Oleh : Iberahim
PERANG Banjar dimulai 1859 dari versi catatan Belanda berakhir pada 1906, usai tokoh-tokohnya berhasil ditangkap. Terakhir, Sultan Tamjidillah II, Raja Banjar terakhir ke-21 (1857-25 Juni 1859) diasingkan ke Buitenzorg (kini Bogor).
PENANGKAPAN Sultan Tamjidillah II yang terlahir bernama Gusti Wayuri bin Pangeran Sultan Muda Abdurrahman, setelah turun takhta atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari Batavia, diasingkan ke Buitenzorg pada 24 Juni 1859.
Ternyata Belanda salah perhitungan. Pasca penurunan Sultan Tamjidillah II dari takhtanya, justru memicu pemberontakan di Banjarmasin dimotori Kiai Mangun (Mangon) Karsa bermukim di Kween (Kuin).
Dalam Verhalen uit de Indische krijgsgeschiedenis (Java, Boni, Banjarmasin) karya Schoemaker, J.P. terbitan 1912 mengisahkan keadaan Kota Banjarmasin di mana kejahatan sekarang meningkat dari hari ke hari, dan gerakan itu semakin menyebar ketika Mangun Karsa, pendukung paling setia dari Sultan Tjamdjidillah II yang digulingkan (diturunkan dari takhta), atas desakan ibunya (Njai Besaar-Nyai Besar Aminah), membuat tujuan yang sama dengan para pemberontak.
BACA : Panglima Wangkang dan Taktik ‘Menyerah’ dalam Perang Banjar (1)
“Pengkhianatan sekarang terjadi di sekitar kami dari semua sisi. Pada tanggal 24 Agustus 1859 Mangon Karsa mencoba tidak hanya untuk menguasai benteng Schans Van Thuyl (Mantuil), 2 jam dari ibukota (Banjarmasin), tetapi juga untuk mengancam ibukota itu sendiri. Kami akan melangkah terlalu jauh di luar jangkauan kami untuk memikirkan berbagai peristiwa yang mendahului ekspedisi besar,” begitu catatan Schoemaker.
Lebih lengkap tentang peristiwa itu dan peran masing-masing orang tergambar dalam fakta persidangan terhadap para terdakwa yang tertangkap setelah peristiwa tersebut. Hal ini dimuat dalam Verzameling Der Merkwaardigste Vonnissen Gewezen Door De Krijgsraden Te Velde In De Zuid- En Ooster Afdeeling Van Borneo Gedurende De Jaren 1859-1864. Penulis mencoba menginterpretasi ulang kisahnya.
BACA JUGA : 24 Ramadhan 1275 H dan Meletusnya Perang Banjar
Proses peradilan terhadap terdakwa peristiwa penyerangan benteng Schans Van Thuyl dan Benteng Tatas tertuang dalam Putusan Auditor Militer di Pengadilan Militer yang berkedudukan di Banjarmasin tertanggal 19 Oktober 1860. Dalam hal ini, terdakwa terbagi dalam 2 kelompok yaitu :
1. Terdakwa yang dituduh berpartisipasi dalam serangan di Schans van Tuijl yaitu; Rachmat, Djanoedin, Pembakal Dangoet, Manil, Sengkeng Bapa Poeija, Kawing, Ahat, Pembakal Djimah, Alan, Tarip, Hamim, Rewang, Boesohot dan Djoelana
2. Terdakwa yang dituduh berpartisipasi dalam serangan di Banjarmasin (Fort Tatas) yaitu: Pembakal Talip, Kassan (dari Kuin ), Nasşir (dari Kuin), Boedi, Bekar, Isnin, Talip, Sahat, Nassir (dari Sungai Lumbah), Boenaim, Djanoedin, Lias, Toedin, Kassan (dari Sungai Miai), Sendol.
Dalam putusan pengadilan yang menimbang keterangan yang dibuat di hadapan ketua jaksa dari para terdakwa Anang dan Pembakal Arum yang telah meninggal dan atas ketidakhadiran terdakwa Annes, sehubungan dengan keterangan saksi-saksi Daijoe, Mahoedin, Leisa, Samsoedin, Djamain dan Sahaboe, dan sehubungan dengan keterangan-keterangan dan pengakuan para terdakwa Pembakal Talip, Boenaim, Lias, Sendol, Boedi dan Talip, mengenai penyerangan ke Banjarmasin, dan terhadap terdakwa Rachmat, Pembakal Dangoet, Manil, Pembakal Djimah dan Hamim, sejauh serangan terhadap Schans van Tuijl.
