Oleh : Subhan Syarief
LIMA tahun lagi Kota Banjarmasin menapak usia yang ke 500 tahunnya. Masa 5 abadnya akan mulai terlewati untuk memasuki ke era 6 abad. Ini bisa di arti kan kota ini sudah semakin sepuh , sudah 5 generasi penghuninya yang berganti.
MENARIKNYA adalah ketika mencoba sekilas menguak hal perjalanan kota Banjarmasin. Mengulas secara ringkas dan sederhana tentang Kota yang berjuluk kota 1000 sungai , wabil khusus perjalanan dari penataan atau pembangunan kotanya.
Bila bicara Perjalanan Sebuah Kota , para ahli menyatakan bahwa ada 3 (tiga) hal penting yang akan selalu ada atau turut mewarnai perjalanan kota tersebut. Pertumbuhan yang cenderung pesat , Perubahan yang dinamis , dan hal konflik yang terjadi akibat pertemuan antara pertumbuhan dan perubahan.
Kota Banjarmasin sejak awal berdiri sampai dengan saat ini , termasuk ketika masih belum menjadi sebuah kerajaan , Sudah menunjukkan pertumbuhan yang dinamis dan juga menjadi pusat central aktivitas transaksi ekonomi antar warga hulu , hilir dan warga luar pulau Kalimantan. Kondisi ini sehingga akhirnya di pilih menjadi pusat kota kerajaan Banjar di era awal perintis kerajaan berdiri. Kota Banjarmasin adalah kota yang memiliki dermaga / pelabuhan yang menjadi media pertemuan atau persinggahan kapal , perahu dari luar Kalimantan (Jawa , Sulawesi , Sumatra dan pulau pulau lain di Indonesia bahkan juga dari manca negara). Kemudian juga antar daerah yang ada di pedalaman / hulu Kalimantan.
BACA: 495 Tahun Usia Banjarmasin, Mengapa Calap/Banjir Masih (akan) Terjadi (1)?
Ya…, Dengan adanya dermaga yang berfungsi sebagai tempat singgahnya berbagai barang kebutuhan pokok dan intensitas hilir mudik manusia inilah kemudian kawasan sekitar semakin terbangun dengan pesat. Pusat perdagangan , pusat pergudangan , permukiman , dllnya menjadi tumbuh dan berkembang dengan cepat. Akibat nya perubahan fisik dan non fisik lingkungan pun terjadi bahkan cenderung tak terkendali dengan baik sehingga effek konfliknya berujung dengan tingkat kepadatan penduduk pun yang berdiam di kota dekat dermaga pun semakin tinggi yang akhirnya menggerus kawasan kawasan yang mestinya bebas dari pembangunan , sepertinya kawasan bantaran sungai dan lain lainnya. Kawasan bantaran sungai yang awalnya dipenuhi oleh hijau dan rimbunnya pepohonan / hutan berubah menjadi penuh dengan berjejernya berbagai bangunan. Inilah awal masalah atau konflik yang muncul akibat adanya pertumbuhan dan perubahan tersebut.
Kota Banjarmasin awalnya kota yang sangat berkarakter. Kota yang unik dan artistik. Kota yang keberadaannya di belah dan dikelilingi oleh sungai. Mulai sungai yang besar seperti sungai Barito , kemudian sungai Martapura dan juga berbagai sungai menengah serta kecil yang semuanya saling terkoneksi. Sehingga bila semua ditelusuri dengan mengunakan kapal atau perahu maka semua kawasan akan bisa di datangi. Dari sinilah muncul gelar kota Banjarmasin sebagai kota 1000 sungai. Gelar ini hanyalah metapora , bukan karena jumlah sungainya 1000 tapi karena kota ini hampir semua kawasannya selalu tergenang oleh air. Sehingga daratan pun sangat sedikit , dan hanya lah ada di area yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan , atau yang di gunakan / dibangun untuk fungsi perkebunan , dan memenuhi area jalur kendaraan atau untuk jalan manusia.
Dari sinilah sungai , atau air sangatlah erat dengan kota Banjarmasin. Potensi sungai ini sebenarnya kekuatan bagi kota Banjarmasin untuk mengembangkan diri menjadi bisa tampil unik dan berkarakter. Dan bisa dikatakan sungai / air adalah urat nadi dari pada kota Banjarmasin. Urat nadi yang bila dia terputus / tak berfungsi maka dipastikan kota Banjarmasin akan lumpuh dan bahkan mati. Dalam hal ini sungai dan kota Banjarmasin tidaklah bisa terpisahkan.
