Cerita Aslan, Pengayuh Rombong Tersisa di Memudarnya Pasar Terapung Kuin Alalak

0

BAGAI bagai kerakap tumbuh di atas batu, hidup segan mati tak mau. Ini gambaran kondisi sekarang Pasar Terapung Banjarmasin di muara Sungai Kuin dan Alalak.

KEHIDUPAN pasar yang diklaim menjadi destinasi wisata saujana saat masyhur di era 1970-an hingga 1990-an, lamat-lamat kini menuju senja kala.

Adalah Aslan (65), pengayuh rombong atau kelotok yang menyuguhkan aneka makanan dan minuman atau warung terapung bercerita jika kondisi Pasar Terapung Banjarmasin tak lagi seramai dulu, bahkan sudah nyaris mati.

“Dari 16 pedagang rombong yang ada di Pasar Terapung Muara Kuin dan kini bergeser ke muar Sungai Alalak, mungkin hanya tersisa empat orang saja lagi. Banyak yang bangkrut dan memilih alih profesi,” cerita Aslan, warga Kuin Utara Banjarmasin Utara ini saat menarik perahu rombongnya ke dermaga dekat Masjid Sultan Suriansyah kepada jejakrekam.com, belum lama tadi.

BACA : Tutup Usia ke-66 Tahun, Banyak Kenangan Tertoreh dari Sosok Acil ‘RCTI Oke’ Ida

Menurut Aslan, rata-rata pedagang rombong yang mengapung di perairan Sungai Barito, Sungai Kuin hingga ke Sungai Alalak, tak lagi kuat mengayuh akibat hantam gelombang dari kapal, termasuk tugboat dan tongkang yang berseliweran.

“Tak kuat lagi kalau harus mengayuh, karena arus sungai sudah deras dan kuat serta hantaman gelombang. Jadi, kami terpaksa pasang mesin diesel untuk jadi pendorong atau penggerak,” kata Aslan.

Kondisi Pasar Terapung Muara Kuin di era Kolonial Belanda yang diabadikan dalam potret lawas dengan ciri khas perahu Tambangan. (Foto KITLV Leiden)

———-

Bagi dia, kejayaan Pasar Terapung Kuin-Alalak sudah tinggal cerita. Bahkan, aktivitas pasar yang dulu dimulai sejak azan Subuh hingga menjelang pagi hari, sekitar pukul 10 pagi, tak lagi berpusat di tepian perairan Sungai Barito.

BACA JUGA : Senja Kala Pasar Terapung Kuin dalam Memori Tersisa Mendiang ‘Acil RCTI Oke’

“Para pedagang Pasar Terapung tak banyak seperti dulu. Ya, karena sudah banyak pasar yang ada di tebing (darat) sungai. Bahkan, bisa dihitung jari tidak seperti dulu lagi,” kata Aslan.

Dia ingat betul saat kejayaan Pasar Terapung Kuin yang sudah bergeser ke Sungai Alalak itu menjadi destinasi andalan bagi Kota Banjarmasin demi mendatangkan para turis, baik lokal terlebih lagi mancanegara.

“Dulu, di Pasar Terapung itu banyak pedagang dengan jukung (sampan) berdatangan, baik dari Alalak, Tamban, Kuin bahkan dari Anjir (Barito Kuala) dan Kuala Kapuas (Kalteng). Sekarang ini, yang ada ya hanya para pedagang buah, sayur atau ikan kering dari Nagara (Hulu Sungai Selatan),” cerita Aslan.

BACA JUGA : Bangkit dari Mati Suri, Disbudpopar Banjarmasin Setuju Ada Payung Hukum Lindungi Pasar Terapung Kuin

Dampak dari kian menepi dan sepinya Pasar Terapung Kuin juga akibat promosi wisata cukup gencar untuk datang ke Pasar Terapung Lok Baintan, Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar. Belum lagi, Pemkot Banjarmasin membuka dermaga terapung khusus menampung acil-acil (emak-emak) untuk membuka lapak dagangan di Pasar Terapung Banjarmasin, perairan Sungai Martapura kawasan wisata Siring Tendean.

“Jauh sekali sepinya. Terpaksa sekarang harus mengepung pasar, ya mendatangi mereka dengan perahu rombong ini. Ini juga dampak dari sepinya Pasar Terapung Kuin, termasuk pula kedatangan para pengangkut kayu dari pedalaman Barito,” tutur Aslan.

BACA JUGA : Tanpa perlindungan Hukum, Kondisi Pasar Terapung Kuin Alalak Kini Hidup Segan Mati Tak Mau

Menurut dia, dulu selain para acil atau paman yang berjualan di Pasar Terapung Kuin jadi langgaan saat membawa barang dagangan terutama aneka buah-buahan khas Kalimantan atau produk lainnya guna menikmati hangatnya teh atau kopi di rombongnya dengan menu kue tradisional khas Banjar.

“Sekarang terpaksa saya ke sana ke mari. Ya, sampai ke Jelapat, Sungai Lauk dan sekitarnya. Kalau ada yang memanggil menepi, ya saya datang,” ucap Aslan.

