Kutukan Berlian Banjar; Peristiwa Tragis dalam Sejarah Kelam Kolonial Hindia Belanda

1

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

DIWARNAI pecahnya Perang Banjar dan Sultan Tamdjidillah II (1817-1867) turun takhta pada tanggal 24 Juni 1859. Berlanjut dihapuskannya Kerajaan Banjar tahun 1860.

REGALIA Kesultanan Banjar pun diserahkan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dua tahun setelah penyerahan regalia Banjarmasin oleh Tamdjidillah, dan satu tahun setelah regalia diangkut Belanda ke Batavia, sejumlah koleksi yang lebih besar ditawarkan kepada Bataviaasch Genootschap. Lembaga ini dengan senang hati menerima sumbangan tersebut.

Namun, untuk alasan yang belum diketahui, berlian 70 karat itu sekali lagi secara eksplisit tidak digabungkan dengan koleksi lainnya. Pada tanggal 26 November 1861, Gouverneur Generaal (Gubernur Jenderal) Sloet (1806-1890) menyarankan kepada Menteri Koloni untuk memberikan berlian itu kepada Raja Belanda William III (1817-1890).

BACA : Kisah Berlian Banjar Di Rijskmuseum Amsterdam; Tragedi Sebuah Regalia

Untuk tujuan ini, pada 16 Desember 1861, intan dibawa dari Pelabuhan Batavia. Intan diangkut dengan Kapal Perang Ardjoeno. Kapal ini merupakan kapal yang sama mengangkut Kolonel Andresen dan 150 orang ke Banjarmasin untuk memadamkan pemberontakan. Kemudian kapal ini juga yang digunakan mengasingkan Tamdjidillah ke Batavia.

Sejarah panjang berlian kemudian mulai tercatat antara tahun 1862 hingga ke tahun 1902. Pada tanggal 7 April 1862, di Departemen Kementerian Koloni (Urusan Jajahan) di Den Haag, Menteri Koloni Belanda Uhlenbeck (1815-1888) membongkar berlian ini dari “kotak kuning”, yang terbuat dari kayu berbentuk boks.

Berlian atau Intan Banjar yang masih disimpan di Rijskmuseum, Amsterdam, Belanda. (Foto Kompas)

BACA JUGA : Intan Sultan Adam, Rampasan Perang Banjar yang Kini Dikoleksi Museum Belanda

Berlian itu dibungkus dengan kertas dan ditempatkan dalam rangkaian benang warna perak yang tebal. Berlian itu ditimbang pada saat keberangkatan di Batavia maupun setelah sampai di Den Haag, dan berukuran sama, 70 karat.

Lebih dari empat bulan berlalu sejak Gubernur Jenderal mengumumkan bahwa dia akan mengirim berlian itu ke Belanda. Dia meminta Menteri Koloni mempertimbangkan menawarkan batu itu kepada Raja William III sebagai hiasan untuk mahkota kerajaan. Setali tiga uang, menteri setuju mengirim berlian itu ke Belanda. Walaupun tidak yakin apakah berlian itu dapat disumbangkan kepada raja sebagai hadiah pribadi, atau harus tetap menjadi milik negara.

BACA JUGA : Bahas Pengembalian Harta Kesultanan Banjar, Jurnalis Belanda Wawancara Keturunan Pangeran Hidayatullah

Akhirnya, pada 3 Maret 1862, ketika berlian itu dalam perjalanan ke Eropa, pertanyaan ini menjadi bahan perdebatan di Dewan Menteri. Akhirnya diambil keputusan bahwa berlian paling tepat disimpan di Museum Sejarah Alam di Leiden sebagai milik negara. Namun, Direktur Museum dan Direktur KKZ di Den Haag keberatan, karena mereka tidak memiliki fasilitas untuk menjaga intan dengan baik. Selain itu dan karena intan tersebut tidak layak untuk dikoleksi.

