Ditakuti Kolonial Belanda, Keberanian Panglima Wangkang Datangi Benteng Tatas (2)

0

OLEH: Iberahim

PADA 8 September 1870, Residen mengirim kapal Cinrana ke Marabahan, disusul pada 9 September Wangkang tiba di Banjarmasin dengan 30 orang pengikutnya.

INI merupakan kunjungan yang kedua untuk menemui Residen. Sementara itu, Residen Tiedtke telah mengambil tindakan berjaga-jaga dengan menempatkan kapal api Admiraal van Kinsbergen bersama 25 orang serdadu di depan rumah Residen.

la telah menerima suatu peringatan dari van Ham untuk tidak mempercayai penyerahan Wangkang karena Wangkang mempunyai rencana untuk menyerang Banjarmasin.

Wangkang diantar oleh Pangeran Syarif Hasyim ditemani menantunya, Kepala distrik Marabahan, Haji Kiai Demang Wangsa Negara. Mereka untuk menemui Residen di dalam rumahnya di Banjarmasin. Hanya tiga atau empat orang pengikutnya yang tidak bersenjata diizinkan mengikutinya.

Pada kesempatan ini, Wangkang menanyakan lagi soal pengampunannya. Tampaknya. Residen tidak dapat memberikan pengampunan itu karena pemerintah di Batavia belum memutuskannya.

Ketika Residen menanyakan Wangkang mengenai berita-berita angin yang dihubungkan dengan dirinya. Lantas, Wangkang menjawab bahwa berita-berita angin itu hanya disebarkan oleh musuh-musuhnya, atau dalam istilah Wangkang sendiri oleh “orang makan darah” yang bermaksud mengkhianatinya.

BACA : Panglima Wangkang Dan Taktik ‘Menyerah’ Dalam Perang Banjar (1)

Petinggi Belanda saat berfoto bersama di pintu gerbang Benteng Tatas, koleksi KILTV Leiden

Residen dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tidak menyebutkan siapa “orang makan darah yang menjadi “musuh-musuh” Wangkang itu. Residen hanya mengulang bahwa Wangkang tidak bersalah. Oleh sebab itu ia pantas mendapat pengampunan. Barangkali Residen telah membujuk Wangkang selama pertemuan itu untuk bersabar dalam menunggu pengampunannya itu dari pemerintah.

Ia telah meminta kepada Wangkang untuk tinggal dalam Benteng Tatas, sementara waktu. Akan tetapi dalam laporannya, ia menunjukkan bahwa ia bermaksud agar Wangkang ditahan dalam Benteng Tatas, seperti halnya Prabu Anom dan Pangeran Muhamad Aminullah ditahan dulu, sebelum mereka dibuang ke Jawa.

Setelah pertemuan itu Tiedtke meminta Pangeran Syarif Hasyim untuk mengantar Wangkang ke Benteng Tatas. Selain Syarif Hasyim dan seorang Jaksa Kepala, Wangkang juga dikawal ke benteng oleh enam orang polisi dan beberapa orang Banjar bersenjata.

Tidak ada seorang pun yang tahu benar apa yang sedang dipikirkan Wangkang ketika itu. Barangkali ia berpikir bahwa ia akan dipenjarakan dan kemudian diasingkan. Hal yang terburuk dapat terjadi ialah bahwa ia mungkin akan digantung seperti ayahnya, Pambakal Kendet di benteng yang sama tahun 1825.

BACA JUGA : Suku Bakumpai, Penyambung Kesultanan Banjar dengan Masyarakat Dayak

Oleh sebab itu, ketika mereka menyeberangi sebuah jembatan yang akan membawa mereka ke benteng, tiba-tiba Wangkang lari dan meloncat ke perahunya yang kebetulan dekat.

Tindakannya yang tiba-tiba itu mengejutkan pengiring-pengiringnya. Sebelum mereka menyadari apa sesungguhnya yang telah terjadi, Wangkang telah dikelilingi oleh para pengikutnya untuk mencegah ia ditahan. Wangkang sendiri telah menghunus kelewangnya. Tampaknya Wangkang dan para pengikutnya telah siap untuk bertempur sampai titik darah terakhir.

Residen Tiedtke, yang segera diberi tahu tentang insiden ini, memerintahkan tentaranya untuk tidak melakukan kekerasan terhadap Wangkang. Ini tentu saja mengecewakan Schultze, komandan militer, yang bermaksud mengambil tindakan keras terhadap pemimpin pemberontak itu.

Meskipun demikian, Tiedtke dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal mencoba menjelaskan mengapa ia tidak mengambil tindakan keras semacam itu. Aksi itu akan membuat panik, tidak hanya penduduk Banjar saja tetapi lebih-lebih orang-orang Eropa yang ada di ibukota itu.

Tiedtke khawatir para pengikut Wangkang akan membalas dendam karena pada waktu itu mereka mulai mengalir datang dalam perahu-perahu dari Marabahan sehingga menambah jumlah mereka menjadi 70 orang. Pada kenyataannya kehadiran Wangkang di ibukota telah menimbulkan kepanikan di antara penduduk asli Kota Banjarmasin dan juga orang-orang Eropa.

BACA JUGA : 24 Ramadhan 1275 H dan Meletusnya Perang Banjar

Takut kalau-kalau menjadi korban, orang-orang meninggalkan rumah-rumah mereka dan orang-orang Eropa meninggalkan pemukiman mereka dan menean perlindungan dekat kapal api, rumah Residen, dan benteng.

