinambungan senantiasa dilakukan.

Semua langkah kerja mereka selalu di infokan sebagai keberhasilan dengan indikator pembuktian melalui banyaknya dapat penghargaan, yang anehnya dibuat dari ‘jaringan’ mereka sendiri (Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah).

BACA JUGA: ‘Meruwat’ Indonesia, Arah Gerakan Kebangkitan Nasional Baru? (1)

Bahkan sebagai contoh, ada sebuah daerah yang banyak warga miskin dan bahkan korupsipun merajalela dengan banyaknya kepala daerah di daerah tersebut tertangkap tapi anehnya kemudian penguasa tertinggi daerah tersebut diberikan kinerja pemerintahan terbaik oleh pemerintah pusat.

Kemudian ada juga ‘Pabrikan politik’ yang paling banyak mengeluarkan hasil ‘produk olahan’ nya yang tertangkap akibat korupsi, tapi anehnya dari hasil survey ‘pabrikan politik’ tersebut tetap saja dicitrakan elektabilitasnya senantiasa menaik dan tertinggi.

Tentu ini aneh sekali, tak tak rasional, dan tak sadar melakukan langkah pembodohan terhadap anak bangsa yang tak paham apa sebenarnya terjadi.

Belum lagi ketika hutang negara selalu bertambah. Selanjutnya oleh para pengatur negeri, para intelektual disektor keuangan ataupun para aktivis yang pro penguasa akankah melakukan pembelaan ‘mati-matian’. Semua hutang yang sudah berjibun, beranak pinak itu dikatakan tak masalah, karena masih berimbang dengan nilai aset yang dimiliki.

BACA JUGA: Hari Jadi 496 Tahun Banjarmasin di jrektv, Dr H Subhan Syarief: Kota Yang Memiliki Karakter, Khas…

Kemudian untuk memperkuat Indonesia ujungnya dibandingkan dengan negara Amerika ataupun Jepang yang hutangnya juga besar, dikatakan Indonesia lebih baik dibandingkan negara tersebut dan Indonesia tak akan bangkrut karena hutang bahkan akan semakin maju, karena katanya dengan berhutang bisa memicu pertumbuhan.

Informasi dan pembelaan ini sangat lah aneh. Sebab tak ada istilah dlm hukum ekonomi apapun yang namanya bertumpuk hutang itu disebut sebagai maju dan sejahtera.

Bagaimana bisa maju kalau untuk mengisi kas untuk APBN saja kemudian sebagiannya mengunakan dana hutang. Kemudian bukankah ketika berhutang berbagai aset negara dijadikan jaminan, dan ketika di jadikan jaminan artinya negara sudah tak punya kekuasaan lagi untuk mengatur dan memanfaatkan aset tersebut, bahkan yang lebih tak waras, cara berpikir ketika tujuan  berhutang untuk di gunakan membayar bunga hutang terdahulu.

Dalam hal ini rakyat tak pernah diberikan informasi sejelas-jelasnya bahwa bila berbagai aset SDA dan kekayaan alam Indonesia berkurang dan kemudian hutang bertambah, jumlah penduduk bertambah maka dipastikan kebutuhan operasional juga akan bertambah yang akhirnya daya tahan juga akan semakin berkurang bila ketergantungan tak bisa dihilangkan.

BACA JUGA: Pentingnya Tahap Negosiasi Awal Pasar Batuah, Subhan Syarief: Butuh Pelibatan Masyarakat Sekitar…

Pembodohan paling fatal juga terjadi ketika musim pemilihan, baik itu pemilihan presiden, legislatif, gubernur, walikota, bupati bahkan tingkat kepala desa. Hampir semua yang bercalon, akan mencitrakan diri sebagai pejuang rakyat.

Dan parahnya disertai dengan berbagi dana, paket San berbagai bantuan. Puncaknya adalah ketika mendekati hari pemilihan. Politik uang dan bagi-bagi paket sembako berseliweran dengan bebas dan bahkan saling berlomba menaikan besaran nilai yang disebarkan agar bisa menang dalam pemilihan.

Kondisi ini menyebabkan pikiran rakyat semakin dirusak. Rakyat kecil dan papa yang paling banyak menghuni negeri ini dipaksa memilih untuk mengutamakan kepentingan pemenuhan kebutuhan pokok keseharian hidupnya dengan jalan mendapatkan ‘sogokan’ dana dan paket di pesta demokrasi tersebut.

Bagi mereka tak masalah periode lima tahun nanti tak ada kemajuan atau perbaikan kehidupannya, yang penting sudah dapat dana serangan fajar.

BACA JUGA: Di Balik Insiden Berdarah di Sentra Antasari, Ini Analisis Ahli Hukum Konstruksi Subhan Syarief

Ya, pembodohan luar biasa telah dengan sadar ataupun tak sadar di lakukan para pihak ‘pengatur negeri’ dan para kroninya. Kerusakan mental & kebodohan rakyat ujungnya semakin menjadi akibat sikap prilaku mereka.