Sayangnya dari waktu ke waktu hal potensi khas ini belumlah tersentuh dengan tepat guna. Yang di lakukan baru sekedar menata dikawasan etelasi kota saja , itupun dengan tak sadar sudah semakin menjauhkan ikatan emosional warga Banjar dengan sungainya.
Perkembangan berikutnya ketika era modern mulai merasuki. Ketika negeri ini sedang eforia dalam membangun infrastruktur fisik kota masalah kendali terhadap pertumbuhan dan perubahan semakin sulit di lakukan. Sudut pandang pembangunan kota yang berorientasi kepada faktor ekonomi semakin menyebabkan lingkungan fisik berubah pesat. Kota Banjarmasin pun tak lepas dari kondisi ini , berbagai kawasan yang dahulunya rawa dan bahkan sungai di rubah menjadi kawasan daratan ber- uruq tanah / reklamasi. Ada yang di korbankan untuk pelebaran jalan , ada yang di korbankan untuk memperlebar bangunan dan membangun bangunan di atasnya.
Salah satu aspek dalam infrastruktur kota adalah bangunan , bangunan merupakan produk fisik arsitektur. Arsitektur dalam pengertian sederhana adalah wadah yang dibuat untuk manusia menjalankan aktivitas keseharian nya. Wadah tersebut terwujud dalam bentuk merubah lingkungan atau menambahkan sebuah bentukan baru pada sebuah lingkungan. Dan bisa saja pembentukan wadah tersebut membuat ‘furniture alam’ menjadi terganggu atau bahkan hilang keseimbangan dan menjadi rusak.
Produk Arsitektur yang baik akan bisa memadukan atau menyelaraskan antara bangunan yang di bangun dengan kondisi lingkungan tempat bangunan tersebut akan ditempatkan. Bahkan akan meningkatkan kualitas lingkungan disekitar nya. Bukan malahan jadi merusak dan menyebabkan furniture lingkungan menjadi terganggu apalagi sampai rusak.
Bagi kota Banjarmasin dengan karakteristik banyaknya sungai dan kawasan rawa air pasang surut nya merupakan kawasan lingkungan yang patut di perhatikan ketika mau menempatkan bangunan olahan / arsitektur. Kekhasan atau ke artistik kan panorama alam / sungai kota Banjarmasin ini haruslah mendasari dan menjadi filosofis dalam setiap wujud bentukan arsitektural yang akan bangun. Kolaborasi antara bentukan lingkungan asli / alam dengan bentukan lingkungan buatan berikut bangunan arsitektural nya semestinya menjadi wajib di lakukan dan di persyaratkan ketika mau membangun di kota ini. Sayangnya sampai itu tak bisa di lakukan , dampaknya hampir semua bangunan dan karya arsitektur yang di bangun belumlah mampu menghasilkan wadah olahan yang bisa meningkatkan kualitas lingkungan. Artinya bangunan atau wujud arsitektur lingkungan buatan yang ada terbangun di kota Banjarmasin tidaklah mampu untuk meningkatkan keberadaan sungai sebagai ikon kota Banjarmasin. Sungai dari tahun ketahun semakin hilang , dari jumlah lebih dari 100 sekarang tak mencapai separonya , itupun tak bisa lagi utuh. Kondisi menyempit , dangkal dan bahkan mati. Semua terjadi paling banyak karena adanya pertumbuhan pesat bangunan bangunan yang tak sungkan menerabas area kawasan sungai sehingga berakibat terjadi penyempitan , pendangkalan dan buntunya koneksi antar sungai.
Cobalah cermati , hampir tak ada wujud produk arsitektur yang terbangun dikota Banjarmasin yang bisa dirasakan mampu meningkatkan keberadaan dan kualitas sungai , baik dari faktor segi fisik apalagi faktor non fisiknya. Tengoklah pembangunan berbagai wadah / komplek perumahan atau bahkan perkantoran pemerintah , infrastruktur milik pemerintah ataupun yang di bangun pihak swasta. Tak ada yang mengusung secara nyata konsep berbasis mengangkat keberadaan sungai sebagai unsur utama yang wajib di masukkan dalam proses desain arsitektur bangunan dan kawasan nya.
