Menyiapkan Penerima Beasiswa SDM Sawit dalam Pengalaman Global

0

Oleh : Benny

MENYONGSONG Indonesia Emas 2045, yang kick-off- nya sudah lama. Dan hari ini 2024. Artinya kita punya waktu 21 tahun untuk menyambut masa keemasan kita.

TENTUNYA sebagai penerus bangsa ini kedepannya, banyak hal yang harus dan patut kita pikirkan tentang masa depan. Lebih dari masa depan personal, namun masyarakat, lingkungan sekitar bahkan keberlanjutan negara kita kedepannya,

Sebuah hal yang positif, bilamana ditinjau pada 2022 penerima beasiswa sawit berjumlah 2000 mahasiswa yang tersebar di seluruh Indonesia walaupun ada catatan masih adanya ketimpangan alokasi bilamana kita melihat dari beberapa daerah.

Setidaknya ini menjadi refleksi di 2024. Dimana proyeksi alokasi berjumlah 3000 mahasiswa, padahal kami berharap bisa seperti statement perwakilan kementerian pertanian RI pada November lalu yang mengutarakan “10.000 Mahasiswa” bisa terealisasi di tahun 2024 ini. Yang tentunya akan banyak melahirkan orang-orang terbaik pada industri penyumbang kehidupan negara kita “pajak” yang terbesar di Republik ini. Bukan sekadar industri yang mendapatkan tenaga kerja siap kerja dengan biaya murah.

BACA : Replanting 2023 Capai 10.000 Ha, Mentan SYL Minta Akselerasi Peremajaan Dan Hilirisasi Sawit Di Kalsel

Hari ini, kita perlu melek mata terhadap apa yang terjadi detik-detik ini. Kebijakan EUDR, mengejar produktivitas bahkan melampaui yang sudah ada, bahkan menyikapi panggung global yang nampaknya “Kepanasan” karena industri sawit terus hidup bahkan menjadi kuat.

Kita perlu sadar, bahwa kita telah memiliki bursa sendiri (per 25 Januari 874,13 USD per MT) untuk semakin menajamkan kekuatan kita. Namun menjadi renungan bahwa kita belum bisa membusungkan dada kita karena kita belum mampu mendekati harga seperti Bursa Malaysia yang mencapai 931 USD per MT, apalagi Bursa Roterdam yang 952,78. USD per MT, Kuala Lumpur mampu mendekati Rotterdam itupun karena Bursa Roterdam yang anjlok bebas pada tren 2 pekan terakhir. (Data by CPOPC)

BACA JUGA: Walhi Sebut Kalsel Sedang Sakit, Lahan Pertanian Terancam Ekspansi Tambang dan Sawit

Kita bisa berkiblat pada CPOPC. Dengan anggota awalnya Indonesia & Malaysia di permulaannya dan salah satu key figure Almarhum Rizal Ramli. Sosok yang getol memperjuangkan banyak hal di republik indonesia. Termasuk masa depan sawit. Berhasil menarik perhatian dunia, menarik sorot mata kepada Asia Tenggara utamanya Indonesia

Di samping 2 negara ini, ada Honduras juga menjadi anggota CPOPC Serta beberapa observer country (negara pengamat) seperti Colombia, Ghana, Papua New Guinea. Dan negara lainnya yang terafliasi sawit seperti Ekuador, Guatemala, Nigeria, Pantai Gading, Thailand yang memiliki historis sawit yang panjang. Baik sebagai Produsen, Eksportir, hingga praktisi.

BACA JUGA : Selain Batubara dan Sawit, Ini Produk Andalan Ekspor Kalsel ke Berbagai Negara

Bahkan tidak sedikit negara di Eropa yang memiliki pakar sawit seperti pengalaman kami bertemu pakar dari Spanyol. Serta Uni Eropa sebagai regulatornya eudr yang terkesan menjegal sawit. Atau kalau sedikit provokaitf, mereka mencoba membius mematikan industri emas cair ini.

Upaya CPOPC dalam ragam lawatannya ke banyak negara, bisa menjadi referensi bagi Perguruan Tinggi (PT) untuk melakukan hal serupa, berbeda dengan CPOPC membawa misi diplomasi, maka PT berperan sebagai pembawa misi studi banding.

Dan menjadi ideal bilamana CPOPC bersinergi dengan PT dalam rangka mencetak generasi penerus diplomat sawit, melihatkan mahasiswa untuk belajar secara langsung. Barangkali dengan melihat permulaannya pada program #youngelaeis yang dilihat sudah cukup bagus, tinggal di Kencangkan kembali.

BACA JUGA : Australia Dukung Kalsel Integrasikan Sawit-Sapi

Sebagai refleksi kita hari ini. Konsumsi domestik Indonesia yang mencapai 18,976 juta ton, tertaut jauh Malaysia yang hanya 3,282. Nigera 2.340 juta ton,Thailand 2,168 juta ton. Akumulatif negara lain mencapai 46,685 juta ton.

