Kiprah Cina Banjar, Liem Koen Hian dalam Pusaran Politik Indonesia yang Terlupakan

0

Oleh : Iberahim

“SELURUH tanah Malaya saja ketahui hendak bersatu dengan daerah jang delapan. Dimanakah suara tuan Hadji Agus Salim, anak Riau Semenandjung Malaka; tuan Dahler jang telah minum air Minangkabau tanah Bangkinang; tuan Lim Koen Hian, anak Bandjar (Banjar) pengembaraan Sumatera, keluarkanlah pendapat tuan-tuan!

TUAN Harahap, pengarang buku dari Pantai Kepantai” manakah sumbangan hati tuan. Alim-ulama, lupakah tuan-tuan akan persatuan daerah Islam, dan lupakah tuan-tuan, bahwa pemuda-pemuda Malaya itu bersatu dengan pemuda tuan di Mekkah dan Mesir? Rombongan Indonesia ke Nippon! Nama-nama tuan-tuan sangat dihargakan oleh orang Malaya, tanda persatuan. Dan tuan penganjur Drs Muhammad Hatta dan Ir Soekarno, nama tuan-tuan sangat harum sampai ke Borneo Utara, Indonesia Timur dan seluruh Malaya, harum semerbak karena percaya akan politik kebangsaan tuan, yang berdasarkan persatuan daerah dan bangsa, yang luas dan ichlas. Jangan putuskan harapan Malaya, dan penuhilah harapan angkatan muda Indonesia!”.

Demikian ucapan ini tercantum dalam Himpunan Risalah Sidang-Sidang Dari: Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 Mei 1945 — 16 Juli 1945.  Dan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18-19 Agustus 1945 yang berhubungan dengan Penyusunan UUD 1945. Kutipan ini diambil dari buah tulisan Prof Mr Haji Muhammad Yamin, jilid pertama tahun 1959.

BACA : Kenang Pahlawan, PSMTI Kalsel Ziarahi Makam Veteran Tionghoa Pejuang Kemerdekaan RI

Dalam narasi di atas tersebut nama Tuan Lim Koen Hian, anak Bandjar (Banjar) pengembaraan Sumatera.
Permintaan Mr. Muhammad Yamin tegas agar Lim Koen Hian yang disebut mengeluarkan pendapat sehubungan dengan kabar Tanah Malaya hendak bergabung dengan daerah yang delapan (Sumatera, Jawa, Borneo (Kalimantan(, Malaja, Selebes (Sulawasei), Sunda-Kecil, Maluku dan Papua).

Koran Soeara Publiek, Senin 14 Maret 1927. (Foto Dokumentasi Pribadi)

Menurut buku berjudul Tokoh -Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia Bagian I terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 1993 bahwa Liem Koen Hian dilahirkan di Banjarmasin pada 1896. Ayahnya seorang pedagang kecil yang kemudian menjadi pegawai Hindia Belanda. Dengan latar pendidikan dasar ELS dan mencoba kuliah di RHS di Jakarta, Liem banyak berkecimpung di bidang kewartawanan dan persuratkabaran.

BACA JUGA : Kisah Tabib Tha Sin; Pembauran Tionghoa dan Islam di Tanah Banjar

Ia memulai pekerjaannya sebagai staf majalah Penimbangan yang terbit di Banjarmasin masa itu. Pada tahun 1915 -1916, ia memimpin surat kabar Tjhoen Tjhioe. Tahun berikutnya ia memimpin sendiri mingguan miliknya bernama Sao Lim Poo. Mingguan itu tidak berumur lama, karena itu Liem kemudian menjadi editor kepala Sinar Soematra yang terbit di Padang dalam tahun 1918-1921. Ketika Kwee Hing Tjiat, editor kepala Pewarta Soerabaya, pergi ke Eropa (1921), Liem ditunjuk sebagai penggantinya sampai tahun 1925 .

Tambahan informasi oleh Leo Suryadinata dalam The search for national identity of an Indonesian Chinese : a political biography of Liem Koen Hian disebutkan bahwa Liem Koen Hian adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Liem Ke An, adalah seorang pengusaha. Seperti biasa di antara beberapa keluarga peranakan kaya, Liem dikirim ke sekolah Belanda di kota kelahirannya untuk pendidikan dasar tetapi tidak lulus.