Sebagai alternatif, Menteri Koloni mempertimbangkan untuk menjual intan ke pasar, yang pendapatannya akan ditambahkan ke Batig Saldo, jumlah tahunan yang harus ditransfer Hindia Belanda ke tanah air. Nederlandsche Handel-maatschappij (NHM), perusahaan dagang Belanda yang memiliki monopoli untuk menjual produk kolonial dari Hindia Belanda ke pasar dunia pun menawarkan bantuan. Menyarankan pemotongan berlian sebelum membawanya ke pasar. Tetapi, kali ini Raja William III menolak intan ini dijual.

BACA JUGA : Cerita Keris Abu Gagang dan Pangeran Hidayatullah di Tanah Pengasingan

Selama berbulan-bulan, intan tetap berada di tempatnya. Pada 7 April 1862, Departemen Kementerian Koloni di Den Haag. Sambil menunggu keputusan lebih lanjut tentang nasib berlian, regalia Kesultanan Banjar itu dibawa ke Bank Nasional Belanda, De Nederlandsche Bank, pada 22 Februari 1864 untuk disimpan sampai ada pemberitahuan lebih lanjut. Pemindahan itu dilakukan di hadapan pialang berlian E. Vita Israel (1831-1915), yang memeriksa permata itu dan menentukan beratnya, sekitar 69 dan 7/8 karat.

Lima tahun kemudian, pada tahun 1869, Menteri Koloni kembali mengusulkan raja untuk menjual berlian tersebut, dan kali ini yang terakhir disetujui. Berlian itu dibawa ke NHM pada 8 Oktober 1869 dan dihargai 300.000 guild. Menteri dan NHM sepakat untuk tetap bungkam tentang pihak penjual dan asal usul benda tersebut. Selain itu, NHM menyarankan agar berlian dipotong, karena “bentuknya yang menyimpang dan kurang jelas” kurang menarik calon pembeli. Pembeli nantinya tidak akan bersedia menanggung risiko memotong dan mungkin merusak berlian.

BACA JUGA : Keraton Dibumihanguskan, Belanda Sita Regalia Kesultanan Banjar

Akhirnya pada 6 Mei 1870, menteri memutuskan untuk memotong berlian oleh AE Daniels & son, Direktur Pelaksana Perusahaan MM Coster (1818-1880) di Paris. Biaya pemotongan berlian (2.500 gulden) dipotong dari pendapatan berlian 17 karat dari Banjarmasin sebelumnya, yang dijual pada tahun 1864.

Suasana Kota Batavia, yang menjadi pusat politik dan pemerintahan serta perdagangan di masa Kolonial Belanda. (Foto Arsip Nasional)

Mulai saat ini, berlian tidak lagi berukuran 69 dan 7/8 karat, tetapi 37 dan 3/8 karat. Ternyata setelah dipotong, pihak AE Daniels & son mengakui bahwa itu warna berlian tidak secerah yang dia harapkan tetapi menunjukkan “warna kekuningan” yang secara negatif akan mempengaruhi nilainya.

BACA JUGA : Hanya 3 Tahun Duduki Banjarmasin, Jepang Hapus Warisan Belanda di Ibukota Borneo Selatan

Hal ini mengakibatkan harganya diturunkan secara substansial menjadi hanya 50.000 guild. Sayang, walaupun diturunkan tetapi tidak ada pembeli yang ditemukan. Pada tahun 1875, Menteri Koloni dan NHM memutuskan untuk membatalkan penjualan dan menunggu waktu yang lebih baik. Nilai pasar keuangan berlian tampak jauh lebih rendah dari yang diharapkan, menurut menteri hal itu tidak lagi membebani nilai historis batu itu “sebagai peringatan dari peristiwa penting dalam sejarah Hindia Belanda.”

Menurut laporan surat kabar dari tahun 1883, berlian itu dipamerkan di Internationale en Koloniale Uitvoerhandel-Tentoonstelling di Amsterdam, dalam pameran E. Vita Isral (1831-1915). Pada kesempatan itu, dia meminjam berlian dari Nederlandse Handel-Maatschappij.

