‘Meruwat’ Indonesia, Arah Gerakan Kebangkitan Nasional Baru? (1)

0

Oleh: Dr Ir H Subhan Syarief MT *)

BULAN Mei adalah salahsatu bulan bersejarah dalam perjalanan bangsa ini, ada 2 (dua) peristiwa penting, Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Walaupun begitu, 2 (dua) peristiwa bersejarah di bulan ini terlihat tak lagi dimaknai sebagai alat pemicu perjuangan dalam memajukan kondisi Bangsa.

SEMUA diperingati terasa kearah hal seremonial saja, faktanya tidaklah banyak memberikan nilai tambah dalam mempengaruhi perubahan kondisi negeri ini.

YA, bila dicermati kondisi kekinian dari Indonesia sudahlah sangat memprihatinkan.  Hutang selalu bertambah, kerusakan lingkungan semakin menjadi, kemiskinan tak bisa di kurangi, SDA semakin menipis dan dikuasai oleh para pemodal, dan banyak lagi bukti lainnya yang menunjukkan Indonesia tidak sedang baik-baik saja.

BACA JUGA: NGopi JRTV, Catatan Kritis Subhan Syarief : Ikon dan Keunikan Kota Banjarmasin. Mampukah Berbenah?

Padahal bila meruntut sejarah , berawal dari gerakan kebangkitan nasional inilah proses riak-riak pergerakan menuju kemerdekaan mulai semakin menguat.

Hari kebangkitan nasional yang diperingati setiap tanggal 20 mei ditiap tahunnya, sebenarnya merupakan hari lahirnya organisasi Boedi Utomo. Kebangkitan Nasional yang merupakan kebangkitan bangsa Indonesia yang mulai memiliki rasa kesadaran nasional ditandai dengan berdirinya Boedi Utomo tanggal 20 Mei 1908.

Secara garis besar, faktor pendorong kebangkitan nasional dasarnya karena penderitaan yang berkepanjangan akibat penjajahan; kemudian ingatan akan kejayaan masa lalu, seperti pada masa Kerajaan Sriwijaya atau Majapahit yang membuat Nusantara menjadi dikenal sebagai kerajaan terkuat di Asia. Dan yang paling penting lagi adalah sebagai bersatu nya kaum intelektual yang kemudian menjadi pemimpin gerakan perubahan untuk memerdekakan Indonesia.

BACA JUGA: Hari Jadi 496 Tahun Banjarmasin di jrektv, Dr H Subhan Syarief: Kota Yang Memiliki Karakter, Khas…

Spirit yang menjadi cikal bakal perlawanan yang di motori para tokoh intelektual ini semestinya bisa menjadi pemicu tokoh-tokoh era ini, yaa, tentu untuk kembali memunculkan cita-cita menjayakan Indonesia memakmurkan rakyatnya. 

Akan tetapi sayangnya, kondisi saat ini sangatlah menyedihkan. Banyak tokoh, bahkan para pemegang amanat negeri pun tak mau serius dan bahkan terlihat semakin mengabaikan hal makna dari Kebangkitan Nasional. Sekarang tujuan utama mereka menjadi pemegang amanat lebih kearah mengejar kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan.

Berlomba-lomba saling berebut mengapai kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, tak sungkan menjarah harta kekayaan milik negara, tak sungkan alampun dibiarkan rusak parah, rakyat dibiarkan menerima derita berkepanjangan.

BACA JUGA: Mengembalikan “Marwah” Banjarmasin sebagai Kota 1.000 Sungai, Mungkinkah?

Dan bahkan merebut aset milik mereka sejak lama untuk kemudian di ‘serah’kan kepada pihak asing sudah semakin sering terjadi. Parahnya, tak sadar kemudian semua aset bahkan kedaulatan negara tergadai kepada Asing. 

Dengan kondisi yang terjadi bukankah ini artinya sama saja Indonesia kembali terjajah ? Padahal spirit dari pada Kebangkitan Nasional yang sudah digerakan ratusan tahun yang lalu adalah untuk menjadikan rakyat Indonesia mendapatkan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran. Yang kemudian ujungnya ditahun 1945 lahir lah puncak dari perjuangan, yakni Indonesia berhasil memperoleh kemerdekaan. 