BACA JUGA : Jung dan Lada, Tionghoa dalam Catatan Sejarah Banjar

Setelah lulus sekolah, ia sempat bekerja di Shell Oil Company di Balikpapan, tetapi pekerjaan administrasi tidak menarik baginya. Ia meninggalkan Balikpapan dan kembali ke Banjarmasin di mana ia mulai mengembangkan minat jurnalisme, bekerja untuk Penimbangan, sebuah surat kabar peranakan, sebelum ia ternama dalam jurnalisme di Jawa.

Kembali ke buku Tokoh -Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia Bagian I terbitan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI Tahun 1993, dinamika pergerakan nasional Indonesia tahun 1920-an nampaknya berpengaruh pada diri Liem.

Pada tahun-tahun itu, Liem mulai melepaskan nasionalis Cinanya dan memilih bergabung ke dalam pergerakan nasional Indonesia. Ide-ide Liem tentang nasionalisme Indonesia bagi peranakan Cina terus berkembang sejalan dengan jabatan-jabatan editor yang dipegangnya pada surat kabar Soeara Poebliek/ Swara Publiek (Surabaya, 1925-1929); Sin Jit Po / Sin Tit Po (Surabaya, 1929 -1939) dan Kong Hoa Po (Jakarta, 1937 – 1938).

BACA JUGA : Peran dan Kiprah Tionghoa Banjar Dalam Lintasan Sejarah

Dalam buku 1907-2007 Seabad Pers Kebangsaan disebutkan bahwa Swara Publiek adalah harian yang dikelola peranakan. Fungsi koran ini sangat penting , sebab berada dalam satu gerak menabalkan semangat nasionalitas dengan jalan terus memberitakan makna -makna penting nasionalisme Cina.

Ulasannya pada 1926 atas kisah hidup Sun Yat Sen serta guratan idenya ihwal tiga asas kerakyatan yang meliputi Nasionalisme (Kebangsaan), Demokrasi, dan Sosialisme (Kesejahteraan Rakyat). Kemudian diketahui menjadi salah satu penyumbang besar dalam konfigurasi susunan sila-sila Pancasila yang pertama kali secara terbuka dan formal dikemukakan Soekarno pada 1 Juni 1945.

Pidato politik Liem Koen Hian dimuat dalam di Sin Jit Po edisi 2 Desember 1929 dengan judul “Darah Tionghoa ”. Di surat kabar Sin Jit Po Liem menjabat sebagai Hoofdredactuer. Yang menjadi penting dalam pidato Liem adalah pemikirannya yang menyeru tentang nationaliten peranakan.

BACA JUGA : Hikayat Dua Klenteng Besar, Identitas Etnis Tionghoa Banjar

Di tahun itu pula, Liem Koen Hian menjadi directeur-hoofdredacteur surat kabar Swara Publiek yang memberi ruang sendiri untuk nasionalisme. Swara Publiek adalah harian yang diterbitkan N.V. Swara Publiek. Terbit dalam dua lembar di bawah kepemimpinan Liem Koen Hian, Swara Publiek banyak menyuguhkan berita yang mendukung nasionalisme. Nasionalisme yang dibangun di altar nasionalisme asing yang di kemudian hari disadari punya ekses besar terhadap kesadaran nasionalisme kebangsaan Indonesia.

Dalam buku Tokoh -Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia Bagian I terbitan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI Tahun 1993, konsep Liem tentang Hindia Belanda adalah tanah air dari kaum peranakan Tionghoa.

Oleh karena itu masyarakat Tionghoa mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan penduduk pribumi. Ada beberapa faktor yang mendorongnya berpandangan seperti itu. Pertama, munculnya partai-partai nasionalis Indonesia dalam tahun 1920-an mendorong Liem sadar bahwa peranakan Tionghoa harus memilih antara berdampingan dengan Belanda atau dengan Indonesia.

