Merantau ke Tanah Banjar, Kisah Tukang Gigi dari Hubei Tiongkok

0

Oleh: Noorhalis Majid

TAHUN 1920, engkong saya yang datang dari Provinsi Hubei di Tiongkok. Dia kemudian menetap beberapa tahun di Malang, membawa 7 dari 13 anaknya merantau ke Pulau Kalimantan.

SALAH satu anaknya adalah papah saya, Tah Then Kahi, kata Oyong yang nama aslinya Tan Phen Yong, seorang warga keturunan Tionghoa yang sejak lahir sudah menggeluti usaha tukang gigi sejak masih remaja. Oyong sendiri lahir di Kelua, Kabupaten Tabalong pada tahun 1955.

Waktu itu umur papah saya 18 tahun. Papah lahir tahun 1902. Ketujuh anak enkong saya tersebut diminta tinggal di beberapa tempat yang terpisah, antara lain satu orang di Samarinda, satu orang di Murung Pudak, dua orang di Kelua, dan tiga orang di Banjarmasin. Papah saya ditinggal di Kelua dan bersama saudaranya membuka usaha tukang gigi. Engkong saya hanya punya keahlian tukang gigi, tidak ada yang lain.

BACA : Peran dan Kiprah Tionghoa Banjar Dalam Lintasan Sejarah

Sehingga 7 dari 13 anaknya, semua berprofesi sebagai tukang gigi. Setelah memastikan anaknya memiliki tempat tinggal dan dapat membuka usaha disejumlah lokasi tersebut, engkong kembali ke Malang dan tinggal bersama anak-anaknya yang lain, melanjutkan usaha tukang gigi di wilayah Jawa.

Kondisi Pasar Sudimampir dan Ujung Murung di masa kolonial Belanda dan di masa kemerdekaan. (Foto Museum Lambung Mangkurat)

Menurut cerita papah, yang diceritakan oleh engkong saya, orang Hubei memang ahli membuat gigi palsu. Hubei merupakan salah satu provinsi di Tiongkok, tepatnya di Tiongkok Tengah. Daerahnya kelilingi daratan yang sangat luas. Nama Hubei berarti Utara Danau, mengacu pada lokasinya yang terletak di utara Danau Dongting. Ibu kota provinsi ini adalah Wuhan, dengan luas wilayah 185.900 km2, daerah ini merupakan pusat perkembangan ekonomi di wilayah Tiongkok Tengah.

BACA JUGA : Kisah Tabib Tha Sin; Pembauran Tionghoa dan Islam di Tanah Banjar

Namun kondisi pada waktu itu tentu sangat jauh berbeda. Berbagai gejolak politik dan pemerintah, menyebabkan ekonomi sangat sulit sekali, bahkan konflik yang sangat tinggi, tidak menjamin keamanan bagi warganya, memaksa orang-orang Hubei merantau ke berbagai penjuru dunia.

Dengan keahlian yang dimiliki secara turun temurun, mereka membuka usaha tukang gigi diberbagai tempat yang didatangi. Maka dapat dipastikan, semua tukang gigi yang datang pada akhir abad 19 dan awal abad 20, berasal dari Provinsi Hubei.

Orang-orang dari Hubei dikenal sangat berani. Bukan berani berkelahi, tapi berani pergi merantua ke berbagai tempat yang jauh dan bahkan terpencil. Hampir semua tempat dan pelosok didatangi, walau di tempat itu tidak tahu harus hidup bagaimana.

BACA JUGA : Jung dan Lada, Tionghoa dalam Catatan Sejarah Banjar

Begitu juga ketika papah saya diajak engkong datang ke Kalua, dia belum bisa berbahasa Indonesia, apalagi bahasa Kalua, kata Oyong mengingat dan mengenang cerita papahnya dulu. Cara komunikasi waktu itu lebih banyak bahasa isyarat. Untuk menuliskan tarif sekali layanan misalnya, cukup ditulis di atas kertas, tidak perlu berkomunikasi. Seiring waktu, lalu belajar bahasa dan akhirnya menyatu dengan penduduk lokal.

Selain berani, orang Hubei sangat rajin, ulet dan kuat. Mau hidup sangat sederhana dan tekun dengan usaha yang dijalani. Walau tanpa modal dan peralatan sederhana, dengan hanya satu bangku kecil dilengkapi peralatan sederhana, pelayanan dapat diberikan pada tepi jalan di pasar-pasar ujung kampung terpencil.