Persediaan makanan menjadi berkurang. Tidak seorang pun yang benar-benar berani pergi ke pasar, apalagi pada kenyataannya pasar itu memang telah ditinggalkan. Ini semua merupakan bukti bahwa Wangkang memang benar-benar ditakuti.

Tiedtke juga menambahkan bahwa jika ia menggunakan kekerasan. Hal itu berarti akan mengundang pasukan-pasukan dari Jawa untuk menindas Wangkang dan itu akan mengobarkan pemberontakan tidak saja di Bakumpai dan Tanah Dusun, tetapi juga di Amuntai dan  tempat-tempat lain.

Rumah Asisten Kiai Marabahan di Marabahan

Tiedtke dengan bantuan Syarif Hasyim berhasil menenangkan Wangkang dan pengikut-pengikutnya. Pada 13 September. Wangkang diizinkan untuk kembali ke Marabahan, sambil tetap menunggu pengampunannya. Pada pihaknya, Schultze memerintahkan semua bawahannya untuk memperkuat Benteng Marabahan sebagai tindakan berjaga-jaga terhadap kesulitan-kesulitan yang dapat timbul.

BACA JUGA : Benteng Oranje Nassau, Simbol Supremasi Belanda Pemicu Perang Banjar

Kini benteng itu diperkuat oleh 80 orang serdadu di bawah pimpinan tiga orang opsir. Kelak, insiden 9 September itu dianggap oleh pengganti Tiedtke, Tromp, bahwa hal itu telah menyebabkan Belanda kehilangan prestisenya.

Residen Tromp, Schutze, dan van Ham mendiskusikan situasi, terutama mengenai hubungan antara pengampunan Wangkang dan/atau pemberontakannya yang sewaktu-waktu akan pecah.

Menurut keputusan tanggal 11 November, Wangkang telah diberi pengampunan selama ia tidak melakukan suatu perlawanan terbuka terhadap pemerintah. Bahkan, ia harus datang sendiri ke Banjarmasin untuk mendapatkan pengampunannya yang resmi itu. Akan tetapi, Tromp mengajukan persyaratan Iain, yaitu Wangkang harus datang sendiri ke Banjarmasin dengan perahu tumbling biasa dengan pengikut tidak lebih dari 30 orang.

Jumlah ini dianggap tidak begitu membahayakan. Lebih dari itu. Residen ingin menunjukkan kepada Wangkang bahwa ia “bukanlah orang yang begitu penting seperti yang diduganya.” Tromp ingin menghina Wangkang agar “mengembalikan kehormatan kita (Belanda) yang hilang” karena insiden tanggal 9 September itu.

BACA JUGA : Intan Sultan Adam, Rampasan Perang Banjar yang Kini Dikoleksi Museum Belanda

Pada akhirnya. Tromp, Schultze, dan van Ham. Cenderung menggunakan kekerasan jika Wangkang tidak mau datang sendiri ke Banjarmasin. Mereka merencanakan suatu serangan gabungan dengan Suta Ono untuk menangkap Wangkang. Suta Ono, yang terbukti menjadi seorang sekutu terpercaya sejak Perang Banjarmasin, akan menyerang Marabahan dari darat, sementara angkatan laut akan menyerang dari arah sungai.

Meskipun demikian, sebelum mereka dapat memutuskan kapan kampanye itu dilaksanakan, Wangkang dengan prajurit prajuritnya sedang dalam pelayaran ke Banjarmasin.

Setelah tengah hari tanggal 24 November, Lie Boen Kiem, letnan Cina di Banjarmasin, datang menemui Residen dan Schultze. Ia melaporkan bahwa awak perahu dagangnya yang baru saja pulang dari Marabahan telah melaporkan kepadanya bahwa Wangkang dan “gerombolannya” telah meninggalkan Marabahan menuju Banjarmasin.

Tromp dan Schultze telah terbiasa dengan segala macam berita angin di Banjarmasin. Mereka pikir bahwa ini adalah berita angin yang sama dan oleh karena itu mereka mengabaikan berita itu. Akan tetapi, pada waktu fajar hari Jumat tanggal 25 November, Wangkang dan orang-orangnya benar-benar tiba ke Banjarmasin. Ia memasuki ibu kota via Muara Cerucuk (terusan Kuin) diikuti oleh kira-kira 500 orang dalam 60 jukung.

BACA JUGA : Tenggelamnya Onrut, Kapal Modern dari Feyenoord dalam Perang Banjar (1)

Tiga orang anggota keluarga Surapati, yaitu Temenggung Ajidan, Temenggung Komel, dan Burakhman ikut bersamanya. Wangkang bersama rombongannya mula-mula datang menemui Pangeran Temenggung Tanu Karsa, Ronggo (kepala) daerah Kuin.

Di rumahnya di Sungai Miai. Wangkang berkata kepada Ronggo Tanu Karsa: “Saya datang ke mari dengan maksud baik. Saya datang untuk meminta pengampunan saya yang telah sava tunggu selama tujuh bulan tetapi saya belum juga menerimanya.”

Ronggo kemudian pergi kepada Residen memberitahukan bahwa Wangkang dengan 500 orang pengikutnya berada di Sungai Miai. Lagi-lagi kedatangan Wangkang tersebut untuk meminta pengampunannya.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Pemerhati Sejarah Banjar

Ketua Lembaga Adat Kerajaan Pulau Laut Korwil Banjarmasin

Sekretaris Syarikat Adat, Sejarah dan Budaya (SARABA) Hulu Sungai

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.