Kisah Tuan B. Broers, Pemilik Tanah Kelayan Banjarmasin di Era Kolonial Belanda

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

DAERAH Kelayan era kekinian adalah kelurahan di Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin dengan pemukiman heterogen, penduduk terpadat diselingi dengan tengarai kasus kriminalitas tinggi.

BERBANDING terbalik dengan kondisi masa kolonial Hindia Belanda di Banjarmasin tahun 1932-an. Kelayan hanya dimiliki satu orang Belanda, pengusaha bernama Tuan B. Broers yang memiliki kewenangan sebagai erfpachtrecht dari pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, kemudian tanah Kelayan berstatus tanah Erpacht Tuan Broers. Broers diperkirakan adalah anggota Gemeente Raad Banjarmasin yang diangkat tahun 1919.

Gemeente Raad atau Dewan Kota Banjarmasin beranggotakan 13 orang, yaitu 7 orang Eropa, 4 bumiputera dan 2 Timur Asing. Dewan ini diketuai P.J.F.D. Van De Riveira (Asisten Residen Afdeeling Banjarmasin), dengan anggota satu diantaranya B.J.F.E. Broers. Era itu, Kelayan masih berupa tanah hutan. Dalam kajian sejarah agraria dan hukum pertanahan, Hak Erfpacht merupakan salah satu jenis status hak tanah zaman kolonial Belanda di Banjarmasin khususnya.

BACA : Punya Koleksi 700 Benda Bersejarah, Museum Banjarmasin di Teluk Kelayan Segera Terealisasi

Hak Erfpacht berupa hak kebendaan yang memberikan kewenangan paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain. Meski memiliki kewenangan menggunakan aset tanah, pemegang hak tersebut berkewajiban membayar upeti atau sewa kepada pemiliknya yakni Pemerintah Hindia Belanda. Umumnya berbentuk hak guna atas lahan perkebunan maupun pemukiman.

Sungai Kelayan di masa kolonial Belanda yang dipenuhi perahu kayu dan besi yang ditambatkan di badan sungai. (Foto KITLV Leiden)

Dalam aturan ini, pemegang hak guna tanah bisa memanfaatkan lahan yang menjadi objek untuk keperluannya sesuai dengan kesepakatan. Tentu saja dengan catatan, ia sudah memenuhi kewajiban membayar upeti atau sewa kepada pemegang hak milik tanah.

BACA JUGA : Jejak Sejarah Era Kolonial, Ihwal Banjarmasin Menjadi Kota Kanal (1)

Selama jangka perjanjian yang berlaku, sesuai kesepakatan awal kepada pemilik tanah yang sebenarnya. Setelah jangka waktu perjanjian habis, pihak erfpachtrecht bisa mengajukan perpanjangan hak atau mengembalikan tanah pada Pemerintah Hindia Belanda.

Dalam perkembangannya, sejak adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) terutama era Orde Lama pemerintahan Soekarno tahun 1950, hak-hak tersebut mengalami konversi. Hak yang berkaitan dengan penggunaan tanah berubah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) usaha dan Hak Guna Bangunan (HGB).

BACA JUGA : Hanya 3 Tahun Duduki Banjarmasin, Jepang Hapus Warisan Belanda di Ibukota Borneo Selatan

Pada artikel “Pembagian Tanah2 di Oelin Weg”,  Surat Kabar Bintang Borneo, edisi 25 April 1932 dipaparkan bahwa  wilayah Kelayan cukup luas mulai dari wilayah Kelayan sekarang hingga kawasan Jalan Oelin (Jalan. A. Yani pal 1 sampai pal 13 sekarang). Karena luasnya tanah tersebut Broers, kemudian memberikan kuasa lagi kepada tiga orang mengelola tanah tersebut bernama Baie, Oesin (saudara Baie) dan Said.

Ketiga orang ini memiliki hak memberdayakan (menyewakan lagi) tanah hutan Kelayan kepada penduduk yang bermata pencaharian petani untuk menanam padi. Masyarakat menggelari ketiga perwakilan Tuan Broers dengan istilah Mandor.

BACA JUGA : Belanda Janji Kembalikan Berlian Sultan Banjar yang Dirampas ke Indonesia

Ternyata dari ketiga perwakilan dari Broers ini tidak jujur. Selain membagi tanah Erpacht Tuan Broers/Tanah Kelayan, juga membagikan tanah di luar Tanah Kelayan yang semestinya milik Gouvernement (pemerintah) kepada penduduk. Tanah Gouvernement memang berbatasan dengan Tanah Erpacht Kelayan hingga ke paal 13 seberang menyeberang dari Straat Oeling (Jalan A Yani kilometer 1-13 sekarang).

Dari beberapa sumber menuliskan bahwa ketiga orang tersebut dianggap lancang membagi tanah milik pemerintah. Tujuannya semata mata mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Pembagian tanah erpacht Tuan Broers pun hanya menjadi alat mencari uang dan keuntungan.