Peta penyerangan Kiai Mangun Karsa bermarkas di Sungai Pangeran, Kuin menyerang Benteng Tatas dan Benteng Mantuil. (Foto Dokumentasi Pribadi)
———-
BACA JUGA : Intan Sultan Adam, Rampasan Perang Banjar yang Kini Dikoleksi Museum Belanda
Berikut ini telah menjadi jelas duduk perkaranya. Pada pagi hari tanggal 21 atau 22 Agustus 1859, di sebuah rumah di Sungai Pagiran (Sungai Pangeran) yang masuk wilayah district Kween, dimana saat itu berada sosok seorang Abbas yang meninggal di penjara di Banjarmasin. Beliau lebih dikenalnya sebagai kepala distrik Kuin yang dianugerahi gelar Kiai Mangun Karsa.
Saat itu, bersama dengan anaknya Brahim, menantunya Anang, Boetalip (keduanya sudah meninggal) dan terdakwa Pembakal Talip. Pada pertemuan itu, Kiai Mangun Karsa memberi tahu mereka bahwa dia telah merencanakan untuk merebut benteng di Banjarmasin (Fort Tatas) dan Schans van Tuijl.
BACA JUGA : Ketika Temuan James Watt Memantik Perang Banjar
Dalam hal itu, ia setuju dengan Goesti (Gusti) Kassan dan Brahim yang akan memimpin penyerangan di Schans van Tuijl. Sedangkan, ia sendiri yang akan mengatur dan mengarahkan penyerangan di Benteng Tatas.
Setelah itu, ia mengirim Brahim kepada Goesti Kassan di Bambangin guna berunding dengan mereka lebih lanjut, dan mengumpulkan sebanyak mungkin orang untuk pelaksanaan usaha yang direncanakan. Kemudian, memercayakan Boetalip dan Pembakal Talip dengan misi yang sama di kampung-kampung tetangga.
Sementara itu, pada hari Kamis, 25 Agustus 1859, dia memanggil para tetua Kuin untuk berkumpul bersama- di rumah sebelah yaitu rumah mendiang menantu laki-lakinya, Pragam. Karena di rumahnya telah menginap Nyai Besar sudah sekitar 20 hari. Nyai Besar ini adalah panggilan kepada Ibunda Sultan Banjarmasin Sultan Tamjidillah II yang sudah mengundurkan diri (diturunkan dari takhta).
BACA JUGA : Benteng Oranje Nassau, Simbol Supremasi Belanda Pemicu Perang Banjar
Dalam pertemuan itu, hadir pula Daijoe, Mahoedin, Leisa, Samsoedin dan Djamain (kemudian hari menjadi saksi dalam persidangan terhadap para tersangka pemberontakan), Aripoedin, Jalil, Doellah, Hadji Doesalam dan Almarhum Boetalip serta seluruh penduduk Kuin; Selain itu, meski hanya sesaat, hadir pula Khatib Abdul Djalil dari Banjarmasin, yang melihat rumah Kiai Mangun Karsa kemudian mendekat, dan mendengar dari kejauhan akan terjadi penyerangan terhadap Schans van Tuijl. Beliau datang untuk menginterogasi Kiai Mangun Karsa tentang hal itu. Namun Kiai Mangun Karsa menyangkal hal itu. Setelah diyakinkan beliau kemudian pergi.
Suasana perkampungan Kuin di masa kolonial Hindia Belanda dengan perahu tambangan melintas di Sungai Kuin. (Foto KILTV Leidein Belanda)
———–
Setelah kepergian Khatib Abdul Djalil ini, Kiai Mangun Karsa dalam rapat tersebut mengumumkan keputusannya untuk menyerang Fort Tatas dan Schans van Tuijl dengan cara yang sudah ditentukan dan menuntut kerja sama semua pihak dalam hal ini. Namun semua yang hadir menolaknya. Hal menyebabkan Kiai Mangun Karsa menjadi marah dan menunjukkan kepada mereka bahwa dia akan melaksanakan rencananya pada malam yang sama bahkan tanpa bantuan mereka.
