Kejahatan Anak dan Pendekatan Keadilan Restorative, Mereka adalah Generasi Masa Depan Kita!

0

Oleh : Syarifuddin Nisfuady

LATAR belakang anak melakukan kejahatan, tentu tidak sama dengan latar belakang ketika orang dewasa melakukan tindak pidana kriminal.

MENCARI latar belakang atau sebab anak melakukan kejahatan sebagai lingkup dari kriminologi akan sangat membantu dalam memberi masukan tentang apa yang sebaiknya diberikan terhadap anak yang telah melakukan kejahatan.

Artinya, berbicara tentang kejahatan anak tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong dan motivasi sehingga seorang anak melakukan kejahatan, dan pada akhirnya dapat menentukan kebutuhan apa yang diperlukan seorang anak dalam memberi reaksi atas kenakalannya.

Beberapa teori yang menjelaskan sebab kejahatan anak di antaranya adalah Teori Motivasi. Motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu.

Motivasi sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau sekelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.

BACA : Wujudkan Peradilan Yang Bersih, Komisi Yudisial RI Penghubung Wilayah Kalimantan Dibentuk

Sedangkan, bentuk motivasi itu ada 2 macam , Motivasi Intrinsik (adalah dorongan atau keinginan pada seseorang yang tidak perlu disertai dengan perangsang dari luar) dan Motivasi Ekstrinsik (adalah dorongan yang datang dari luar).

Sekolah adalah tempat pendidikan anak kedua setelah lingkungan keluarga/rumah tangga si anak. Selama mereka menempuh pendidikan di sekolah, terjadi interaksi antara anak dengan sesamanya, juga interaksi antara anak dengan guru. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat samping yang negatif terhadap perkembangan mental si anak sehingga anak menjadi Delinkuen (suatu bentuk perilaku menyimpang yang merupakan hasil dari pergolakan mental serta emosi yang sangat labil dan defektif).

BACA JUGA : Insiden Penusukan Siswa SMAN 7 Banjarmasin Diatensi, DPRD Kalsel Akui Coreng Dunia Pendidikan

Hal ini dikarenakan, anak-anak yang masuk sekolah tidak semua berwatak baik, misalnya pemakaian obat-obatan yang dilarang, berkelahi dan sebagainya. Di sisi lain, sisi lain anak-anak yang masuk sekolah ada yang yang berasal dari keluarga yang tidak begitu memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang kerap kali berpengaruh pada temannya yang lain.

Keadaan semacam ini menunjukkan bahwa sekolah merupakan tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber terjadinya konflik. Konflik psikologis yang ada pada prinsipnya memudahkan anak menjadi Delinkuen.

BACA JUGA : Bantah Anaknya Pembully, Orangtua Korban Penusukan Resmi Lapor ke Polresta Banjarmasin

Penanggulangan kejahatan anak tidak bisa dilakukan dengan hanya mengandalkan pada Kebijakan Penal atau dengan Penerapan Hukum Pidana saja melainkan juga harus didukung oleh Kebijakan Non Penal yakni upaya pencegahan terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan segenap Komponen Sistem Peradilan Pidana serta melibatkan peran aktif lingkungan anak mulai dari keluarga, sekolah serta masyarakat.

Kebijakan Penal dianggap cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, sehingga masih banyak yang mempersalahkan kebijakan penal ini. Apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah, atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana? Apakah pelaku pidana tidak berhak untuk dilakukan tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki ketidaknormalan organik dan mentalnya.

BACA JUGA: Baru Sepekan Masuk Sekolah, Siswa SMAN 7 Banjarmasin Bersimbah Darah Ditusuk Rekan Sendiri

Dan, semua ahli hukum pidana tentunya sudah bersepakat penggunaan hukum pidana atau Penal dianggap sebagai suatu yang wajar dan normal. Begitu pula, dengan hal Pendekatan Restorative Justice . Sedangkan dalam kebijakan Non Penal dalam menanggulangi kejahatan anak di Indonesia dilakukan melalui upaya Diversi dengan pendekatan Restorative Justice. Hal ini merujuk kepada Pasal 1 angka 7 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pengertian Diversi adalah Pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sementara, Restorative Justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang.

BACA JUGA : Sering Dibully, Siswa SMAN 7 Banjarmasin Tusuk Teman Sendiri Di Kelas, Begini Kronologinya!

Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui Diskresi (kebijakan ) dan Diversi. Dalam ajaran Islam perdamaian sering diungkapkan dengan istilah Islah atau Sulh. Sulh sendiri merupakan akad yang ditentukan untuk menyelesaikan persengketaan, sehingga agama Islam sangat menganjurkan adanya Mediasi Penal dalam menyelesaikan sengketa.

Dalam ajarannya, agama Islam adalah agama cinta damai dan sangat menganjurkan perdamaian. Mencari latar belakang atau sebab anak melakukan kejahatan sebagai lingkup dari Kriminologi akan sangat membantu dalam memberi masukan tentang apa yang sebaiknya diberikan terhadap anak yang telah melakukan kejahatan.

BACA JUGA : Kurun Waktu 6 Bulan Ada 4 Kasus Pembuangan Bayi di Banjarbaru, Walikota : Ini Perbuatan Pidana

Apakah Kebijakan integral penanggulangan kejahatan anak harus dilakukan melalui pemberian sanksi pidana? Seperti diatur dalam dalam UU Perlindungan Anak serta UU Sistem Peradilan Pidana Anak, sementara pendekatan kebijakan non penal dilakukan melalui upaya Diversi dan Restorative Justice sangat layak dilaksanakan oleh beberapa pihak?

Jawabnya adalah kemauan yang tinggi dalam memelihara generasi di masa depan, anak adalah harapan masa depan bangsa, pentingnya berlaku sabar saat merawat dan mengurus anak karena merawat dan mengurus anak bukanlah perkara mudah, semarah apapun kita pada anak kita tetap harus menahan emosi dan menahan untuk tidak meluapkan kemarahan kita padanya. Anak-anak tidak terbebas dari kemungkinan melakukan perbuatan pidana (kejahatan) sama halnya seperti orang dewasa.

BACA JUGA : Lapas Anak Martapura, Kedatangan Perpustakaan Keliling

Terhadap anak terlanjur melakukan kejahatan dibutuhkan upaya penanggulan yang efektif mengingat masa depannya anak yang masih panjang. Anak merupakan pewaris bangsa dan pengurus dimasa yang akan datang dan memiliki harapan hidup yang masih panjang, serta cita-cita yang tinggi. Anak pun berbeda dengan orang dewasa dalam lingkup kematangannya secara berpikir, sehingga, apabila terjadinya sebuah tindak kriminal maka diharapkan anak-anak mendapatkan perlakuan khusus ketika berhadapan dengan hukum.

BACA JUGA : Penghuni Lapas Anak Kebanyakan Akibat Aksi Jago-Jagoan

Hal demikian diperlukannya keadilan restoratif di mana penyelesaian perkara tindak pidana dengan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, rasa memaafkan, tanggung jawab serta membuat perubahan yang semua itu merupakan pedoman bagi prosesrestorasi dalam perspektif keadilan restoratif. Mari kita jaga anak-anak berbuat kejahatan! (jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Forum Kota (Forkot) Banjarmasin

Alumni Fakultas Hukum Unissula Semarang

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.