BACA JUGA: 495 Tahun Usia Banjarmasin, Mengapa Calap/Banjir Masih (Akan) Terjadi (2)?
Padahal bagi pemangku kebijakan dan juga Arsitek yang paham ilmunya maka pasti ke Khasan alam akan dipertahankan dan dijadikan dasar ketika mau membangun kawasan atau menempatkan bangunan baru. Sudah ‘harga mati’ bagi arsitek untuk menghasilkan produk arsitektur yang tidaklah boleh tampil ego , megah dan mewah tapi tak sesuai dengan kondisi ataupun karakter lingkungan nya. Atau bahkan mengalahkan dan mematikan potensi lingkungan.
Memang salah satu yang saat ini paling di banggakan oleh pemerintah kota Banjarmasin dan sebagian masyarakat kota adalah hal terbangunnya Siring beton dan Bangunan menara pandang di pusat kota disepanjang sungai Martapura. Tapi bagi yang paham bahwa sungai tidaklah cukup hanya dipandang sekedar wujud fisik semata dan tinggalkan hal aspek budaya kehidupan sungai akankah katakan bahwa yang di lakukan hanyalah lebih bertujuan untuk menata hal fisik tapi mengabaikan hal aspek non fisiknya. Bahkan aspek non fisik ini (sosial budaya) akibat adanya siring tersebut menjadi semakin terabaikan. Mengapa ? Karena dahulu warga Banjar kehidupan keseharian adalah dekat dengan sungai.
Sungai di jadikan ruang publik utama warga kota. Aktivitas keseharian seperti mandi , cuci piring , cuci pakaian , belanja , ngobrol , menangkap Ikan , usaha / berdadllnya selalu di lakukan lebih banyak di sungai. Sungai juga dipenuhi hijaunya pepohonan besar , mulai dari pohon rambai , pohon kelapa , pohon lua , pisang , pohon beringin , dllnya. Dan juga penuh dengan perbagai Ikan , udang dan hewan air lainnya. Di sungai dahulu juga terdapat area pasar perdagangan perahu , selain pasar terapung. Dimana pada pasar perahu tersebut ditampilkan berbagai jenis dan model perahu / jukung. Yaa…, bak ‘showroom’ nya kendaraan air. Tentu ini akan menjadi sangatlah unik dan menarik. Begitu juga ketika misal ‘rumah lanting’ sebagai salah satu Arsitektur Banjar dapat di masukan dalam kawasan Siring tersebut , seperti dijadikan resto atau hotel terapung atau mungkin kios / toko terapung maka tentu akan semakin memperkuat hal sungai sebagai pokok yang mewarnai produk arsitektur penataan kawasan siring tersebut.
Seandainya saja keunikan ini bisa dipertahankan dan dimasukan dalam paket penataan Siring maka tentu hal keterpaduan atau hal memasukan basis sungai menjadi lebih kuat terasa.
Sayang…., Semua hal tersebut malahan tak lagi ada tertampilkan di kawasan utama etelasi sungai di kota Banjarmasin. Yang terjadi , sungai semakin menjauh dari warga Banjar dan warga Banjar pun tak sadar semakin di jauhkan dari budaya kehiduoan sungai. Dan ini tak lepas dari akibat hasil produk arsitektur yang tak menempatkan sungai sebagai basis utama yang mestinya berpengaruh terhadap produk arsitektur.
Akhirnya harapan kita , semoga kedepan mereka para pihak yang banyak berpengaruh terhadap hitam putih nya sebuah kota dapat untuk berubah pola pikir dan pola sikap. Tak hanya melihat sungai dari wujud fisik saja dan mengabaikan aspek sosiologis dan budaya kehidupan warga Banjar.
Yaa.., ingat dan catatlah sungai adalah ‘urat nadi’ kehidupan kota Banjarmasin. Berhati hatilah kedepan , bila sungai terabaikan dan mati maka bukan tak mungkin suatu saat kota Banjarmasin pun akan terpuruk dan bahkan ujungnya tergerus mati. Karena bukankah sungai bisa saja menjadi marah dan ujungnya ikut berulah melalui cara tak mau lagi menampung limpahan air. (jejakrekam)
Banjarmasin, Oktober 2021
Penulis ada seorang doktor dan pengamat perkotaan tinggal di Banjarmasin