Apalagi orang Banjar sangat baik, ramah dan mudah berkawan, tidak ada hambatan bagi orang Hubei untuk menjadi bagian warga Banjar, akhirnya mampu membuka usaha tukang gigi di mana saja datang. Tahun 1920 di Kelua yang masih sangat sepi, sudah ada tukang gigi, salah satunya dibuka oleh papah saya, kata Oyong melanjutkan ceritanya.

BACA JUGA :Mengenal Liem Ho Ho, Tokoh Pergerakan Muhammadiyah Banjarmasin Lewat Buku Perjuangannya

Begitu juga di Barabai, ada beberapa tukang gigi dari Hubei yang membuka usaha di pasar. Sedangkan di Banjarmasin, jauh sebelum tahun 1920, mungkin sudah sejak tahun 19.00 awal, tepatnya di Ujung Murung, sudah ada beberapa warga Hubei atau biasa juga disebut dengan Hopak membuka usaha tukang gigi. Waktu itu mereka berkomunikasi masih menggunakan bahasa Hopak yang mirip bahasa Mandarin. 

Karena sudah ada yang menjadi tukang gigi di Pasar Ujung Murung, saudara-saudara papah lebih banyak melakukan usaha dengan mendatangi pasar-pasar di sekitar Banjarmasin yang buka seminggu sekali. Dengan hanya memasang kain spanduk putih bertuliskan tukang gigi, praktik usaha tersebut dibuka dengan menyewa ruangan atau teras rumah penduduk di sekitar lokasi pasar.

BACA JUGA : Kiprah Cina Banjar, Liem Koen Hian dalam Pusaran Politik Indonesia yang Terlupakan

Lokasi-lokasi pasar tersebut di sekitar Kurau, Gambut, Kertak Hanyar, Anjir, Kapuas, hingga Palang Pisau. Waktu itu bukan hanya membuat gigi palsu, tapi juga menambal dan mencabut gigi, ketika itu belum ada larangan dilakukan oleh tukang gigi. Setelah ada larangan dengan terbitnya peraturan terkait praktk tukang gigi, maka tukang gigi hanya boleh membuat gigi palsu, tidak boleh lagi mencabut atau menambal.

Kursi peralatan tukang gigi Oyong (Foto Dokumentansi Pribadi)

Seperti ada kesepakatan agar orang Hubei tidak membuka usaha tukang gigi pada tempat yang sama. Mereka menyebar ke berbagai tempat yang belum ada tukang giginya. Mungkin agar tidak terjadi persaingan, atau masih luas tempat untuk membuka usaha di tempat lain – tidak perlu bersaing pada tempat yang sama.

BACA JUGA : Hanya 3 Tahun Duduki Banjarmasin, Jepang Hapus Warisan Belanda di Ibukota Borneo Selatan

Walau pun demikian, karena Banjarmasin merupakan kota besar dan kota pelabuhan yang banyak dikunjungi orang – menjadi pusat perdagangan dan jasa, tidak mungkin hanya ada satu tukang gigi, karenanya di Ujung Murung ada sederet tukang gigi yang semuanya berasal Hubei dan masih satu keluarga atau garis keturunan.

Sebagaimana tradisi orang Hubei, Oyong kemudian meneruskan usaha papahnya. Karena di Kelua sangat terbatas sekolah, terpaksa Oyong bersekolah di Mahua Banjarmasin sampai tahun 1965.

Kembali ke Kelua, tahun 1974 dan melanjutkan usaha tukang gigi hingga tahun 1987. Selain memiliki usaha di Kelua, pada tahun yang sama ia juga membuka usaha tukang gigi di  Pasar Ujung Murung, kemudian pada tahun 1980, lokasinya dipindah ke Muara Kelayan, tepatnya sebelum sebelah kanan sebelum naik jembatan Kelayan. Usaha tukang gigi di Muara Kelayan bertahan hingga sekarang.