Sejatinya, dengan kondisi kekinian Indonesia yang tak juga mampu mencapai adil, makmur sejahtera ini maka tentu apa yang menjadi tujuan hakekat merdeka juga tak bisa tergapai. Ya, untuk apa merdeka bila ketiga hal tersebut tak didapatkan ‘merata’ oleh segenap rakyat.

BACA JUGA: Pentingnya Tahap Negosiasi Awal Pasar Batuah, Subhan Syarief: Butuh Pelibatan Masyarakat Sekitar…

Tentu ujungnya untuk menghadapi ataupun menghilangkan kondisi ini mau tak mau Indonesia perlu untuk bermetamorfosa lagi. Perlu untuk diperbaiki , dirubah ataupun diatur ulang/rekayasa ulang. 

Ya, sejatinya memang arah dan tujuan kebijakan bernegara perlu untuk diruwat agar kembali ke tujuan awalnya dulu. Dalam hal ini bila ingin membenahi maka mau tak mau pengejawantahan tujuan daripada merdeka dalam pengaturan berbagai kebijakan pengoperasiannya bernegara mesti harus di format ulang. Indonesia memang perlu di ‘ruwat’ agar bisa kembali kearah apa yang di inginkan ketika mau merdeka.

Bicara meruwat secara ringkas bisa di maknai mengembalikan kondisi seperti awalnya. Indonesia bila dilihat dari kondisi awal nya, bahkan bila ditelusuri sejarah perjalanan panjangnya wabil khusus ketika negara ini belum bernama Indonesia, ketika belum tersentuh oleh penjajahan Asing, Aseng dan oligarki, kemakmuran dan kesejahteraan menjadi sebuah situasi yang di miliki oleh para penghuninya.  Bagaimana tidak, berbagai sumber daya ada di negara ini.

BACA JUGA: Ngobrol Pinggiran di jrektv, Pendapat Subhan Syarief Soal Calap

Bahkan Nusantara (sebutan tempo dulunya) di kenal sebagai zamrud khatulistiwa. Dikenal sangat kaya raya dengan berbagai hasil rempah, sehingga dengan hasil rempah inilah yang menyebabkan Nusantara menjadi incaran baik dari para kelompok Imperialisme Asing dan Domestik (kerajaan-kerajaan) untuk dikuasai agar bisa memperkaya kelompok nya.

Sebagai contoh, Kerajaan Belanda sebagai kaum Imperialisme yang sukses menjarah berbagai kekayaan sumber daya Nusantara telah berhasil menjadikan negara mereka kaya raya dgn kekayaan yang bisa digunakan membangun Negeri nya.

Di era baru pasca merdeka, bila dicermati cukup banyak perusahaan bermodel  gaya VOC terselubung yang juga berhasil menguras harta Indonesia (perusahaan emas di Papua, perusahaan minyak, perusahaan gas dan batubara dan perusahan lainnya). Menyedihkannya, banyak fakta ternyata juga menyisakan hutang yang ujungnya menjadi tanggung jawab negara. 

Begitulah potret Indonesia, sebuah negara kaya , yg telah menjalani 77 tahun kemerdekaannya. Ya, saat ini Indonesia bertimbun hutang yang bahkan menurut pandangan beberapa ahli dasarnya sudah sangat berbahaya bagi masa depan keberlangsungan ekonomi Negeri ini.

BACA JUGA: Lebih Baik Fokus Banjarbakula, Subhan Syarief : Gugatan ke MK Bukti Perlawanan Rakyat Banjarmasin!

Dari segi kerusakan lingkungan fisik dan nonfisik di negeri ini juga sudah semakin meningkat tajam. Sudah berapa juta hektar kawasan hutan yang hilang, atau kemudian di kuasai oleh pihak non pemerintah (swasta) baik yang berupa lembaga perusahaan ataupun berupa individual dan juga tentu yang di miliki sendiri oleh pemerintah atau badan usaha milik pemerintah. 