BACA JUGA : Leluhur dari Yunan, Etnis Tionghoa Membaur di Pacinan

Kedua, perkembangan yang menunjukkan bahwa semua orang yang memandang Indonesia sebagai tanah airnya dan secara aktif berperanserta untuk mewujudkannya merupakan kesempatan yang baik bagi peranakan Cina untuk bergabung dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan Indonesia itu.

Suasana Kampung Pecinan di Banjarmasin pada tahun 1910-1911. (Foto Dokumentasi Pribadi)

Pada September 1932, bersama dengan kawan-kawannya serta dukungan kaum nasionalisme Indonesia di Surabaya, Liem mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Melalui wadah ini mereka percaya bahwa peranakan Tionghoa tidak hanya dapat menjadi bangsa Indonesia dalam arti politik, melainkan juga harus berjuang bersama-sama dengan kaum nasionalis dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Karenanya, PTI lebih cenderung pada perjuangan untuk menentang penjajahan Belanda, karena merasa senasib dengan penduduk pribumi.

BACA JUGA : Hanya 3 Tahun Duduki Banjarmasin, Jepang Hapus Warisan Belanda di Ibukota Borneo Selatan

Dalam De Chineezen In Nederlandsch 0ost-Indiê Door karya J. Moerman J  terbitan tahun 1933, disebutkan dalam perjalanan tahun 1932 didirikan sebuah perkumpulan yang menyandang nama Partai Tionghoa Indonesia. Partai ini telah memiliki tiga divisi/perwakilan, yaitu : Surabaya, Malang dan Semarang. Pemrakarsanya adalah Tuan: Liem Koen-hian, Tn. Ong Liang-kiok dan Tn. Ko Kwat-ting.

Tujuan dari perkumpulan ini adalah untuk menjaga kepentingan orang Tionghoa India (Peranakan) dalam arti yang seluas-luasnya. Tujuannya adalah untuk bergabung dengan partai-partai Nasionalis Sejati.

Kemudian dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers edisi Sabtu, 1 Oktober 1932 No. 39 disebutkan Sin Tit Po dan Soeara Umoum (26 September) merekam laporan pertemuan pendirian Partai Tionghoa Indonesia Bpk. Liem Koen Hian (pemimpin redaksi majalah lama — Rapp.) dikenal dari gerakan boikot. Soeara Ummum melihatnya sebagai ekspresi semangat yang telah lama bertakhta di kalangan orang Tionghoa yang lahir di sini.

BACA JUGA : Sungai Pembunuhan; Kisah Kekejaman Serdadu Jepang saat Duduki Banjarmasin

Aksi (14 September) hanya melihat semangat Pak. Liem dkk., yang di Indonesia, ingin bergabung menjadi satu kelompok, dan lebih merasakan penggabungan terpisah antara orang Indonesia dan Cina. Namun, bagi orang Indo-Cina, sudah tiba waktunya untuk mengorganisir diri, antara lain untuk melawan Chung Hwa Hui.

Di tahun 1932 ini juga, Liem Koen Hian bertemu dengan Abdul Rahman Baswedan atau A.R. Baswedan (kakeknya Anies Baswedan), seorang tokoh Arab pada zaman pergerakan. Dalam buku Abdul Rahman Baswedan, Karya dan Pengabdiannya karangan Suratmindikisahkan awal pertemuan itu. Ketika A.R. Baswedan memenuhi permintaan mertuanya yang mulai membuka usaha rokok kretek, ia pergi ke Surabaya untuk pemasarannya.

Suatu pekerjaan yang sama sekali tidak menarik hatinya yang tetap bercita-ita untuk pergerakan. Namun secara kebetulan ia berjumpa dengan Liem Koen Hian, pemimpim redaksi harian Tionghoa Melayu. Saat itu, Liem menawarkan kepada AR. Baswedan bekerjasama dalam staf redaksi surat kabarnya.

BACA JUGA : Gedung Tjung Hua Tjung Hui Lenyap, Rencana Gedung Parkir 6 Lantai di Atas Kertas

Tak ayal, A.R. Baswedan menerima tawaan tersebut. Esoknya, ia mulai bekerja dalam haian Sin Tit Po yang pro pergerakan nasional. Kemudian persahabatan dua anak manusia dari keturunan Arab dan Cina banyak dibahas dalam tulisan-tulisan lainnya di kancah nasional. Mereka saling menginspirasi dan saling membela satu sama lainnya. Pertemanan dengan Liem Koen Hian, inilah kmenginspirasi A.R. Baswedan yang berikutnya mendirikan Partai Arab Indonesia pada 1934.

