Mengenal Metode Pembelajaran di Pesantren

0

Oleh:  Humaidy Ibnu Sami

SUKSESNYA suatu pembelajaran yang sukses.  adalah pemaparan materi yang baik dan penggunaan metode yang tepat. Jadi dalam sebuah pembelajaran menggunakan metode yang tepat menjadi sangat penting dan menentukan baik dalam pendidikan di sekolah maupun di pesantren.

METODE dalam bahasa Arab Manhaj atau Thariqah yang berarti cara yang terencana untuk mencapai tujuan. Secara garis besar ada dua metode dalam pembelahan di pesantren yakni ada metode makro dan metode mikro.

1. Metode Makro

a. Kontektuaistik yakni kumpulan pemikiran dari para ulama dikompilasi, lalu dituangkan ke dalam bahasa setempat seperti kitab yang berbahasa Melayu dalam aksara Arab Melayu atau Arab Pegon. Atau dalam pembelajaran kitab, di samping menggunakan bahasa Arab juga menggunakan bahasa lokal.

b. Migranianistik

jika murid atau santri telah selesai pendidikan di pesantren sangat dianjurkan untuk merantau ke daerah- daerah baru yang jauh untuk menyebarkan Islam yang Rahmatan Lil ‘alamin.

c. sentralistik

Bangunan Pesantren pada terpusat di sebuah lingkungan sendiri, jauh dari hiruk pikuk dunia politik. Biar para Kyai dan santri bisa fokus dan konsentrasi pada proses pembelajaran dan pendidikan. Itulah kenapa pesantren berada jauh dari keramaian kota, berada di pelosok desa yang terpencil bahkan ada yang masih berada sekitar hutan rimba.

d. Gradualistik

Dalam proses pembelajaran  biasanya dilakukan Kyai secara bertahap dan berangsur-angsur mulai tingkat rendah, menengah dan tinggi. Ada juga bertahap dari ilmu Tauhid, Ilmu Fiqih dan ilmu Tasawuf. Ada pula yang memulai pengenalan huruf Hijaiyah, Nahwu-Sharf, Balaghah dan Kitab Kuning yang di dalamnya terdapat berbagai macam dan cabang ilmu terutama ilmu agama.

BACA : Libur Sekolah Sebulan Penuh, Pembelajaran Siswa Diganti Model Pesantren Ramadhan

e. Klasifikasi

Di dalam pesantren antara santri lelakl dan santri perempuan dipisah, tidak bercampur dalam satu ruangan bahkan terkadang bangunan pesantren terpisah mempunyai otoritas masing-masing meskipun dalam satu pengelolaan.

2. Metode Mikro

a. Sorogan

Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan Kyai atau pembantunya (badal, asisten Kyai). Metode Sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru,  dan terjadi interaksi  saling  mengenal  antara keduanya.

Pembelajaran dengan metode Sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu. Ada tempat duduk Kyai atau ustadz, di depannya ada meja pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Setelah Kyai atau ustadz membacakan teks dalam kitab kemudian santri mengulanginya.

BACA JUGA : Datu Kandang Haji, Pengasas Pendidikan Islam Tertua Tanah Banjar

Sedangkan santri-sanri lain, baik yang mengaji kitab yang sama ataupun berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh Kyai atau ustadz sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran dipanggil. Inti metode sorogan adalah berlangsungnya proses belajar mengajar secara face to face antara Kyai dan santri. Keunggulan metode ini adalah Kyai secara pasti mengetahui kualitas anak didiknya, bagi santri yang IQ nya tinggi akan cepat menyelesaikan pelajaran, mendapatkan penjelasan yang pasti dari seorang Kyai. Kelemahannya adalah metode ini membutuhkan waktu yang sangat banyak.

Meskipun Sorogan ini dianggap statis, tetapi bukan berarti tidak menerima inovasi. Malah menurut Suyoto, metode ini sebenarnya konsekuensi daripada layanan yang ingin diberikan kepada santri. Berbagai usaha dewasa ini dalam berinovasi dilakukan justru mengarah kepada layanan secara indivual kepada anak didik. Metode Sorogan justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang.

BACA JUGA : Didirikan Datu Balimau, Usia Masjid Darussa’adah Diklaim Lebih Tua Dibanding Masjid Al Karomah

Mastuhu memandang bahwa Sorogan adalah metode mengajar secara indivividual langsung dan intensif. Dari segi ilmu pendidikan, metode ini adalah metode yang modern karena antara Kyai dan santri saling mengenal secara erat. Kyai menguasai benar materi yang seharusnya diajarkan, begitu pula santri juga belajar dan membuat persiapan sebelumnya. Metode sorogan dilakukan secara bebas (tidak ada paksaan), dan bebas dari hambatan formalitas.

b. Wetonan/ Bandongan

Wetonan istilah ini berasal dari kata wektu (bahasa Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardhu. Metode wetonan ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat disebut dengan bandongan.

Pelaksanaan metode ini yaitu: Kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harakat (gundul). Santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabitan harakat kata langsung di bawah kata yang dimaksud agar dapat membantu memahami teks.