BACA JUGA : ‘Menggugat’ Kiprah Pangeran Antasari di Kecamuk Perang Banjar
Orang-orang yang berhadir dalam rapat itu kemudian meninggalkannya. Mereka pulang ke rumah masing-masing. Meskipun dipanggil lagi, tetap menolak. Mereka tetap memilih tinggal di rumah masing-masing.Pemanggilan ini dilakukan oleh Pembakal Talip;
Sementara itu, beberapa anak buah Kiai Mangun Karsa di antaranya bernama Abdoellah, juga anak Kiai Mangun Karsa, Oenoes, Matkassan dan Matijasin. Termasuk di antaranya Brahim dan terdakwa Pembakal Talip, sibuk di mana-mana guna membujuk semua orang yang mampu yang dapat ditemuinya. Sebagian dengan kata-kata yang baik, sebagian dengan paksaan dan ancaman untuk ikut serta dalam usaha-usaha yang telah direncanakan.
Sedemikian ditekan oleh terdakwa Pembakal Talip untuk melakukan tindakan terhadap Banjarmasin yaitu terdakwa Pembakal Aroem, Langgoeng, Manan dan Anang (keempatnya meninggal), Sahoen, Amis, Kassan (dari Sungai Miai), Pembakal Sendol, Boenaim, Sahat, Nassir (dari Sungai Lumbah), Djainoedin (dari Sungai Lumbah) dan Toedin.
BACA JUGA : Tokoh Sentral Perang Banjar, Pangeran Hidayat dan Tipu Muslihat Belanda
Sedangkan untuk penyerangan di Schans van Tuijl ditekan juga olehnya yaitu terdakwa Dangoet, Boesahat dan Djoelana. Sementara untuk yang terakhir terdakwa Boenaim juga menekan terdakwa Hamim dan Rewang, dan Brahim menekan terdakwa Rachmat.Sebagai titik berkumpul, yang pertama adalah tempat tinggal Kiai Mangun Karsa, dan yang terakhir adalah Sungei Lumbah, yang arah keluarnya dekat Sungai Barito.
Pemukiman warga Kuin Cerucuk di tepian Sungai Barito di masa Kolonial Hindia Belanda. (Foto KILTV Leiden Belanda)
———–
Akhirnya, pada malam tanggal 25 sampai 26 Agustus 1859, sekitar 150 pemberontak berkumpul di Sungei Lumbah di atas perahu dan dipersenjatai dengan tombak, parang dan keris, yang bisa dikenali adalah seseorang dengan nama Goesti (Gusti) Kassan dengan dua putranya dan Brahim, selaku pimpinan.
BACA JUGA : Ketika Wabah Cacar Mengubah Sejarah Perang Barito-Banjar
Kemudian Goesti Gani, Talah, Goesti Kandar, Goesti Riam, Pembakal Damboeng, Pembakal Aboe, Hadji Doemadjid, Doeri dan Anden Nipak, serta para terdakwa Pembakal Talip, Rachmat, Djanoedin, Aminoedin, Pembakal Dangoet, Manil, Oeda, Bapa Selong (almarhum), Sengkeng Bapa Poeija, Kawing, Ahat, Pembakal Djimah dan putranya Tarip dan Allan, Hamim, Rewang, Boesahat dan Djoelana.
Ketika para pemberontak sudah berkumpul, mereka dibagi menjadi dua kelompok oleh Pembakal Talip. Satu kelompok untuk menyerang Banjarmasin (Fort Tatas) yang dipimpin oleh Goesti Kassan, dan kelompok lain untuk menyerang Schans van Tuijl yang dipimpin oleh Goesti Gani dan Brahim.
BACA JUGA : Sejuta Memori dari Perangko Pertama di Banjarmasin
Kesepakatannya adalah ketika Benteng Tatas di Banjarmasin dan Schans van Tuijl sudah dikuasai oleh para pemberontak, 6 tembakan salvo akan ditembakkan dari sebuah meriam yang menandai kemenangan satu sama lain. Setelah itu, Goesti Kassan akan melanjutkan ke Schans van Tuijl, untuk bermarkas di sana dengan anak buahnya, sementara Kiai Mangun Karsa akan menempati Benteng Tatas.