Kembali ke buku Tokoh -Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan mengacu kepada gerakan PTI yang ia dirikan, Liem membenarkan banyaknya tantangan dan perlawanan di kalangan Tionghoa tersebut.

Perbantahan yang sering dikemukakan adalah bagaimanakah pemerintah kebangsaan Tiongkok. Dalam hubungan ini, Liem menegaskan bahwa bangsa Tionghoa sudah tidak ada lagi. Dalam arti kultural memang masih diakui dan bisa saja ada, tetapi buat peranakan Tionghoa di tanah Jawa ini, arti kultural tidak bisa dipakai lagi.

BACA JUGA : Tragedi Ulin dan Haga Case; Jejak Genosida di Selatan Borneo

Sebab, menurut Liem, begitu ada predikat bangsa Indonesia dan pasal yang menyebutkan kewarganegaraan (warganegara Indonesia), maka peranakan Tionghoa bisa menggunakannya. Dalam menjelaskan idenya itu, Liem melihat bahwa hambatan ke arah itu pasti muncul, apalagi Pemerintah Belanda tidak suka melihat persatuan bangsa Tionghoa dengan bangsa Indonesia. Itu terlihat ketika PTI dimusuhi pemerintah kolonial.

Gereja Katolik di Kampung Kelayan, kini di Jalan Pekauman yang merupakan kampung Tinghoa Banjar. (Foto KITLV)

Liem juga bersikap keras dalam menentang pemerintah pendudukan Jepang. Ia sempat ditawan oleh pemerintah pendudukan itu. Hal yang menarik perhatian karena setelah dilepaskan dari tahanan, ia kemudian diangkat sebagai anggota BPUPKI mewakili masyarakat Tionghoa .

Dalam rapat besar pada 11 Juli , setelah Badan Penyelidik menetapkan bentuk negara dan daerah negara, Liem membicarakan pentingnya soal warga atau rakyat Negara Indonesia. Dalam konteks soal warga negara itu, Liem menegaskan tentang kewarganegaraan orang keturunan Tionghoa. Meskipun benar bahwa orang Tionghoa tidak mengenal wadah bangsa, menurut Liem mudah saja memberikan ukurannya. Yaitu bahwa  sebagai orang yang berada di luar negara (Tiongkok ), orang Tionghoa itu bekerjasama di mana ia dilahirkan dan dibesarkan”.

BACA JUGA : Pohon Jingah dalam Hikayat Banjar, dari ‘Kajingahan’ dan Tradisi yang Mewarnai (2-Habis)

Pembuktian bahwa usaha -usaha PTI mendapat dukungan suara dari orang peranakan Tionghoa, diketengahkan Liem dalam sidang BPUPKI itu. Pada 1934, untuk pertama kali partai ini ikut dalam pemilihan di Kota Surabaya. Kelima kursi yang disediakan untuk golongan Timur Asing dapat direbut oleh PTI. Begitu pula dalam Volksraad, PTI mempunyai wakilnya .

Apa yang diinginkan oleh Liem ialah bahwa dalam hati kebanyakan orang peranakan Tionghoa di Jawa mendukung tujuan PTI, meskipun masih banyak pula yang tidak berani menyatakan pendapatnya. Di berbagai tempat seperti Bandung, Surabaya dan Malang, Liem meminta melalui Badan Penyelidik, supaya mereka lebih baik menjadi rakyat Indonesia saja. Sedangkan bagi yang tidak suka boleh menyatakan pendapatnya. Mengapa masih ada yang keberatan? Dalam kemungkinan adanya penolakan itu, Liem menjelaskan bahwa berkesan Peranakan Tionghoa tidak pernah memikirkan hal politik. Padahal sewaktu Liem menjadi mahasiswa hukum, pada suatu pertemuan perjamuan Cap Go Meh, seorang mahasiswa kedokteran membuka acara tersebut dengan suatu pidato.