Lalu lahan menghasilkan Indonesia mencapai 12,342 juta hektare (h), Malaysia 5,127 ha, Thailand 990 ribu mendekati 1 juta ha, Dan akumulatif negara lain mencapai 3,934 ha. Khusus Indonesia dalam tren 12 tahun (2010-2022) nyaris dia kali lipat 2010 yang hanya 6,262 juta (Data by CPOPC 2022). Melihat tren ekspor Indonesia mencapai 27,873 juta ton (55.1 %), Malaysia 15,730 (31.1%) juta ton. (Data by CPOPC 2022)

Mengamati data di atas, sudah saatnya melibatkan perguruan tinggi utamanya yang terafliasi dengan beasiswa sawit untuk naik level, bukan sekadar mengejar karier pada industri belaka. Walaupun hal tersebut bukan sesuatu yang diharamkan,

BACA JUGA : Wujudkan Susu dan Daging Berdaulat, Mentan SYL Launching Integrasi Sapi-Sawit

Hematnya. Lembaga pendidikan yang terafliasi dengan sawit berperan dalam dua lini yang bisa dilakukan dalam mendongkrak mutu mahasiswanya, penguatan bahasa asing dan studi banding.

Bahasa Asing

etidaknya di Malaysia kita akan ditemukan oleh ragam bahasa yang melekat pada orang di sana seperti bahasa Melayu yang memiliki kedekatan dengan kita. Namun tetap perlu kita belajar, nahasa Inggris sebagai bahasa global, serta bahasa Mandarin karena di Malaysia cukup kental pluralisnya, serta pada sektor manufaktur sawit dimana peralatan manufaktur tidak sedikit dari Negeri Tirai Bambu sebagai raksasa manufaktur global.

Ditarik dari pendekatan pembelajaran bahasa Inggris, nampak tidak cukup bila hanya 1 semester, namun bilamana keterbatasan. Kampus perlu inisiasi kelas tambahan atau kursus diwaktu libur atau narasi kerennya summer course. Tentunya bisa membuat mahasiswa lebih produktif dengan keterampilan bahasa asing dan melahirkan kepercayaan dirinya pada kancah global.

BACA JUGA : Terdesak Ekspansi Kebun Sawit, Lahan Pertanian dan Purun di Batola Terus Menyusut

Lalu bahasa asing lainnya dengan menggandeng lembaga kursus lainnya. Sehingga mahasiswa penerima beasiswa sawit atau yang terafilasi dengan sawit memiliki selling value yang lebih mewah. Apalagi bilamana mahasiswa memiliki proyeksi untuk melanjutkan studi tentu keterampilan bisa menjadi penguat kapasitas ke depan.

Studi Banding

Studi banding negara tetangga nampaknya awalan yang tidak buruk. Dan berpotensi besar perguruan tinggi sawit bisa mengikutinya.  Semisal di Malaysia, perguruan tinggi yang base di Sumatera Utara maupun Riau atau Sumatera Barat sudah memiliki potensi besar untuk menginisiasinya.

Malaysia bisa menjadi pilihan untuk melaksanakan studi banding/studi kelembagaan karena pembiayaan pada transportasi utama (pesawat) jauh lebih murah bilamana hendak terbang ke Jakarta. Dan pembiayaaan transportasi penunjang (dari Bandara Kuala Lumpur ke lokasi misalnya RSPO Headquarters/Markas Besar Roundtable on Sustainable Palm Oil) jauh lebih efisien.

BACA JUGA : Dibantu Rp 30 Juta per Ha, Peremajaan Sawit Pekebun Rakyat Harus Kantongi Serifikasi ISPO

Dengan simulasi pemberangkatan beberapa kelas sekali berangkat, tentunya hal ini menjadi potensi besar apalagi PTS dalam rangka mempromosikan kampusnya sehingga meningkatkan daya pikat bagi calon mahasiswanya.

Hal demikian juga berlaku bagi PT di Yogyakarta maupun Jabodetabek. Yang masing-masing memiliki koneksi penerbangan internasional, khusus yang di Jabodetabek katakanlah sudah menang start karena banyak perkantoran dipusatkan di Jakarta (Kementerian Pertanian maupun Instansi lainnya)

Tentunya dalam pengelolaan pembiayaan, bisa dilakukan dengan swadana serta dukungan dari stakeholders lainnya seperti BUMN Perkebunan, Dinas sesuai tingkatannya, Kementerian terkait, maupun BPDP-KS nantinya.(jejakrekam)

Penulis adalah Akademisi Institut Teknologi Sawit Indonesia (ITSI) Deli Serdang, Sumatera Utara

Editor Siti Nurdianti

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.