Kemudian seluruh pasukan bergerak bersama dari Sungai Lumbah ke Sungai Barito menuju Kuin. Di tempat ini, mereka yang akan menyerang Fort Tatas di Banjarmasin berpisah dari rombongan. Mereka pergi bersama Pembakal Talip ke rumah Kiai Mangun Karsa di Sungai Pagiran (Pangeran). Sementara rombongan yang lain melanjutkan perjalanannya ke Schans van Tuijl dan tiba di sana sekitar jam 5 pagi.
BACA JUGA : Ditakuti Kolonial Belanda, Keberanian Panglima Wangkang Datangi Benteng Tatas (2)
Sesampainya di Schans van Tuijl, mereka langsung menyerbu benteng yang dipimpin oleh Goesti Gani, Brahim, Pembakal Aboe dan Pembakal Damboeng dan menyerang garnisun yang mengamankan benteng yang terdiri dari seorang bintara, Saboe (seseorang yang nantinya menjadi saksi peristiwa itu di pengadilan) dan 25 prajurit. Mereka yang berada di benteng tiba-tiba disergap oleh pemberontak, tidak lama setelah oorlam (ransum/jatah minuman keras jenever) diberikan kepada mereka (tentu saja mereka masih ada yang dalam keadaan mabuk), dan ketika itu mereka tidak bersenjata;
Dalam penyerangan itu, seorang prajurit yang sedang buang hajat di tangga Schans van Tuijl, dirobohkan oleh pukulan parang dari Goesti Gani hinga jatuh ke air. Detasemen pasukan benteng Schan Van Tuijl segera muncul dengan senjata. Mereka segera terlibat dalam pertempuran singkat tapi sengit dengan para penyerang, yang hanya dipersenjatai dengan tombak, parang dan keris.
BACA JUGA : Melintas Batas Benteng Tatas, Dibina Inggris hingga Bumi Hangus
Para penyerang tidak dapat menahan tembakan yang diarahkan pada mereka yang dipertahankan dengan baik oleh pasukan benteng Schan Van Tuijl. Para penyerang tidak tahan segera meninggalkan benteng dalam kepanikan besar dan melarikan diri menghindari kobaran api yang mengepung.
Mereka meninggalkan 7 pemberontak tewas dan 1 orang mengalami luka-luka. Salah satu pemberontak bernama Rachmat (yang kemudian hari menjadi salah satu terdakwa) membunuh salah satu anggota detasemen dan melukai 8 serdadu lainnya.
Selain mereka yang mati yang tertinggal, para pemberontak juga kehilangan 2 pimpinan penyerangan lagi, yaitu Goesti Gani dan Pembakal Aboe. Kemudian, mayatnya segera mereka bawa menjauh dari lokasi penyerangan.
BACA JUGA : Dipesan VOC Belanda, Meriam Eks Benteng Tatas Buatan Pabrik Besi Skotlandia
Sementara pemberontak lain di Kuin berkumpul di rumah Pragam yang sudah dikisahkan di atas, di mana Kiai Mangun Karsa memberi tahu mereka bahwa mantan penguasa Sultan Tamdjidillah II yang telah mengundurkan diri (diturunkan dari takhta oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda). Sedangkan, Mangkubumi Pangeran Hidayatullah, adalah pemimpin penyerangan Benteng Tatas Banjarmasin dan Schans van Tuijl, dan telah memanggil seluruh penduduk bekas wilayah Kesultanan Banjarmasin dan bawahannya guna merebut kedua benteng tersebut. Semua yang hadir telah menunjukkan diri mereka siap untuk memenuhi amanah itu.
Pemukiman Benteng Tatas dihuni para petinggi militer Hindia Belanda lengkap dengan tiang gantungan berada di lapangan terbuka. (Foto KILTV Leiden Belanda)
————
Apa yang diucapkan oleh Kiai Mangun Karsa yang mengatakan bahwa bekas penyelenggara pemerintahan Kesultanan Banjar tersebut sebagai perancang usaha pemberontak itu adalah upaya guna menarik orang-orang agar mau mendukung pemberontakan tersebut. Kenyataanya sebelum dibuang ke Buitenzorg (Bogor), Sultan Tamdjidillah II pernah memerintahkan kepada Kiai Mangun Karsa untuk mematuhi Pemerintah Hindia Belanda dan tetap tunduk. Setelah kepergian Sultan itu bersama dengan saudaranya Pangeran Adipati Aria Kasuma beserta rombongan, hal itu pernah diungkapkan oleh Kiai Mangun Karsa kepada rekan-rekannya di antaranya Sahaboe.