BACA JUGA : 83 Tahun Silam Banjir Besar Melanda Martapura, 23 Jiwa Jadi Korban

Ia memperingatkan tentang kewajiban sebagai mahasiswa untuk,” bekerja goena negeri ini boekan sadja karena kita telah dilahir kan dan mendjadi besar, tetapi dimana kita mendapat peladjaran sehingga mendjadi seperti sekarang ini ” . Liem sangatsenang mendengar pidato mahasiswa itu.

Dalam sidang 15 Juli yang masih membicarakan hukumdasar (grondrechten ) seperti diusulkan oleh Hatta dan Yamintentang hak bersidang dan berkumpul, Liem menambahkanjuga hak kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Menurut Liem, kemerdekaan pers akan berfungsi sebagai alatpengontrol kejelekan -kejelakan di dalam masyarakat.

Soal warga negara bagi peranakan Tionghoa nampaknyatetap menjadi obsesi Liem. Masih dalam sidang BPUPKI itu, ia kembali membahas urusan warga negara. Atas dasar permintaan -permintaan orang Tionghoa di Surabaya, Bandung,dan Malang, yang mewakili beberapa ratus penduduk Tionghoadi sana, Liem minta supaya dalam Undang-Undang Dasarditetapkan saja bahwa, “semoea orang Tionghoa mendjadi warga negara Indonesia , tetapi diberi kemerdekaan bagi mereka jang tidak soeka boleh menolak ”.

BACA JUGA : Potret Pasar Lama, Episentrum Peradaban Warga Banjarmasin yang Majemuk

Liem berkeyakinan bahwa akan banyak orang PeranakanTionghoa yang memilih menjadi warga negara Indonesia. Liemjuga mengemukakan bahwa mereka mempunyai rasa rindukampung halaman (Tiongkok), tetapi jangan lupa bahwa orang Tionghoa terkenal praktis.

Mari kita perhatikan ungkapan tokohini dalam sidang itu.” Jikalau praktische zin soedah bekerdja, maka segala pertimbangan , segala perasaan , instrincten , aanhankelijkheid, toen doek kepada praktische zin . Saja mansoedkan begini : Di Negeri Filipina dahoeloe, sebeloem perang Asia Timur Raja , ada oendang-oendang negeri jang maksoedkan bahwa hanja rakjat Filipina boleh memboeka waroeng, orang asing tidak boleh. Orang Tionghoa totok jang hidoep di Filipina dan perloe mentjari penghidoepan dengan memboeka waroeng, meloepakan boekan sadja aanhankelijkheid kepada Tiongkok, tetap poela anak-isteri jang masih tinggal di Tiongkok dan masoek mendjadi rakjat Filipina ”.

Kenasionalan Liem diperlihatkannya ketika ia terus ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Liem Koen Hian diangkat menjadi anggota KNIP dan pada konferensi Persetujuan Renville (1948), ia menjadi salah seorang anggota delegasi Republik Indonesia.

BACA JUGA : Suara Kritis Pers Perjuangan dan Menguatnya Kapitalisasi Media Massa

Pada tahun 1951, Liem ditahan dalam razia Agustus yang terkenal itu oleh pemerintah di bawah Sukiman dengan tuduhan menjadi agen Republik Rakyat Cina. Menurut Leo Suryadinata dalam The Search for National Identity of an Indonesian Chinese: a Political Biography of Liem Koen Hian, pada pertengahan tahun 1951, pemerintahan Sukiman berkuasa. Khawatir akan terjadi Peristiwa Madiun Kedua, Sukiman melancarkan pembersihan sebelum Hari Kemerdekaan dan banyak pemimpin sayap kiri dan Komunis ditangkap.

Suasana Sekolah Katolik di Kampung Pecinan Banjarmasin. (Foto KILTV Leiden)

Sehubungan dengan pembersihan ini, Liem ditahan pada 16 Agustus. Ini adalah pertama kalinya ia dipenjara oleh rekan senegaranya. Dikatakan bahwa perawatan di penjara buruk dan Liem yang sudah sakit menjadi sangat sakit. Akibatnya, ia dibebaskan pada 29 Oktober 1951. Liem mengalami semacam shock emosional di penjara dan menolak kewarganegaraan Indonesia ketika masa opsi hampir berakhir. Ia kemudian menjadi warga negara Republik Rakyat Tiongkok.