Dan parahnya kondisi tersebut tak sadar atau mungkin juga sadar terasa semakin disukai, dinikmati dan dipelihara oleh mereka.

Ya, ujungnya ‘kebodohan’ rakyat menjadi kekuatan mereka yang bermental penjajah untuk mempertahankan kekuasaannya.

Sejatinya, momentum Hari Kebangkitan Nasional dasarnya untuk bisa menarik hikmah. Tak hanya sekedar memperingati atau sekedar acara seremonial saja.

Semestinya spirit yang mendasari mengapa ada peristiwa sejarah ini dapat dijadikan rujukan untuk memperbaiki kondisi negeri. Para kaum intelektual, aktivis dan tokoh, berikut masyarakat yang cerdas dalam melihat, memetakan dan menganalisa kondisi kekinian dan juga masa depan anak bangsa di negeri ini haruslah wajib ‘turun gunung’ untuk terlibat memperbaiki kondisi.

BACA JUGA: Subhan Syarief: Kita Harus Bisa Membuat Perubahan di Kota Seribu Sungai

Gerakan masif melalui peruwatan terhadap nilai-nilai filosofis yang di kandung dari merdeka, tujuan bernegara, tujuan adanya konstitusi perlu di lakukan.

Ini bila tak ingin ketidakadilan, ketidak sejahteraan ataupun ketidak makmuran akan jadi penyebab perpecahan dan berujung kehancuran terjadi di Indonesia.

Ya, peruwatan spirit kebangkitan nasional baru perlu segera dilakukan ini agar nantinya bisa berikan yang lebih baik kepada generasi depan. Generasi depan Indonesia tak mengalami seperti yang saat ini kita alami.

Gerakan Kebangkitan Nasional era baru, memang wajib diperbaharui melalui langkah ‘meruwat’ ulang semangat perjuangan. Ya, era berjuang memerdekakan rakyat Indonesia dari sikap prilaku ketidak adilan oleh kelompok ‘pengatur negeri’ dan kelompoknya mestilah dilakukan.

BACA JUGA: Peduli Akan Aset Pemkot Banjarmasin, Subhan Syarif Desak Dewan Kota Bentuk Pansus

Mengembalikan tujuan luhur yang ingin dicapai ketika merdeka, tujuan pembentukan negara, lahirnya konstitusi negara  menjadi sebuah kewajiban bila ingin rakyat Indonesia mencapai kondisi adil makmur sejahtera dalam semua aktivitas kehidupan.

Gerakan perjuangan merubah memang tidak lah mudah. Bahkan akan lebih sulit dan rumit di bandingkan dengan saat terjajah diera lalu, karena bisa saja akan berhadapan dengan orang tua, saudara, sahabat dan sanak famili sendiri yang warna kulit, bahasa dan bahkan lahirnya pun di bumi yang sama bumi Indonesia, akan tetapi semua mesti dilakukan bila ingin menikmati buah manis hasil kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan yang tak semu.

Ya, memang kembali lagi patut direnungkan apa yang telah dikatakan Bung Karno : “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.

BACA JUGA: Kisah Dua Sahabat; Subhan-Hilman yang Raih Doktor Hukum Konstruksi dengan Cum Laude

Akhirnya, semoga hari kebangkitan nasional yang bertepatan dengan awal dari mulai perhelatan politik akbar dan puncak Indonesia akan bisa mematik semangat perjuangan rakyat semesta untuk membuat perubahan. Perubahan untuk Indonesia menjadi baik menuju terwujudnya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Perubahan melalui sebuah ‘gerakan kebangkitan nasional baru’.

Sebuah gerakan berdasarkan spirit hari kebangkitan nasional yang di daur ulang lagi sesuai kondisi kekinian. Sebuah gerakan revolusioner untuk ‘meruwat’ negeri yang akan dilakukan oleh segenap komponen bangsa.

Ini agar nantinya generasi muda dapat menikmati hasil implementasi arti dan makna merdeka yang sesungguhnya didalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

BACA JUGA: Tahan Banting di Tengah Pagebluk, Subhan : Kebijakan Pertanian Harus Terintegrasi

Dan semua kuncinya ada di kita, akan tetapi pertanyaan nya besarnya adalah mau dan siapkah kita berubah menjadi pejuang untuk kemudian bersama aktif terlibat dalam perubahan?

Selamat merenungi makna Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2023. Semoga bisa menarik hikmah dan membukakan kesadaran bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia masihlah jauh dari harapan, penjajahan gaya baru telah tumbuh mengakar dengan kuat, dan hakekatnya saat ini rakyat Indonesia belumlah merdeka dalam arti yang sebenarnya. (jejakrekam)

(Habis)

*) Penulis Seorang Doktoral Juga Pemerhati Tinggal di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan

Editor Afdi Achmad

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.