BACA JUGA : Dari Benteng Tatas, Tata Kota Banjarmasin Digagas
Bagaimanapun, Kiai Mangoen Karsa adalah satu-satunya juru bicara/penyampai dari mandat itu, yang tidak bisa dibuktikannya sama sekali. Meskipun ada informasi dari Sendol tentang surat perintah Mangkubumi (Pangeran Hidayatullah) yang diperlihatkan kepadanya oleh Brahim dilengkapi dengan capnya. Namun hal itu juga tidak bisa menentukan siapa sesungguhnya perancang asal dari usaha pemberontakan tersebut. Kemungkinan besar berdiri sendiri.
Para pemberontak yang berkumpul malam itu di tempat Kiai Mangun Karsa kebanyakannya tidak saling kenal. Pada kesempatan itu terlihat Sendol, Pembakal Aroem, dan Pembakal Talip, keluar masuk, dan sibuk menekan orang-orang di Kuin agar ikut dalam pemberontakan itu. Pembakal Talip adalah orang yang pada saat fajar menyingsing, mengatur dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan guna menyerang Benteng Tatas.
BACA JUGA : Tatas, Ibukota Kesultanan Banjarmasin
Setelah semuanya beres, sebagian dari para pemberontak yang berkumpul, dipimpin oleh Sendol dan seorang bernama Syarief Hussein, maju menuju ke Banjarmasin (Benteng Tatas) sebelum fajar menyingsing. Tidak jelas untuk apa hal ini dilakukan, mungkin karena menunggu dan mengumpulkan para pemberontak lain yang harus datang dari tempat lain yang lebih jauh yang tidak berhubungan langsung dengan Kuin.
Seorang anak buah Raja Pagatan yang bernama Dadoeng melihat kerumunan besar orang-orang bersenjata berat pada pagi hari Jumat, tanggal 26 Agustus 1859, sekitar sebelum jam setengah enam di dekat rumahnya yang terletak di perlintasan Banjarmasin dan di jalan raya utama (wilayah Kampung Bugis atau Pasar Lama sekarang). Jumlah yang dia dengar lebih dari 200 orang, yang kepala pimpinannya telah didengarnya tanpa ia ketahui bahwa mereka sedang menunggu pemimpin mereka yakni Kiai Mangun Karsa dan para pengikutnya agar bersama-sama menyerang benteng di Banjarmasin.
Warga Eropa yang bermukim di perkampungan Eropa di kawasan Benteng Tatas. (Foto KILTV Leiden Belanda)
——-
Namun garda depan ini terpaksa mundur oleh Dadoeng, setidak-tidaknya menurut keterangannya sewaktu dimintai keterangan dalam persidangan militer. Dengan ringkas, dia memberi pernyataan tentang kehadiran sekitar 120 prajurit. Prajurit-prajurit ini baru beberapa saat sebelumnya telah bebas tugas dari jaga malam di jembatan di mulut (pintu masuk) Antassan Ketjil (Muara Sungai Kuin) dekat Pasar Lama sekarang atau lebih dikenal kemudian dengan Ophalbrug/Jembatan Ringkap). Mereka masih berada di sekitar tempatnya bertugas. Sehingga dapat dipastikan bahwa ekspedisi pertama dalam hal itu gagal dan mereka kembali sebagian ke Kuin, dan sebagian berusaha mundur lebih jauh.
BACA JUGA : Pertempuran Sungai Miai, Antiklimaks Perlawanan Panglima Wangkang terhadap Penguasa Tatas (3-Habis)
Rombongan pasukan yang pertama yang bersama Sendol dan Syarif Hussein tersebut kemudian bergabung dengan Kiai Mangun Karsa. Mereka kemudian berbaris dengan segenap kekuatannya untuk menyerang Banjarmasin.
