Peran dan Kiprah Tionghoa Banjar Dalam Lintasan Sejarah

0

Oleh : Winardi Sethiono

PAGI SABTU  4 September 2021, bertempat di Rumah Alam Sungai Andai, berkumpul para tokoh Tionghoa yang tinggal di Banjarmasin, menghadiri undangan Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin, mendiskusikan soal peran – kiprah Tionghoa Banjar dalam Lintas Sejarah. Hadir sebagai pemantik diskusi Romo Sarwa Darma, Hadi Nugraha Gema, Arifin Suritiono, Sugiharto Hendrata, dan sejarawan muda, Mansyur serta Humaidy. 

SELAIN ITU hadir juga para tokoh lainnya, Sumpono Kang Martono, Winardi, Johan, dan lain-lain. Juga hadir pengamat sejarah dan pendidik dari Banjarbaru, Joko. Beberapa orang dari komunitas sineas film Ade Hidayat, Efan, dan tentu dari LK3 Banjarmasin sendiri, Abdani Solihin, Paula, Rafiqah, Rakhmalina, dan Noorhalis Majid. Semuanya terlibat dalam diskusi yang sangat hangat, mengundang rasa penasaran, karena mengungkap berbagai lipatan sejarah tersembunyi, bahkan mungkin sengaja disembunyikan serta dihilangkan karena berbagai kepentingan. 

Sudah diketahui umum, warga Tionghoa lama bermukim di tanah Banjar. Mungkin sejak pertama kota ini terbuka dengan para pendatang. Terutama ketika jalur perdagangan mulai ramai, dan banyak bangsa-bangsa mendatangi tanah Banjar, pada saat itulah bangsa Tiongkok mendaratkan diri. Jejak sejarahnya sangat kuat, terbukti ada dua Klenteng yang berdiri megah di tengah kota, ada kampung Pecinan, sama seperti Pecinan yang ada di kota-kota lain di Indonesia – bahkan dunia. 

Terungkap dalam diskusi tersebut ada beberapa gelombang migrasi, diperkirakan sejak tahun 1300, sudah ada perdagangan dengan Tiongkok, ketika Kesultanan Banjar berdiri tahun 1526, juga sudah ada warga Tiongkok di Tanah Banjar, momen yang sangat penting adalah pada tahun 1736, ketika Sultan Hamiddullah berkuasa, ia mengangkat Liem Bian Kho sebagai Kapten Syahbandar di Pelabuhan Tatas, serta mengijinkan berdirinya perkampungan Pecinan. Tahun 1850, berdasarkan sensus pada waktu itu, sudah ada lebih 2000 warga Tionghoa di Banjarmasin. 

Kedatangan yang sudah cukup lama, tidak terhindarkan terjadi pembauran. Budaya, tradisi, adat – kebiasaan dan bahkan agama, membaur sedemikian rupa. Begitu juga proses kawin-mawin, melahirkan generasi dan pembauran yang semakin kental. Bahkan terungkap sejarah Phang Tje yang diudang secara khusus ke Istana Banjar untuk mengerjakan ukiran untuk bangunan istana, hingga kemudian dia kawin dengan keluarga Istana Banjar dan menetap, melalui anaknya yang masih menggunakan nama Tionghoa Phang Kwan dan Phang Kiu kemudian menurunkan banyak warga keturunan Tionghoa.

Juga terungkap tokoh nasional asal Banjarmasin yang terlibat dalam pergerakan nasional namun kemudian nasibnya berujung tragis. Liem Koen Hian, lahir 1896, seorang tokoh wartawan dan politik era Hindia Belanda dan berperan dalam BPUPK, berjuang mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia. Begitu juga dengan peran warga Tionghoa dalam militer, terungkap banyak yang bergabung dalam ALRI Divisi IV, misalnya Lie Kie Ming, atau dikenal juga dengan kapten Ali Budiman. Lie Kie Ming, seorang yang semula berkeja di bengkel sepeda, namun kemudian menjadi ahli perakit senjata untuk kebutuhan perjuangan. Dalam perjuangannya, mengajak puluhan kawan-kawannya ikut berjuang bersama pejuang lainnya di Kandangan. 

BACA: Gandeng TNI, Komunitas Warga Tionghoa di Banjarmasin Salurkan 1000 Paket Sembako

Juga terungkap peran dan jasa para tokoh Tionghoa dalam mendirikan Universitas Lambung Mangkurat. Bahkan sejumlah donator, adalah warga Tionghoa. Karena andil yang cukup besar, akhirnya bendahara dan sekretaris Universitas Lambung Mangkurat pada waktu itu diisi warga Tionghoa. Pun dalam pendirian Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fisip dan Fakultas Kesehatan, tidak terlepas dari peran para tokoh Tionghoa. 

Peran kepemudaan dan Pendidikan juga sangat besar. Tidak ada yang dapat melupakan keberadaan Hipindo, yang bergerak dalam kepemudaan, membentuk pemadam kebakaran pertama di Banjarmasin, dan bergiat dalam pendidikan dasar. 

Dalam diskusi yang dihadir beberapa sejarawan tersebut, juga disampaikan bahwa yang mengenalkan penggunaan mata uang dalam perdagangan di tanah Banjar, adalah warga Tionghoa. Sebelum dikenal mata uang, perdagangan dilakukan dengan cara barter, kemudian baru dikenalkan alat tukar, membantu memudahkan transaksi perdagangan.  

Bukan hanya warga Tionghoa di Banjarmasin, juga terungkap yang tinggal di Tanah Laut dan Gunung Batu Besar, mereka waktu itu datang dengan berbagai kepentingan, terutama berburu emas, sehingga membentuk satu perkampungan yang dikenal dengan Cina Parit.

Diskusi yang sangat menarik tersebut dipandu oleh Noorhalis Majid, ia menyampaikan bahwa hasil diskusi ini akan menjadi awal untuk menggali lebih jauh, sehingga akan disusun satu buah buku sejarah tentang keberadaan warga Tionghoa di tanah Banjar. Juga akan dibuat satu film dokumenter, kerjasama dengan sineas banua, agar generasi muda lebih mengetahui peran dan kiprah warga Tionghoa. Jangan sampai kita buta akan sejarah, sehingga melupakan semua peran tersebut. Etnis lainnya tentu juga perannya sangat besar, insya Allah setelah selesai menggali Tionghoa Banjar, akan dilanjutkan menggali peran etnis lainnya, kata Noorhalis Majid.  (jejakrekam)

Penulis adalah Muslim Tionghoa Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2021/09/06/peran-kiprah-tionghoa-banjar-dalam-lintasan-sejarah/,kiprah tionghoa banjar

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.