BACA JUGA : Bersaing dengan Klinik Dokter Gigi, Kisah Tukang Gigi Tjang Eng Hwat Jaga Kepercayaan Pelanggan

Karena masih satu garis keturunan, atau minimal satu suku dan wilayah yang sama. Orang Hubei sejak dahulu sudah memiliki perkumpulan marga, bernama Hubei Khong Hui. Perkumpulan ini dahulu berlokasi di Jalan Jati Banjarmasin. Bukan hanya bagi warga yang ada di Banjarmasin, namun juga yang berada di kabupaten/kota lainnya.

“Di Amuntai misalnya, ada tukang gigi bernama Cupak, beliau waktu SD satu kelas dengan Sjachriel Darham (Gubernur Kalsel periode 2000-2005) itu juga dari Hubei dan menjadi anggota perkumpulan Hubei Khong Hui,” kata Oyong bercerita.

Melalui perkumpulan tersebut, warga Hubei saling membangun kerjasama, terutama dalam menjalankan usaha tukang gigi. Dengan adanya perkumpulan ini, sangat banyak terjadi perkawinan antara orang Hubei dengan orang Hubei lainnya.

BACA JUGA : Rumah Berornamen Banjar Sarat Nilai Luhur, Sayang Kini Kian Tersingkir

Papah Oyong dan Oyong sendiri mendapat istri keturunan warga Hubei. Dengan kawin sesama orang Hubei, usaha tukang gigi dapat dilanjutkan oleh anak-anaknya. Oyong memiliki tiga anak, semuanya tukang gigi dan kemudian melajutkan pendidikan menjadi dokter gigi, hingga memberikan pelayanan secara lebih modern.  

Rata-rata anak-anak tukang gigi dari Hubei belajar dengan cara otodidak, tidak melalui bangku sekolahan. Mulanya melihat, memperhatikan orang tuanya yang sedang memberikan pelayanan perbaikan gigi. Setelah itu menjadi asisten dari orang tua atau kakaknya.

Setelah mengetahui dasar-dasarnya, baru kemudian memberanikan diri memberikan pelayanan. Kalau mau melanjutkan pendidikan, biasanya mengikuti pelatihan yang diberikan pemerintah, termasuk bila ada yang ingin melajutkan kuliah menjadi dokter gigi.

BACA JUGA : Pasar Soedimampir dan Amarah si Jago Merah

Bahan-bahan membuat gigi didatangkan dari Jepang, Taiwan dan China. Terutama kapur gips dan alginat. Dahulu bahan untuk membuat gigi sangat kuat, sekali membuat, cukup untuk seumur hidup. Apalagi ketika “basilap” melapis dan mengganti gigi berbahan tertentu, menjadi mode bagi orang-orang kaya dan ternama.

Semua orang pada waktu itu, sekitar tahun 1967 sampai 1984 sangat suka “manyilap” gigi, baik dari emas, atau pun timah berbahan amagan atau stenlis. Kalau menggunakan emas, memerlukan 5 gram emas. Semakin banyak memiliki gigi silap terbuat dari emas, semakin tinggi status sosial pada waktu itu. Keberadaan orang-orang Hubei di Tanah Banjar dengan usaha tukang giginya, tidak dapat dilupakan apalagi diabaikan. Boleh dibilang sangat membantu banyak warga Banjar dalam soal perbaikan gigi.

BACA JUGA : Kisah Tuan B. Broers, Pemilik Tanah Kelayan Banjarmasin di Era Kolonial Belanda

Oyong menyebutkan sederet tokoh Banjar yang menjadi pelanggannya dari dulu hingga sekarang. Apalagi kondisi air dan makanan yang dikonsumsi, serta rendahnya budaya dan pengetahuan tentang perawatan gigi, membuat mudah sekali mengalami kerusakan gigi.

Akhirnya, terpaksa mengenakan gigi palsu, bahkan ada yang memilih dengan cara menanam, agar lebih kokoh. Kerusakan gigi menjadi persoalan umum bagi warga Banjar sejak dahulu, untung ada tukang gigi dari Hubei yang sangat ahli dan memberikan pelayanan dengan harga yang terjangkau, sehingga semua orang dapat mengenakan gigi palsu, dan setelahnya nampak muda kembali. Cerita ini diambil dari draf naskah Buku Tionghoa Banjar.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Bahasa Banjar

Pembina Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2022/09/12/merantau-ke-tanah-banjar-kisah-tukang-gigi-dari-hubei-tiongkok/,tukang gigi cina tanah grogot,kisah haru bahasa banjar,ma hua Banjarmasin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.