Catatan Abah Seribu Sungai; Anak Bukanlah Replika Orangtua

0

Oleh : Syaipul Adhar, ME

PAGI ini, biniku (istri) curhat ke saya. Sambil bemamai (marah). Pertama, resah sebagai alumni SMAVEN (SMAN 7 Banjarmasin) yang sedang sedang viral karena kasus penikaman seorang siswanya.

TERLEBIH lagi, baru dua minggu aktif bersekolah. Rupanya, jiwa korsa alumninya terganggu. Kedua, keresahan sebagai orangtua murid yang kedua anaknya sedang bersekolah di sekolah di tempat sama dengan kedua korban dan pelaku yang sedang viral itu.

Ya, SD Islam Sabilal Muhtadin yang mamanya diambil dari masterpiece Kitab Parukunan Datu Urang Banjar, Syekh Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari. Sudah seharusnya jadi pedoman anak cucu Urang Banjar dalam bersikap, bertingkah laku berdasar adab serta syariat.

Dua personal of view di atas, seharusnya sudah cukup menjadi awal kesimpulan bahwa dunia anak sedang tidak baik- baik saja. Tentu saja, premisnya bisa berjilid-jilid, di antaranya faktor zonasi sekolah yang telah mereduksi standar sekolah favorit.

Apalagi, jika poinnya bukan lagi standar nilai tapi privilege dan katebelece jalur dalam. Namanya juga resah receh orangtua, tulisan ini tidak dalam upaya men-challenge Kota Layak Anak (KLA) yang baru didapat kota (Banjarmasin) ini. Biarlah persoalan ini diselesaikan lewat pranata yang sudah jalan.

BACA : Terdata 58,38 Persen, Pemilih Milenial dan Generasi Z Dominasi DPT Pemilu 2024 Kalsel

Niatnya hanya sebagai sisi lain, agar ada upaya yang paripurna menghadapi persoalan anak generasi Z (Gen Z) dengan kacamata kekinian. Jangan sampai kita lupa bahwa Albert Eisntein pernah berujar “Kita tidak dapat menyelesaikan masalah kita dengan pemikiran yang sama pada saat kita membuatnya.”

Artinya, persoalan anak-anak kita adalah persoalan masa depan yang tidak bisa kita selesaikan dengan manual book di era kita para ayah dan ibu dibesarkan. Kita boleh saja bercerita betapa hebatnya dulu abah mama (ayah dan ibu) sekolah dengan perjuangan dan ketekunan. Ceritanya bisa berepisode seperti serial Netflix.

Seperti saya, sering cerita ke anak, abah sekolah dahulu, nyambi antar es mambo di pagi hari loh, terus ke sekolah naik sepeda. Uang jajan seadanya, Sering malah jalan kaki atau ngoboy numpang apa saja yang lewat, seringnya ya truk angkutan material.

BACA JUGA : Berada di Titik Jenuh, Jaga Eksistensi Komunitas MAB Perkenalkan Era Analog ke Generasi Milenial

Main game juga masih pake konsol sewaan, boro-boro bisa beli. Ya itulah, yang membentuk abahmu sekarang. Jreeng! Bagi saya, boleh jadi kisah itu epik, tapi bagi anak belum tentu.  Mungkin kita lupa, anak punya persoalannya sendiri, zaman sudah berubah. Situasi dan kondisi berubah, justru pertanyannya adalah apakah kita selalu ada Ketika anak menghadapi masalahnya itu dan butuh “speak and solution” sambil didengar?

Sejak awal sebagai abah yang dibesarkan oleh produk reformasi, saya selalu melatih anak untuk diskusi dan bicara topik apapun dalam keseharian. Jika ada  yang dirasa tidak pas,  bicaralah, perbaiki dan cari solusinya.  Pernah suatu ketika, anak tidak shalat, saya bilang ‘Jika kamu tidak shalat sesuai apa yang diajarkan agamamu saya harus pukul kamu, Nak’. “Eit, enak aja, kalo dipaksa dan dipukul abah sudah melanggar HAM saya sebagai anak,” sahutnya.

BACA JUGA : Kurangi Anak Kecanduan Game Online, Kampung Bermain Terus Digalakkan Pemkot Banjarmasin

Karakteristik Gen Z memang unik, mereka punya pikiran sendiri. Generasi yang hidup dengan teknologi. Anti diatur tapi ‘ngambekan’. Itu mengapa seringkali saya ditegur anak, jika bawa mobil main serobot di tikungan U- Turn. Males antre dari belakang. Iya juga sih, pada dasarnya sikap seperti itu adalah  cermin saya pada saat muda. Mau bagaimana lagi. Tapi anak, bukanlah replika kita.

Jangan diatur berdasar kehendak kita. Anak adalah titipan, jaga dengan baik. Karena ia barang berharga dari Tuhan.   Satu sisi memang saya ajarkan pada anak  untuk tahu posisinya, berani berpendapat. Sisi lainnya,  ternyata gaya mendidik yang saya dapat dari abahnya abah tidak lagi efektif. Lalu biar efektif apa? Ada jurusnya, tapi tentu hal ini rahasia keluarga kami saja. Tidak untuk konsumsi publik. Takut anak saya, baca tulisan ini. Ketahuan jurusnya dah. Kan beda anak beda caranya sendiri.