BACA JUGA : Belanda Janji Kembalikan Berlian Sultan Banjar yang Dirampas ke Indonesia

Pada tahun 1888 akhirnya diputuskan oleh pemerintah Belanda bahwa berlian itu akan dibawa ke Rijksmuseum di Amsterdam, tetapi masih menunggu pembangunan ruang pameran keselamatan khusus. Pemindahan itu hampir berhasil, tetapi pada beberapa bulan terakhir tahun 1897, Menteri Koloni mengusulkan lagi menjual berlian untuk ketiga kalinya, bersama dengan koleksi permata dari harta dari Lombok.

Kali ini digunakan argumen bahwa intan telah kehilangan nilai historisnya setelah dipotong dan tidak pernah menjadi bagian dari regalia Banjarmasin yang sebenarnya. Untuk tujuan ini, intan dipindahkan dari Nederlandse Handel-maatschappij ke Pedagang Intan Amsterdam E. dan J. Vita Israel, yang pernah memeriksa berlian itu pada tahun 1864.

BACA JUGA : Ekspedisi Militer Belanda dan Jatuhnya Benteng Ramonia, Basis Pertahanan Pejuang Banjar

Ia mencoba melelang batu permata itu pada Maret 1898. Namun lagi-lagi tidak berhasil. Akhirnya, pada 22 Agustus 1902, berlian itu dipindahkan oleh J. Vita Israel ke Rijksmuseum di Amsterdam, sebagai pinjaman permanen dari Menteri Koloni.

Aktivitas penambangan intan dalam terowongan yang dilakukan pekerja pribumi di era kolonial Hindia Belanda. (Foto KILTV Leiden)

Sejak tahun 1902 kondisi berlian Banjar ini pun ‘tanpa tuan’. Berlian itu, dalam keadaan ketidakpastian yang permanen mengenai nasibnya, karena tidak pernah terdaftar secara resmi dalam inventaris museum. Antara tahun 1908-1918 dipajang bersama dengan koleksi lain yang juga statusnya masih diperdebatkan, yakni harta Lombok yang dijarah dari istana Kerajaan Lombok pada tahun 1894.

BACA JUGA : Melintas Batas Benteng Tatas, Dibina Inggris hingga Bumi Hangus

Dokumentasi museum dari tahun 1937 menunjukkan bahwa pada tahun itu berlian itu pernah dibawa ke toko perhiasan di Amsterdam, Bonebakker & Zn, mungkin untuk pemeliharaan atau perpajakan. Pada tahun 1984 berlian itu menjadi subjek penelitian arsip sejarah oleh seorang kurator Rijksmuseum.

Baru pada tahun 2000 berlian tersebut akhirnya didaftarkan dan mendapatkan nomor inventaris. Pada tahun 2013, setelah renovasi besar-besaran di Rijksmuseum di Amsterdam, berlian Banjarmasin dipajang secara permanen di sebuah ruangan yang didedikasikan untuk “Belanda di luar negeri.”

Pertanyaan akhir, intan ini tidak pernah laku dijual setelah dicutting menjadi berlian dan ditawarkan dengan sangat murah. Apakah memang mengandung kutukan? Tentunya pembaca yang bisa menyimpulkannya dari fakta sejarah yang ada.(jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Artikel disarikan dari Laporan asal bertitel, The Banjarmasin Diamond, Pilot project Provenance Research on Objects of the Colonial Era (PPROCE), yang disusun Klaas Stutje, kerjasama peneliti Sejarah Banjar, Mansyur (Prodi Sejarah FKIP ULM, Banjarmasin), Maret 2022.

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2022/12/10/kutukan-berlian-banjar-peristiwa-tragis-dalam-sejarah-kelam-kolonial-hindia-belanda/
Editor Didi G Sanusi
1 Komentar
  1. masthory gamasy berkata

    memang begitulah kutukan kalau disingkap dari nilai histori bahwa cerita tesebut berbuah kutukan…dan saya merasa berasal dari suku dayak pesisir bakumpai yang masih percaya dan bahkan melakono keterikatan leluhur dulu yang mana bisa disematkan kedalam bahasa sekarang bahwa karma akan berlaku pada setiap orang yang menyalahi aturan bahkan tradsi tertentu lebih lebih budaya kam di tanah banjar yang menuai hasil dari sumpah seorang atau leluhur dari para raja raja kami…. terima kasih.

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.