BACA JUGA : Didirikan Buyut Datu Kalampayan, 95 Persen Bangunan Masjid Baangkat Terjaga

Metode bandongan atau weton adalah sistem pengajaran secara kolektif yang dilakukan di pesantren. Disebut weton karena berlangsungnya pengajian itu merupakan inisiatif Kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, terutama kitabnya. Disebut bandongan karena pengajian diberikan secara kelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Kelompok santri yang duduk mengitari Kyai dalam pengajian itu disebut halaqoh. Prosesnya adalah Kyai membaca kitab dan santri mendengarkan, menyimak bacaan Kyai, mencatat terjemahan serta keterangan Kyai pada kitab atau biasa disebut ngesahi atau njenggoti.[9]

H. Abdullah Syukri Zarkasyi, memberikan definisi tentang metode bandongan, yaitu: “Di mana Kyai membaca kitab dalam waktu tertentu, santri membawa kitab yang sama, mendengarkan dan menyimak bacaan Kyai.Sedangkan Nurcholis Madjid memberikan definisi tentang metode weton. Menurutnya, “weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari Kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu maupun lebih-lebih lagi kitabnya”.

BACA JUGA : 4 Kontribusi Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari bagi Nusantara

Senada dengan hal di atas, Hasbullah mendefinisikan tentang metode wetonan, menurutnya: Metode wetonan adalah metode yang di dalamnya terdapat seorang Kyai yang membaca kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan Kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.

Zamakhsyari Dhofier juga memberikan definisi tentang metode bandongan. Menurutnya, dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.

BACA JUGA : Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari; Perintis Embrio Nasionalisme Indonesia

Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran bandongan sama dengan metode wetonan maupun halaqah. Dalam model pembelajaran ini, santri secara kolektif mendengarkan dan mencatat uraian yang disampaikan oleh Kyai, dengan menggunakan bahasa daerah setempat, dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, materi (kitab) dan tempat sepenuhnya ditentukan oleh Kyai.

Keunggulan metode ini adalah lebih cepat dan praktis sedangkan kelemahannya metode ini dianggap tradisional. Biasanya metode ini masih digunakan pada pondok-pondok pesantren salaf.

c. Bahtsul Masa’il

Metode musyawarah atau dalam istilah lain bahtsul masa’il merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh Kyai atau ustadz, atau mungkin juga senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya.Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pendapatnya.

BACA JUGA : Gelar Al Banjary dan Budaya Lokal dalam Ijtihad Syekh Muhammad Arsyad

Kegiatan penilaian oleh Kyai atau ustadz dilakukan selama kegiatan musyawarah berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban yang diberikan oleh peserta yang meliputi kelogisan jawaban, ketepatan dan kevalidan referensi yang disebutkan, serta bahasa yang disampaikan dapat mudah difahami oleh santri yang lain. Hal lain yang dinilai adalah pemahaman terhadap teks bacaan, juga kebenaran dan ketepatan peserta dalam membaca dan menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang menjadi rujukan.

d. Pengajian Pasaran

Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang Kyai/ ustadz yang  dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus selama tenggang waktu tertentu. Pada umumnya dilakukan pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang dikaji.

BACA JUGA : Berawal dari Dalam Pagar, Lahir Pondok Pesantren di Tanah Banjar

Metode ini lebih mirip dengan metode bandongan tetapi pada metode ini target utamanya adalah selesainya kitab yang dipelajari. Jadi, dalam metode ini yang menjadi titik beratnya terletak pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagaimana pada metode bandongan.

e Hapalan (Muhafazhah)

Metode hapalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara menghapal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan Kyai/ustadz. Para santri diberi tugas untuk menghapal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hapalan yang dimiliki santri ini kemudian dihapalkan di hadapan Kyai/ustadz secara periodik atau insidental tergantung kepada petunjuk Kyai/ustadz yang bersangkutan.Materi pelajaran dengan metode hapalan umumnya berkenaan dengan Al Qur’an, nazham-nazham nahwu, sharaf, tajwid ataupun teks-teks nahwu, sharaf dan fiqih.

BACA JUGA : Riset Tiga Tahun, Humaidy Siap Luncurkan Biografi 150 Ulama Berpengaruh di Tanah Banjar

f. Demonstrasi/Praktik Ibadah

Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan meperagakan (mendemonstrasikan) suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan Kyai/ustadz. dengan kegiatan sebagai berikut:

– Para santri mendapatkan penjelasan/ teori tentang tata cara pelaksanaan ibadah yang akan dipraktekkan sampai mereka betul-betul memahaminya.

– Para santri berdasarkan bimbingan para Kyai/ ustadz mempersiapkan  segala peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk kegiatan praktik.

– Setelah menentukan waktu dan tempat, para santri berkumpul untuk menerima penjelasan singkat berkenaan dengan urutan kegiatan yang akan dilakukan serta pemberian tugas kepada para santri berkenaan dengan pelaksanaan praktik.

BACA JUGA : Ketat Terapkan Prokes Covid-19, Ponpes Dalam Pagar Kandangan Raih Penghargaan Kemenkes

g. Muhawarah

Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok. Beberapa pesantren, latihan muhawarah atau muhadasah tidak diwajibkan setiap hari, akan tetapi hanya satu kali atau dua kali dalam seminggu yang digabungkan dengan latihan   muhadhoroh atau khitobah, yang tujuannya melatih keterampilan anak didik berpidato.

h. Mudzakarah

Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti ibadah dan aqidah serta masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah tersebut dapat dibedakan atas dua tingkat kegiatan: Mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan melatih para santri agar terlatih dalam memecahkan persoalan dengan mempergunakan kitab-kitab yang tersedia. Salah seorang santri ditunjuk sebagai juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang didiskusikan.

BACA JUGA : Dari Dalam Pagar, Paman Birin Serahkan Tanah dan Air ke IKN Nusantara

Mudzakarah yang dipimpin oleh Kyai, dimana hasil mudzakarah para santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Biasanya lebih banyak berisi tanya jawab dan hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin

Staf Senior Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2022/04/16/mengenal-metode-pembelajaran-di-pesantren/,pembelajaran di pesantren
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.