Praktis, Aslan mengaku sudah 40 tahun beraktivitas di Pasar Terapung Kuin saat dirinya berusia 25 tahun. Awalnya perahu rombong itu dikayuh, sejak 1980-an Aslan memilih memasang mesin penggerak, meski harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar terus merangkak naik, nyaris tak terbeli untuk kantong tipis seperti dirinya.

BACA JUGA :Terancam Digusur, Bantaran Sungai Kuin Bakal Dibangun Dermaga Pasar Terapung?

“Ya, disiasati agar tak berat di ongkos. Kalau dihitung-hitung, insya Allah penghasil dicukup-cukupkan untuk dibawa ke rumah,” kata Aslan. Padahal, penghasilan Aslan rata-rata per hari hanya puluhan hingga ratusan ribu, jika barang dagangan ludes terjual.

Suasana Pasar Terapung Kuin saat di masa kejayaan di tahun 1980-an yang ramai dengan para pedagang. (Foto FB Akhmad Arifin)

————-

Dengan kondisi perahu rombong yang sudah menua, Aslan mengaku hampir tiap bulan memperbaikinya naik ke tebing sungai atau dalam istilah Banjar ‘di-dok-kan’.

Aslan bercerita lagi, saat rombong jadi primadona di Pasar Terapung Kuin, para pedagang terkhusus lagi pengunjung pasti ingin merasakan sensasinya. Mengapung dan bergoyang-goyang didebur riak ombak kecil Sungai Barito, mengambil kue dengan tongkat kayu kecil (galah) yang di ujungnya ditancapkan sebilah besi runcing.

BACA JUGA : Pangeran Alie, Rumah Lanting dan Normalisasi Aliran Sungai Kuin

“Tapi itu dulu, sekarang saya kebanyakan bersandar ke batang (dermaga terapung tradisional) atau titian, ketika dipanggil orang untuk singgah, termasuk mendatangi langganan, terutama para buruh pabrik kayu,” kata Aslan.

Selama 40 tahun lebih menjadi pedagang rombong, Aslan sudah merasakan manis dan pahit getirnya Pasar Terapung Kuin. Meski sebelumnya, Pemkot Banjarmasin sempat merancang semacam festival tiap akhir pekan di Dermaga Makam Sultan Suriansyah, Sungai Kuin, ternyata itu tinggal rencana di atas kertas.

Aslan tak pernah berpikir untuk mengakhiri profesinya di tengah usianya sudah renta dan senja. Dia hanya ingin memertahankan tradisi yang kini mulai ditinggalkan.

BACA JUGA : Bangkitkan Sektor Pariwisata, Sekdaprov Buka Festival Pasar Terapung

“Dulu, banyak orang Alalak Berangas di Pasar Terapung Kuin, gara-gara sudah banyak pasar di sana, nyaris tak ada lagi. Begitupula, orang-orang Awen (sebutan untuk pedalaman Barito dan Kapuas) sudah jarang datang ke Kuin,” tutur Aslan.

Dia pun memilih mandiri dalam berusaha. Padahal, rombong itu merupakan metamorfosis dari perahu Tambangan yang hanya bisa diabadikan lewat lambang Pemkot Banjarmasin atau jadi ikon di Bundaran Kayutangi.

Ketua Pokdarwis Pasar Terapung Kuin-Alalak, Iberahim mengakui selama ini kondisi pasar terapung seakan dibiar mati dengan sendiri. Belum ada upaya untuk menghidupkan atau merevitalisasinya.

“Orang hanya kenal Pasar Terapung Kuin karena adanya iklan atau tampilan Acil RCTI. Ada yang merasa bangga, tapi objek yang diklaim sebagai wisata saujana ini malah dibiarkan hidup sendiri,” kata Iberahim.

BACA JUGA : Sempat Vakum 2 Tahun, Atraksi Perahu Hias Festival Budaya Pasar Terapung Jadi Hiburan Rakyat

Ahim, sapaan akrab mantan aktivis Sanksi Borneo, lembaga kajian dan gerakan anti korupsi di Banjarmasin ini menegaskan harus ada langkah konkret untuk penyelamatan Pasar Terapung Kuin agar tak hilang dari peradaban kota. Kondisi serupa juga sudah lama dialami kawasan perhotelan dan penginap yang ada di Dermaga Pasar Terapung Kuin di Jalan Alalak Selatan yang sudah lapuk, dan tak bisa lagi dimanfaatkan.

“Tak hanya mengetuk pengampu kebijakan di Pemkot Banjarmasin dan Pemprov Kalsel, para sejarawan, budayawan dan lainnya juga harus dilibatkan agar bisa menghidupkan kembali Pasar Terapung Kuin, agar Amang (Paman) Aslan dan lainnya bisa setia dengan profesinya, tidak seperti sekarang sudah meninggalkannya,” imbuh Ahim.(jejakrekam)

Penulis Sirajuddin/Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.