BACA JUGA : Cina Banjar dan Sepenggal Kisah dari Rumah Lanting

Peristiwa ini menarik perhatian pers Indonesia. Liem kemudian diwawancarai oleh seorang reporter Indonesia Raya dan hasil wawancara tersebut (secara luas) dibahas baik di pers Indonesia maupun peranakan Tionghoa. Liem memberikan alasan berikut untuk membenarkan penolakannya terhadap kewarganegaraan Indonesia. Pertama, dia membenci penahanan, karena dia tidak bersalah, dan fakta bahwa pemerintah menolak untuk mengakui kesalahannya.

Kedua, dia dirugikan oleh praktik diskriminasi rasial terhadap orang-orang keturunan Tionghoa. Ia secara khusus menyebut kasus Dr. Tjoa Sik Ien, pemilik percetakan. Dikatakannya, Dr Tjoa tidak diberikan kredit oleh Direktur Bank Negara Indonesia hanya karena dia orang Cina.

Ketiga, ia kecewa dengan Soekarno dan Hatta yang keduanya mulai menunjukkan bias rasial. Ia menyebutkan pidato Soekarno pada Hari Pahlawan (10 November 1951) yang menganjurkan kebencian rasial. Begitupula, pidato Hatta di Bandung juga membuat Liem kesal karena Hatta menyatakan bahwa jika terjadi perang, Indonesia akan berdiri dengan blok anti-Cina.

BACA JUGA : Mandi Kekayaan Pedagang Bakumpai yang Merajai Tanah Dusun

Surat kabar sayap kiri dan Komunis mengkritik Liem, karena mengambil langkah yang salah. Mereka berpendapat bahwa adalah tugasnya untuk melanjutkan perjuangannya menghapus diskriminasi rasial tetapi dengan menolak kewarganegaraan Indonesia, ia tidak lagi dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik. Salah satu surat kabar peranakan juga menyayangkan keputusan Liem.

Seorang penulis berpendapat bahwa “walaupun penangkapan Liem jelas berkontribusi pada keputusannya untuk menolak kewarganegaraan Indonesia, dia juga semakin tertarik, dan dipengaruhi oleh, perubahan politik di daratan Cina.”

Namun, aktivitas Liem selama dua puluh tahun terakhir, dapat dikatakan bahwa Liem terus-menerus memperhatikan perubahan politik di Tiongkok dan kekagumannya terhadap Komunis Tiongkok dimulai jauh sebelum mereka berkuasa. Namun demikian, ia tidak menganjurkan kewarganegaraan Tionghoa bagi orang Tionghoa Indonesia. Bahkan setelah berdirinya Republik Rakyat Cina, ia masih mendakwahkan nasionalisme Indonesia dan mendirikan Persatuan Tenaga Indonesia.

BACA JUGA : Rumah Berornamen Banjar Sarat Nilai Luhur, Sayang Kini Kian Tersingkir

Apa yang membuatnya meninggalkan keyakinan politiknya yang telah ia pelihara selama 20 terakhir? Penahanan selama dua setengah bulan itu rupanya tak hanya membuat dia kehilangan kewarganegaraan Indonesia, tapi juga menghancurkan keyakinan politiknya.

Dia meninggalkan arena politik dan menjadi pengusaha. Dia menjalankan sebuah apotek di Tanah Abang (Jakarta) dan berniat membuka cabang di Medan. Dalam perjalanan bisnis ke Medan, ia menderita serangan jantung dan meninggal pada tanggal 5 November 1952. Jenazahnya yang rencananya akan dimakamkan di Jakarta, justru dimakamkan di Medan.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Sejarah Banjar

Ketua Lembaga Adat Kerajaan Pulau Laut Korwil Banjarmasin

Sekretaris Syarikat Adat, Sejarah dan Budaya (SARABA) Hulu Sungai

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2022/02/03/kiprah-cina-banjar-liem-koen-hian-dalam-pusaran-politik-indonesia-yang-terlupakan/
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.