Pimpinan armada kecil itu adalah perahu Kiai Mangun Karsa, dengan sekitar 20 orang di dalamnya, termasuk Pembakal Talip, Boedi, Talip, almarhum Anang, dan Amis (terdakwa yang masih mangkir), semuanya dari Kuin. Juga terlihat ditempatkan di haluan perahu sejenis panji yang terbuat dari kulit harimau dan dilekatkan pada tiang penopang senapan. Panji ini dibawa ke titik paling depan sebagai pemandu bagi pasukan yang baru datang yang akan bergabung dalam pertempuran. Berikutnya perahu Bekar, Nassir, Isnin dan Kassan, yang tinggal di Kuin.
Sementara, 12 orang dari Sungai Lumbah yang kemudian jadi terdakwa, Lias, Nassir, Sahot, Djanoedin II, Boenaim, Toedin, Sahoen, Alak, Hasim (3 terakhir masih ada di Batavia), Langgoeng dan Manan (keduanya sudah almarhum) di antara rekan-rekan mereka; almarhum Pembakal Aroem, terdakwa Kassan Soengei Miai, sendirian di jukung/perahu; terdakwa Sendol dengan Syarif Hussin tersebut di atas, serta peserta lain dalam perjalanan itu. Jumlah gabungan mereka diperkirakan lebih dari 100 orang, dan senjata mereka terdiri dari tombak, parang, keris, dan belati. Namun, mereka tidak memiliki senjata api.
BACA JUGA : Melacak Jejak Keraton Banjar, Apakah di Kuin atau Pulau Tatas?
Dengan mendayung dari Sungai Pangeran ke sepanjang Antasan Kecil yang muaranya di Sungai Banjar (Sungai Barito), yang membentuk batas antara Kuin dan Banjarmasin (Tatas), Kiai Mangun Karsa kemudian berhenti di jembatan yang sekarang. Mereka semua kemudian naik ke darat.
Dengan panji di depan dan semua pengikutnya berbaris di belakangnya, Kiai Mangun Karsa sekarang bermaksud untuk terus berjalan kaki menuju Benteng Tatas Banjarmasin. Namun, baru beberapa langkah ke depan, ia dihentikan oleh Raja Pegattan (Pagatan) bersama orang Bugisnya.
Raja Pagatan tersebut pada waktu itu sedang berada di Banjarmasin di rumahnya di daerah Kampung Bugis. Atas laporan Dadung tentang pertemuannya dengan para pemberontak tersebut di atas, beliau kemudian pergi ke Fort Tatas Banjarmasin guna melaporkan hal tersebut kepada Pemerintah Hindia Belanda.
BACA JUGA : Awalnya Dikira Meriam, Ternyata Ketel Uap Peninggalan Kapal Uap Zaman Kolonial Belanda
Sementara itu, beliau memerintahkan kepada Dadung untuk mempersenjatai semua orang Bugis pengiringnya. Mereka kemudian menempati pos bersama di jembatan, terletak di pertemuan sungai-sungai tersebut (Jembatan Ringkap). Misi mereka guna mengusir pemberontak jika mereka muncul lagi.
Menurut M Idwar Saleh dalam bukunya “Banjarmasih”, ketika perang Banjar pecah tahun 1859, pada tahun-tahun pertama kedudukan Pemerintah Hindia Belanda sangat terdesak. Guna menjamin keamanan, Pemerintah Hindia Belanda meminta sekutunya; Raja Pegatan untuk membantu.
Dengan demikian maka Arung Abdullah Karim berangkat ke Banjarmasin dengan pasukan Bugisnya. Mereka ditempatkan di sekitar Antasan Kecil Barat dan di belakang Pasar Lama. Setelah perang Banjar selesai, tempat pasukan-pasukan Bugis itu telah menjadi anak kampung. Sekalipun Arung Abdullah Karim telah kembali ke Pegatan dengan pasukan Bugisnya, kampung tersebut masih dinamakan penduduk Kampung Bugis.
