Koran Masih Eksis di Austria, Cerita Antropolog ULM Soal Budaya Literasi Media Massa

0

ANTROPOLOG Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Nasrullah berbagi pengalaman soal minat baca dan masih eksisnya koran di Wina, ibukota federal Republik Austria.

AKADEMISI Program Studi Sosiologi FKIP ULM Banjarmasin ini mengatakan berita atau informasi dalam teks di atas kertas ternyata masih eksis di Eropa Timur, khususnya Austria.

“Jika ingin beli koran tinggal masukkan koin 2 Euro dalam boks kecil, jadi pembaca harus jujur kalau mau menghidupi media cetak,” kata Nasrullah, saat menjadi pembicara dalam diskusi bulanan AJI Balikpapan Biro Banjarmasin di Kafe De Lea, Jalan Meratus, Banjarmasin, Sabtu (27/1/2024) sore.

Dosen muda yang tengah menempuh studi doktoral (S3) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan melakoni riset di Kampus Institut für Kultur-und Sozialanthropologie, Universitat Wien, Wina, Austria juga menemukan fakta adanya perkawinan tradisional dan modern.

BACA : Hasil Riset PR2Media Yogyakarta; Media Massa Rusak Akibat Sistem Politik Indonesia

“Ini menarik jika dibandingkan dengan fenomena yang terjadi di Indonesia. Ketika teknologi digital justru ditelan mentah-mentah bahkan diaplikasikan dalam bentuk media massa berbasis online. Sementara, di Eropa Timur, khususnya di Austria justru memertahankan media konvesional seperti koran dan majalah,” kata Nasrullah.

Dia mencontohkan koran terbesar di Austria berbahasa Jerman bernama Der Standard, Der Speigel hingga majalah dewasa Playboy dijual di lapak-lapak pedagang kaki lima di Kota Wina maupun stasiun kereta api dan moda transportasi.

Ada pula koran atau majalan yang diberikan secara gratis, karena materinya 80 persen diisi iklan, sisanya 20 persen menyajikan berita. “Bandingkan sekarang dengan kondisi yang terjadi di Banjarmasin, saat ini di Bundaran Koran Jalan Hasanuddin HM, dulu ramai menjual koran dan majalah, kini bisa hitungan jari,” kata Nasrullah.

BACA JUGA : Masuki Era Digital, Media Massa Cepat Beradaptasi dan Tetap Junjung Tinggi Kode Etik Jurnalistik

Intelektual muda Hapakat Bakumpai ini mengemukan hipotesis bukti koran atau surat kabar itu semakin tua dan eksis membuktikan jika budaya membaca atau literasi itu berkelindan dengan nilai kebudayaan sebuah bangsa dalam mencerdaskan generasinya justru tinggi.

“Ini yang aneh. Fenomena ketika teknologi informasi berbasis digital itu merambah Indonesia, dan kini diaplikasikan justru mematikan media massa konvensional seperti koran atau majalah. Sementara, di Eropa yang dalam persepsi kita merupakan negara-negara maju masih memertahankan koran dan majalah sebagai sumber informasi. Jangan-jangan negara-negara maju sengaja mengekspor kemajuan teknologi informasi menjadikan kita (Indonesia) sebagai kelinci percobaan,” papar magister antropologi lulusan UGM Yogyakarta ini.

BACA JUGA : Suara Kritis Pers Perjuangan dan Menguatnya Kapitalisasi Media Massa

Dalam analisis Nasrullah, eksistensi koran yang kini tersisa hitungan jari di Kalimantan Selatan juga terkait dengan faktor multidimensi. Seperti infrastruktur transportasi atau meeting point, titik kumpul massa. Hal ini juga berkelindan soal pendapatan industri media cetak khususnya dari kue iklan, tak hanya berharap pada kebesaran tiras.

Nasrullah, Antropolog ULM Banjarmasin saat bercerita pengalaman di Austria dalam diskusi bulanan AJI Balikpapan Biro Banjarmasin. (Foto Istimewa)

———-

“Saya membayangkan jika Banjarmasin yang mulai mengintegrasikan moda transportasi sungai dan darat lewat shelter itu bisa menghidupkan industri media massa. Misalkan, para penumpang bisa membeli atau membaca koran saat menunggu bus atau malah naik bus,” kata Nasrullah.

Diskusi dengan pengurus dan anggota AJI Balikpapan Biro Banjarmasin makin hangat, saat menyinggung soal meredupnya keberadaan radio sebagai media informasi mencerdaskan masyarakat yang punya jangkauan luas.

BACA JUGA : Media Massa Harus Jadi Perekat Kelompok Masyarakat dan Elite Politik

“Kalau di Banjarmasin, mungkin tak ada lagi yang menjual radio. Sementara, di Austria justru masih banyak toko masih menjual radio jadul, bahkan siaran radio lokal maupun internasional bisa ditangkap dengan jernih dan enak didengar, bukan lagi berbasis FM, bahkan siaran AM, SW dan MW masih bisa dinikmati,” kata Nasrullah, mengaku sering mendengar radio di apartemen yang disewa di Kota Wina.

Menurut Nasrullah, sebenarnya potensi di era digital berbasis handphone atau gawai yang menyajikan fitur atau aplikasi radio bisa ditangkap oleh pengusaha atau pegiat dunia siaran radio. Sebab, betapa banyaknya HP yang memiliki aplikasi atau fitur radio.

BACA JUGA : Bahas Era Disrupsi Digital, Dekan FISIPOL UGM dan Pakar Sosiologi Media UB Berbagi Analisis di ULM

“Bahkan, kampus tempat saya menimba ilmu di Wina masih menggunakan papan tulis dengan kapur tulis. Bandingkan dengan di Banua kita yang sudah menggunakan papan dengan spedol atau proyetor. Ini membuktikan negara-negara Eropa justru masih memertahankan hal yang kita anggap kuno,” imbuh Nasrullah.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Riyadi
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.