BACA JUGA : Dirazia di Sekolah, Ketika Suara Bising Lato-Lato Dianggap Mengganggu

Pertanyaan besarnya adalah apakah kita selalu ada  dan hadir untuk mendampingi tumbuh kembang anak? Atau malah terlena karena berpikir yang terpenting adalah mencukupi kebutuhan hariannya dengan fasilitas terbaik. Lalu, alfa menjaga daya juang anak sebagai bekal berjibaku dengan persoalannya sendiri.

Maraknya bullying, serbuan anime gaming Japan, K-POP, kata-kata toxic/kotor adalah hal yang jamak menjadi persoalan besar anak sekarang. Saya kehabisan kata-kata menegur ketika anak-anak mulai berbicara dengan kata makian dan cacian yang menurut standarkamus bapak-bapak adalah tidak sopan. Padahal, bagi mereka ya semacam prokem, bahasa gaul sahaja.

BACA JUGA : Malu Bertanya Sesat Di Kelas

Jika deteksi dini orangtua berjalan dengan baik, semestinya tidak banyak persoalan yang membuat kita mengurut dada dan terkejut berkali-kali. Setidaknya beban anak menjadi terurai, apalagi di usia yang masih teenegers. Labilnya bisa berlipat lipat.

Selain itu, ajarkan anak untuk always keep speak and loud, memahami hak dan kewajibannya. Paham akan risiko setiap tindakannya. Jika sudah bagitu, mestinya kasus perundungan dan penganiayaan anak tidak akan terjadi lagi.

Idealnya begitu, persoalannya adalah tidak semua orangtua open mind. Dengan latar ortu yang beragam, mau bagaimana lagi,  toh tidak ada kewajiban dokumen short course, sertifikasi manajemen anak dan rumah tangga yang benar oleh pemerintah.

BACA JUGA : Kembali Humanis dengan Seni; Mulai dari Sekolah

Ya, manajemen kota hanya menyiapkan infrastruktur dasar, sekolah yang nyaman dan layak untuk anak. Agar setiap tahun, bisa berfoto cantik dengan sertifikat kota layak anu dan itu. Selebihnya, jiwa dan rohaninya, jaga masing-masing.

Sebagai Keluarga Sufi (Suka Film), entah kenapa  anak-anak juga tidak tertarik untuk request film lokal Jendela Seribu Sungai (JSS), padahal isinya tentang kakak-kakak mereka dulu berjuang untuk meraih mimpinya.Tidak  seperti antusiasnya saya ketika bujang, rela ngantre nonton Laskar Pelangi.

Akhirnya, ya itu tadi, genre anak sekarang jauh berbeda. Untungnya si kaka juga gak tertarik film Barbie, maunya nonton horor saja. Jangan heran, film lokal yang booming seperti KKN Desa Penari. Anak suka cerita sekelilingnya, bukan melodrama. Saya yakin, jika filmnya adalah cerita hantu kuyang, anak pasti suka.

BACA JUGA : Tekanan Hidup Akibat Pandemi, Jumlah ODGJ di Banjarmasin Meningkat Tajam

Diselipi pesan moral “Anakku kelak kamu dewasa,  kanganlah suka ngisap darah orang lain, ngeganggu temenmu, Jadilah selalu baik dimanapun kamu berada. Jika tidak, kamu akan bernasib seperti hantu itu, terbakar dan menyesel kemudian”.

At least, banyak masukan dari berbagai percakapan yang beredar di grup WA WA saya.  Di antaranya soal mereplikasi sistem zonasi sekolah-sekolah seperti di Jepang atau pengalaman sahabat saya terkait sistem keamanan sekolah yang ketat, ketika anak bersekolah di Australia dan Amerika Serikat.

Saya tentu setuju saja, apalagi jika sejak dini anak diajarkan mandiri. Paling tidak sebagai abah, saya tidak perlu khawatir lagi. Apalagi ditambah klaim yang menyebut Indonesia adalah negara terbesar ketiga dunia soal fatherless, yakni ketiadaan faktor ayah dalam tumbuh kembang anak. Tentu saja, data itu bisa didebat.

BACA JUGA : Ada 6.000 Orang di Kalsel Diperkirakan Mengalami Gangguan Jiwa

Tetapi, Jika persoalan ini ditopang dengan  tingginya angka perceraian plus  meningkatnya single parent, maka bonus demografi kota seribu sungai bisa jadi bukanlah bonus secara harfiah, malah menjadi momok persoalan sosial tambahan bagi kita semua warga kota ini.

Pada akhirnya, pasti tidak ada orang tua yang ingin mengikuti jejaknya yang prihatin. Begitu juga ayah yang malas shalat,  pasti ingin anaknya rajin shalat. Dengan tekad “minimal anakku tebaik pada saurang”. Artinya, kita punya kesepahaman yang sama untuk terus lebih baik.

BACA JUGA : Lato-lato; Mainan Jadul yang Kini Viral dan Digandrungi Anak-Anak Milenial

Seperti saya, setiap hari antar jemput anak sekolah. Karena sambil jalan menuju rumah, kita bisa saling bercerita. Musabab nanti ada masa, anak punya agendanya sendiri, punya sirkelnya sendiri.

Kita hanya bisa memantau dari kejauhan. Tidak mengapa jika hari ini anak menangis karena beratnya disiplin dan tanggungjawab.Daripada kelak besar nanti mereka akan menangis karena rapuhnya diri dalam mengarungi hidup yang keras ini. Tabik.(jejakrekam)

Penulis adalah Akademisi UNU Kalsel

Pegiat Antar Jemput Anak Sekolah

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.