BACA JUGA : Ketika Konsep Lawas Kanalisasi Thomas Karsten Dihidupkan Kembali di Banjarmasin
Lanjut cerita sebelumnya, Dadung kemudian mengambil senjata api yang ada di kediaman raja, terdiri dari 4 lila/meriam, 4 pucuk senapan dan 2 buah senapan pemuras (blunderbuss), meletakkan lilla di depan kediaman raja di jalan raya, senapan dan pemuras serta senjata lain seperti tombak dan keris dibagikan kepada anak buahnya. Saat itu, anak buah Dadung berjumlah 30 atau 35 orang yang kemudian ditempatkan pada titik yang ditentukan. Mereka kemudian bergabung dengan Raja Pagatan.
Sekitar pukul 10 pagi, Kiai Mangun Karsa muncul dengan pasukannya. Mereka baru saja mereka turun ke darat, seketika itu, Raja Pagatan dan pasukannya menembaknya dan menangkapnya sembari menanyakan apa yang ingin dia lakukan di Banjarmasin. Hanya setelah mengulangi pertanyaan ini dia menjawab bahwa dia ingin lewat tanpa gangguan.
BACA JUGA : Kutukan Berlian Banjar; Peristiwa Tragis dalam Sejarah Kelam Kolonial Hindia Belanda
Namun mereka menyahut bagaimanapun tidak akan mentolerir tindakan itu selama salah satu dari mereka masih hidup. Sementara itu. takut dengan sikap gagah berani Raja Pagatan dan orang Bugisnya, para pengikut Kiai Mangun Karsa, segera memilih berjalan dengan hati-hati untuk berundur. Dalam percakapan singkat itu, Kiai Mangun Karsa sendiri telah mendapati dirinya hanya dikelilingi oleh selusin pengikutnya. Sebagai akibatnya, dia memohon untuk dibebaskan, dan berjanji untuk kembali ke Kuin.
Kiai Mangun Karsa, dengan beberapa pengikut yang tersisa kemudian mundur ke Kuin, sehingga mengakhiri rencana serangan yang akan dilakukan. Pertemuan Kiai Mangoen Karsa dengan Raja Pagatan ini dibenarkan, selain oleh para terdakwa yang terlibat, dengan keterangan saksi Dadung, sehubungan juga dengan keterangan tidak resmi Arung Abdul Karim, Raja Pagatan, Bandoe, Madoedoe, Bapa Wa Meka dan Kapitein Tonu, yang karena ketidakhadiran mereka. Hingga, keterangan mereka tidak dapat didengar lebih lanjut.
Dalam versi lain dikisahkan koran Java-bode; Nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie edisi Sabtu, 5 November 1859 dijelaskan bahwa pada pagi hari tanggal 26 Agustus, 45 pemberontak dengan perahu mendekati Schans Van Thuijl. Sebelum penjaga memerhatikan mereka, mereka telah melompat keluar dari perahu ke pantai dan dengan cara memaksa melintasi tembok pembatas ke dalam benteng. Dalam sekejap mereka melukai komandan, seorang sersan, dan 9 orang. Kejadian itu ketika penjaga benteng baru saja diberikan oorlam (jatah ransum berupa minuman keras jenever). Namun, para pemberontak bisa diusir lagi dari benteng hingga tercatat ada 6 orang tewas.
Beberapa jam kemudian, Kota Banjarmasin terancam hal serupa. Di Antasan Ketjil (Antasan Kecil), salah satu dari sedikit pintu masuk utama ke ibukota, yang belum diblokir sejak pecahnya pemberontakan. Terlihat berkumpul pada sekitar jam 8 pagi, beberapa perahu yang datang dari Kuin, di mana sekitar 100 orang bersenjata tombak dan klewang sedang duduk. Mereka meninggalkan perahu mereka yang ditambatkan di bangunan. Di depan ada seorang pria yang sangat tua.
BACA JUGA : Riwayat Pelabuhan Martapura Lama Era Belanda dan Jepang
Di hadapannya sebuah panji yang terbuat dari kulit harimau diangkat dan dikibarkan. Ketika pasukan ini telah mencapai wilayah yang disebut Kampung Bugis, ia dipanggil oleh seorang pengikut Raja Muda dari Pagatan yang pada saat itu berada di Banjarmasin.