Dari sisi kehidupan bermasyarakat juga sudah semakin jauh dari kearifan tempo dulunya. Bahasa dan sikap prilaku santun, penuh kelemah lembutan, welas asih, tepo selero, gotong royong, dllnya sudah semakin menghilang. Bahkan tak jarang bahasa dan prilaku kasar, penuh ujaran kebencian, fitnah, intimidasi , provokasi, intoleran dan yang sejenis semakin tak bisa lagi di bendung.

Tak jarang pelaku nya adalah para tokoh, aparat dan juga pejabat, atau mungkin mereka yang dekat dan di back up oleh penguasa. Anehnya, walaupun itu selalu di lakukan dan terlihat nyata tapi hal pembinaan, penindakan ataupun penghukuman tak bisa dengan adil diberlakukan oleh Pemerintah dan penegak hukum. Kondisi ini, jujur mau tak mau mengingat kan ke masa lalu, kemasa ketika Indonesia masih di kuasai oleh penjajah.

BACA JUGA: Kota Banjarmasin, Sungai dan Arsitektur

Bedanya, kalau dulu di jajah Asing, menyedihkannya sekarang di jajah oleh bangsa sendiri. Sehingga ketika mau berjuang melawan sangatlah sulit karena melawan ‘musuh’ yang sosok dan rupanya serupa. Ya, antara pejuang dan ‘penjajah’ secara fisik tak bisa dibedakan.

Kondisi ini akhir nya linear dengan narasi bung Karno, narasi sangat tepat untuk menggambarkan kondisi kekinian. Dia, Bung Karno pernah mengungkapkan pada pidato di Hari Pahlawan 10 November 1961 bahwa :

*“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”*

Tentu ungkapan yang disampaikan tokoh besar ini tidaklah main-main, gambaran hal masa depan Indonesia bila tak hati-hati dalam mengisi kemerdekaan sudah di suarakan oleh beliau. Dan ternyata saat ini kondisi tersebut semakin kuat terlihat, dirasakan bahkan mendera sebagian anak bangsa. Saat ini, bagi yang cermat dan mau mempelajari, menganalisa, mendata dan kemudian mensintesakan nya maka pasti akan mendapatkan gambaran bahwa bangsa Indonesia ini sejatinya masih tetap belum merdeka.

BACA JUGA: 15 Kampung di Kota Banjarmasin Raih Penghargaan Proklim

Bahkan telah terjajah oleh bangsa sendiri yang akan sangat berat untuk diperjuangkan ‘kemerdekaan’ nya, ya.., melawan bangsa sendiri yang telah bermetamorfosa menjadi ‘musuh dalam selimut’ pastilah membutuhkan ‘ketegaan’ dan ‘kerja keras’ untuk mengalahkannya  seperti yang di gambarkan bung Karno tersebut.

Tapi, tak boleh berpatah asa, walaupun sangat berat, kondisi yang terjadi ini tidak boleh di biarkan. Kerusakan secara ‘struktur’ mesti segera diperbaiki. Dan salah  satu usaha bisa saja melalui proses ‘peruwatan’ yang berkelanjutan. Untuk Proses peruwatan agar berhasil mesti di lakukan secara fisik dan non fisik. Langkah awal perlu di perankan kompenen apa yang mesti terlebih dahulu di ruwat.

Bila dilihat secara menyeluruh memang begitu banyak masalah yang menimpa bangsa ini yang tak sesuai dengan tujuan atau konsep yang dulu di canangkan ketika mau merdeka, ketika negara mau dijalankan.

BACA JUGA: IKN Baru, Subhan Syarief : Mari Fokus Manfaatkan SDA Kalimantan untuk Warga Kita

Penghianatan, penyelewengan dan manipulasi terhadap hakekat merdeka, dan juga arah kebijakan tujuan dibentuk nya negara sebagai tindak lanjut daripada tujuan merdeka ternyata saat ini sudah semakin jelas terlihat dan terbukti nyata. Bukti mudahnya adalah semakin sulitnya rakyat Indonesia menikmati keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran secara merata.

Tentu muncul tanya kita, mengapa sudah lama Merdeka hal tersebut masih bisa terjadi ? Hal keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia tak bisa tercapai, dan bahkan semakin suram. (jejakrekam)

(Bersambung)

*) Penulis Seorang Doktoral Juga Pemerhati Tinggal di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan

Editor Afdi Achmad

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.