Peran Ulama, Cerdik Pandai dan Petisi Akademisi Kampus

0

Oleh: Noorhalis Majid

“BILA ulama dan cerdik pandai berselingkuh dengan politik, dunia akan suram. Sebaliknya, bila setia dan konstisten dengan ilmu pengetahuan, dunia mengalami pencerahan,”

UNGKAPAN bijak sangat terkenal tersebut disampaikan seorang tokoh yang hadir dalam Forum Ambin Demokrasi, Banjarmasin, Sabtu (27/1/2024).

Kenapa ungkapan tersebut sampai muncul? Karena ketika diskusi yang sangat hangat sore itu, terungkap berbagai fakta dan kenyataan yang dilihat dan dirasakan, akhirnya dimana-mana mulai muncul kesadaran bahwa politik dan demokrasi Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bahkan mengalami kekacauan yang semakin parah.

Harapan perbaikan atas situasi ini, tentu saja tertuju pada ulama (tokoh-tokoh agama dari semua agama) dan para cerdik pandai. Yang dengan ilmu dan kebijaksanaannya, dapat memberi nasehat serta mengarahkan semua element bangsa untuk kembali pada situasi yang semestinya. Tidak harus menunggu situasi semakin kacau, atau bahkan menunggu hilang kesabaran semua orang hingga akhirnya terjadi ‘amuk’.

BACA : Masuk Agenda Konferwil IX, Ulama se-Kalsel Berkumpul di Ponpes Rakha Amuntai Bahas Fikih Digital

Lantas, bagaimana ulama dan cerdik pandai melakukan penyelamatan situasi ini? Caranya tentu saja dengan terus menyuarakan melalui mimbar dan berbagai kesempatan, serta membentuk kelompok atau sirkel kritis yang juga menyuarakan dan bahkan menjadikannnya satu gerakan, agar terjadi perubahan secara bersama-sama.

Tidak mungkin memilih tidak tahu dan tidak tahu menahu, apalagi tidak peduli, lalu bersembunyi di tempat amannya masing-masing, dengan hanya mengerjakan rutinitas yang tidak berdampak pada perubahan cara berpikir dan bersikap. Terlebih memilih cara aman dan berselingkuh dengan kekuasaan.

BACA JUGA : Trend Dan Tantangan Pemilu Serentak 2024, Politik Uang Tidak Selamanya Menang

Minimal tidak menjadi stempel atau pemberi legitimasi dari penguasa, agar perannya sebagai “kontrol” tetap terjaga.  Bukankah sejarah revolusi yang terjadi di banyak tempat, dipelopori tokoh agama dan cerdik pandai, yang setia pada ilmu dan pengetahuan, hingga akhirnya menggerakan dan melahirkan berbagai perubahan yang mencerahkan.

Petisi Kampug, Tagarak Urang Bangun

Melihat situasi demokrasi yang semakin kacau, kampus sahut menyahut menyampaikan petisi atau pernyataan sikap. Isinya beragam, ada yang tajam menohok, ada pula yang normatif, sekadar membuat pernyataan, agar tidak dianggap ketinggalan.

Apapun isi pernyataannya, gerakan ini memberikan gambaran bahwa kampus sudah mulai gerah pada situasi politik dan demokrasi. Praktiknya tidak seperti diajarkan di kampus-kampus. Bahkan terjadi menyimpangan, distorsi. Di tengah perjalanan, demokrasi bukan hanya dibajak kelompok oligarki, bahkan ditelanjangi, hingga kehilangan etika, moral, adab, sopan santun, dan mungkin juga akhlak.

BACA JUGA : Media Miliki Kemampuan Awasi Politik Uang di Pemilu 2024

Karenanya kampus membuat pernyataan, berharap semua pihak yang sudah menelanjangi, kembali pada khitah dan perannya masing-masing, sebagaimana sudah diatur dalam konstitusi. Tentu saja, kalau sekadar pernyataan tanpa dibarengi aksi, sangat sulit mengembalikan politik dan demokrasi pada jalur semestinya.

Lantas, aksi seperti apa yang paling bermartabat? Demo besar-besaran tentu sudah bukan zamannya. Lebih banyak merugikan dan resikonya besar. Walau dianggap paling efektif dalam menggulingkan rezim, sehingga demo dengan massa besar masih ditunggu.

Cara lain paling efektif, bila semua “orang kampus” yang sebelumnya mendukung dan berada di pemerintahan, mengisi berbagai jabatan strategis, menarik diri pulang ke kampus, dan turut melakukan konsolidasi.

BACA JUGA : Hadapi Politik Uang di Pemilu 2024, Akademisi ULM Sarankan Bawaslu Bisa Dekati Ulama

Dengan demikian, pasti pemerintahan kehilangan orang-orang strategis dan penting, karena perannya selama ini memang sangat sentral. Hanya saja, apakah orang-orang kampus tersebut mau? Jangan-jangan semua kekacauan ini, sudah sepengetahuan mereka pula? Sehingga apapun yang disuarakan kampus dan akademisi, tidak memberi efek perubahan.

Terhadap situasi seperti ini, kebudayaan Banjar menyindirnya dengan ungkapan “tagarak urang bangun”.  Bahwa sebenarnya para akademisi yang ada di pemerintahan itu, sudah tahu semua kekacauan ini, tapi pura-pura tidak tahu, pura-pura tidur – sambil menyusun argumen pembelaan. Walau dibangunkan, tidak akan peduli.(jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Forum Ambin Demokrasi

Pembina Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin

Editor Siti Nurdianti

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.