Oleh karena itu dari masyarakat berharap pemerintah melalui Bestuur/Pemerintah Hindia Belanda segera mengambil tindakan segera untuk kepentingan umum. Tujuannya masyarakat yang sudah terlanjur mendapat hak untuk berladang dan budidaya padi dan sudah mengeluarkan dana dan tenaga, tidak terganggu. Baik itu yang menyewa tanah Tuan Broers maupun Tanah Governement (pemerintah).

BACA JUGA : 1 Juli 1919 ; Metamorfosa Banjarmasin Menjadi Kotamadya di Era Kolonial Belanda

Masyarakat Banjar sebagai penyewa ke kuasa Tuan Broers mendesak pemerintah meminta keterangan erpachter Tuan B. Broers untuk menunjukkan perbatasan atau batas batas hak tanahnya kepada bestuur dan siapa saja wakil Tuan Broers yang mendapat kuasanya untuk membagi pinjaman tanah erpacht-nya tersebut kepada masyarakat.

Kilang penggergajian kayu tradisional yang dilakoni masyarakat Kelayan di masa kolonial Belanda. (Foto KITLV Leiden)

Mengantisipasi pergolakan dalam masyarakat yang memprotes, dari perwakilan pemerintah kemudian meminta keterangan seseorang bernama Soehoet. Soehoet tercatat tinggal di Sungai Punggu Besar-Oelin (Kelayan) yang bekerja sebagai penanam padi di tanah Tuan B. Broers.

Sebagai informasi, pada Era Hindia Belanda Sekitar tahun 1910-an terdapat pasar di area Jalan Ulin yang belum berasapal mula-mula terbentuk pasar di Desa Sungai Punggu. Lokasinya sekarang di sekitar jembatan jalan A. Yani kilometer 8. Desa ini terletak di sekitar sungai yang membelah Jalan Ulin.

BACA JUGA : Kembangkan Banjarmasin Kota Berbasis Sungai, Tiga Pakar Belanda Dihadirkan

Jalan Ulin ini melalui Desa Sungai Punggu, Sungai Lakum, Handil Jatuh, Handil Manarap dan daerah lainnya. Pasar Sungai Punggu yang kemudian pada tahun 1930-an pindah ke Pal 7 dan bernama Pasar Ahad atau Pasar Kertak Hanyar.

Soehoet memaparkan bahwa telah datang ke rumahnya di Sungai Punggu Besar tiga orang pegawai dari Mandor Baie. Menyampaikan pemberitahuan kepada Soehoet bahwa dia harus keluar dari Tanah Erpacht Tuan Broers dan pohon padinya harus diangkat. Permasalahan perintah keluar atau pengusiran dari tanah Tuan Broers ini disampaikan ketiga pegawai mandor Baie kepada Soehoet.

Karena masalah pengusiran sepihak ini pada tanggal 21 April 1932 Soehoet telah dibawa Tuan Landbouw Consulent menghadap Controleur. Wajar kemudian permasalahan batas tanah Tuan Broers akan mendapat perhatian. Controleur pun membela Soehoet dengan beberapa pertimbangan.

BACA JUGA : Melintas Batas Benteng Tatas, Dibina Inggris hingga Bumi Hangus

Pertimbangan awal bahwa meskipun memang benar Soehoet ikut bekerja dalam tanah Erpacht Tuan Broers, selagi padi milik  Soehoet belum habis dipungut hasilnya (dipanen/dikatam) perlu pertimbangan erpachter Broer. Apalagi kalau tanah itu tidak mendesak untuk dipakai dan Soehoet tidak melanggar perjanjian dengan erpachter Broer.

Pertimbangan lainnya, kalau memang Soehoet diusur dari Tanah Broers tentu akan menyusahkan si petani. Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian bagi masyarakat lain yang ikut bekerja di Tanah Tuan Broers. Padahal pada sisi lain, mereka telah mengeluarkan dana dan dan tenaga membersihkan tanah hutan sebelumnya, sampai menghasilkan atau siap panen.

BACA JUGA : Menghidupkan Kembali Ruh Kota Sungai ala Thomas Karsten

Kebijakan sepihak pegawai Tuan Broers ini mengindikasikan bahwa untung bagi erpachter dan mandor, tetapi buntung bagi yang ikut bekerja. Masyarakat sangat mengharapkan yang berwajib atau berwewenang mengambil tindakan sesuai terhadap Erpatcher Tuan Broers. Ditambah lagi pembagian tanah tanah dengan Tanah Gouvernement sebagai modus yang digunakan Baie untuk mencari keuntungan kepada masyarakat yang memerlukan tanah untuk berusaha.

Dari perwakilan pemerintah ini mengumpulkan keterangan dari masyarakat yang berladang padi di Handil Manarap, Handil Banyu Hirang, Handil Kelua, dan Handil Kandangan sampai ke paal/kilometer 13. Diperkirakan mayoritas atau sekitar 75 persen masyarakat di wilayah tersebut mendapat pembagian tanah dari Mandor Baie dengan pembayaran sejumlah uang. Karena itu, untuk mengantisipasi masalah yang sama dengan kasus Soehoet, perlu penertiban dari pemerintah Hindia Belanda.(jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2022/05/06/kisah-tuan-b-broers-pemilik-tanah-kelayan-banjarmasin-di-era-kolonial-belanda/
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.