Raja ini segera bergabung dengan pengikutnya dan menanyakan kepada orang tua itu kemana dirinya ingin pergi. Lalu dijawab bahwa dirinya hanya ingin lewat; tetapi dalam hal ini dia dicegah oleh Raja Pagatan dan pengikutnya yang mengelilinginya dengan mengacungkan tombak. Orangtua itu ingin menyingkirkan tombak dan berteriak kepada pengiringnya, “Hajja, hadja.” Tak lama kemudian, selusin orang Bugis bergabung dengan sang raja, lalu pasukan orangtua itu bergegas kembali ke perahu mereka.
BACA JUGA : Dirikan Banyak Pabrik, Banjarmasin Dibagi Jepang dalam 19 Kampung
Orangtua itu ditinggalkan sendirian dan mencoba perlahan mundur. Dia hanya bisa pasrah membiarkan dirinya didorong mundur dengan tombak. Sementara itu, semua warga yang ada di Banjarmasin sendiri gempar dengan teriakan,”berandal datang”. Kebanyakan orang Eropa melarikan diri bersama keluarga ke Benteng Tatas. Mereka kemudian dapat dipindahkan untuk kembali ke rumah mereka. Demikian pula, sebagian besar penduduk pribumi telah menghilang atau memilih mengungsi, tetapi secara bertahap kembali.
Suasana Benteng Tatas dari tepian Sungai Martapura dilengkapi dengan pagar pembatas dan meriam. (Foto KILTV Leiden Belanda)
———
Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata lelaki tua yang dimaksud adalah Kiai Mangun Karsa, Kepala Distrik Kuin dan para wakilnya. Hingga Kiai Mangun Karsa ditangkap keesokan paginya.
BACA JUGA : Kisah Berlian Banjar di Rijskmuseum Amsterdam; Tragedi Sebuah Regalia
Mengenai peristiwa penangkapan sang tokoh pemberontak telah dicatat oleh W. A. Van Rees dalam De Banjarmasinsche Krijg Van 1859-1863, Met Portretten, Platen En Een Terreinkaart Door W.A. Van Rees, Kommandeur, Officier En Ridder Van Verschillende Orders, Gepensionneerd Majoor Tit. Van Het Nederlandsch Indisch Leger.
Pada bagian pertama, tahun 1865 yang mengisahkan peristiwa pencegatan komplotan Kiai Mangun Karsa oleh pasukan Raja Pagatan di Kampung Bugis. Hal ini sudah cukup untuk membuat komplotan Kiai Mangun Karsa tak bisa melanjutkan perjalanan guna menyerang Benteng Tatas. Mereka tidak memperhitungkan tentangan seperti itu. Mereka mengincar darah orang kulit putih, bukan darah orang sebangsa. Kiai Mangun Karsa, karena tidak didukung, mengurungkan rencananya dan mundur. Seandainya Brahim (putra Kiai Mangun Karsa) menyerang Banjarmasin dengan keberanian sebanyak yang ditunjukkan ketika melompat di Benteng Van Thuyl, konsekuensinya tidak akan terduga.
BACA JUGA : Kisah Tuan B. Broers, Pemilik Tanah Kelayan Banjarmasin di Era Kolonial Belanda
Lagi pula, pada seruan “berandal datang” (pemberontak datang) kebingungan besar muncul di antara penduduk Eropa. Dengan tergesa-gesa masing-masing meninggalkan rumahnya dan melarikan diri ke pengungsian yang berada dalam benteng. Hanya setelah patroli di bawah Kapten Sterke kembali dengan laporan bahwa tidak ada musuh yang terlihat di mana pun. Penduduk Eropa akhirnya memberanikan diri untuk kembali ke rumahnya lagi.
Keesokan harinya, melalui perantara Kepala Jaksa Pangeran Suria Winata; Kiai Mangun Karsa, dan para pemimpin komplotan ditangkap. Kiai Mangun Karsa mencoba bunuh diri dengan “mogok makan” dan meninggal di penjara. Sementara, yang lainnya diadili di pengadilan militer.(jejakrekam/bersambung)
Penulis adalah Pemerhati Sejarah Banjar
Ketua Lembaga Adat Kerajaan Pulau Laut Korwil Banjarmasin
Sekretaris Syarikat Adat, Sejarah dan Budaya (SARABA) Hulu Sungai
Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/09/18/usai-sultan-tamjidillah-ii-diasingkan-ke-bogor-terbit-pemberontakan-kiai-mangun-karsa/