Sependang Urang Banjar di Kampung Tua Ampenan NTB

1

Oleh: Taufik Arbain

SORE menjelang  Maghrib, saya bersama kanda Apriansyah yang juga Ketua III Bidang Pengembangan dan Penelitian PP Kerukunan Bubuhan Banjar Sedunia menuju ke Kawasan Kota Tua Ampenan.

AMPENAN,sebuah nama yang pernah saya dengar dan baca dari beberapa tulisan sebagai kawasan yang didiami para migran dan veteran prajurit Kerajaan Banjar pada abad-abad ke-16 dan ke17. Hingga, kemudian terus menerus mengalir pendatang Banjar ke Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga sampai saat ini dengan berbagai profesi.

Sesuatu yang mirip adanya Kampung Banjar tidak jauh Kerajaan Ketapang Matan Tanjung Pura Kalimantan Barat yang pernah saya datangi saat melakukan lawatan persiapan pembentukan Karapatan Raja Sultan se-Borneo tahun 2013. Dimana penduduknya berasal dari prajurit pasukan Kesultanan Banjar dalam rangka membela kerajaan vazalnya dan sempat berpangkalan di Pangkalanbun. 

Sebelum menyeberangkan bala bantuan ke Ketapang yang dipimpin Aji Geger Pangeran Putera dari Kerajaan Paser atas perintah dari Raja Banjar, kesultanan induknya.

BACA : Safrizal Sebut, Orang Banjar Tak Pernah Menyerah Menghadapi Musibah

Ke Lombok NTB, sebenarnya kami melakukan perjalanan dalam rangka tugas sebagai Tenaga Ahli Gubernur atau biasa disebut dengan Staf Khusus Gubernur Kalsel di Pemprov NTB membahas bagaimana proses dan langkah strategis percepatan sektor pariwisata di NTB  dan membahas pengembangan sektor perikanan dan kelautan dalam meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan para nelayan.

Perjalanan ini tentu akan bermakna jika salajur-menyalajur membangun silaturahmi dan konsolidasi organisas Dalam perjalanan, kami bercakap-cakap dengan sopir taksi yang membawa kami menuju ke Ampenan. Dia bercerita tentang puak-puak yang bermukim di Ampenan.

Setiap laluan berurutan dia jelaskan dari Utara kawasan didiami suku Bugis, kemudian di batas persimpangan tiga memasuki kawasan yang didiami orang Arab. Setelah itu, kawasan didiami orang Melayu khususnya Palembang, hingga kawasan terakhir ke selatan didiami orang Banjar. Sangat nampak komunitas Banjar berada di kawasan kota tua.

BACA JUGA : Pamerkan Mandau dan Keris Warisan Leluhur Orang Banjar

Tepat di dekat jembatan, mobil taksi kami berhenti karena saya melihat sebuah masjid yang mana Ketua PW KBB NTB dan Kawasan Timur; Nanang Edward menjanjikan bertemu di masjid tua yang didirikan orang Banjar tahun 1916. 

Untuk memastikan itu, saya bertanya kepada pedagang rokok pinggiran jalan.  “ Maaf bertanya, dimana ya masjid tua yang ada di kawasan Kampung Banjar?”

Perempuan paruh baya itu menjawab,” Oh, masjid yang tiap malam Jumat banyak orang kumpul-kumpul pengajian?” Refleks saya menjawab, “ Ya!”. Sebab tak salah lagi kalau urusan kegiatan keagamaan orang Banjar ini memang nomor satu sebagaimana tulisan Lesley Potter (1995) peneliti dari Jerman dan penelitian Hasan Basri (1985) tentang orang Banjar di Solo, atau Arbain di Palangka Raya (2004).

BACA JUGA : Di Negeri Jiran, Generasi Muda Banjar Malaysia Bangga dengan Identitas Diri Urang Banjar

Kami pun menuju Masjid seperti diarahkan perempuan tadi. Memang benar, kami mendapati adanya pintu gerbang bertuliskan Kelurahan Banjar. Hal ini meyakinkan kami bahwa ini adalah kawasan bersejarah yang pernah didatangi Raden Subangsa dari Kesultanan Banjar ke Lombok yang kemudian bergelar Pangeran Taliwang karena berkawin dengan putri dari Raja Kerajaan Selaparang Islam yakni Mas Surabaya sampai melahirkan raja -raja di Mataram Lombok dan raja -raja di Bima, Pulau Sumbawa kisaran tahun 1600-1700 an.

Karena sudah mulai gelap menjelang Maghrib, Nanang Edward mempersilakan kami untuk melaksanakan shalat dulu dan bertemu dengan beberapa orang Banjar di masjid tua itu. Cerita Nanang tentang orang Banjar di Ampenan hampir sama yang diceritakan sopir taksi tadi bahwa kawasan Ampenan adalah penduduknya dominan nomor 1 etnis Banjar, nomor 2 etnis Arab, nomor 3 etnis Melayu dan nomor 4 etnis Bugis dan Tionghoa.

BACA JUGA : Ahmad Ulya Hidayat; Kisah Sukses Urang Banjar Bekerja di Freeport Indonesia

Hanya saja, karena terpencar-pencar orang Banjar di kawasan ini menyebabkan generasi berikutnya lebih  mengidentifikasi sebagai orang Lombok sebagai langkah strategi adaptasi. Sebuah kasus yang sama pada keturunan mantan prajurit perang Kesultanan Banjar yang berada di Kalimatan Barat berserah diri menjadi Melayu pada generasi berikutnya hingga hanya cerita bahwa datuk buyutnya merupakan keturunan Banjar.     

Foto lawas warga keturunan Banja di Kampung Banjar Ampenan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). (Foto Dokumentasi Taufik Arbain)

———-

Sesuatu informasi yang pernah juga saya dapati pada seorang nelayan  saat berkunjung ke Tanjung Pandan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) saat  gelaran Festival Melayu tahun 2012.  Dia mengatakan bahwa datuk buyut saya adalah orang Banjar dan diberi hadiah Raja Siak sebuah pulau kecil sembari menunjukkan pulaunya karena jasa sebagai Panglima Perang Raja di laut. 

BACA JUGA : Tradisi Unik dalam Ritual Urang Banjar Naik Haji dari Waktu ke Waktu

Teringatlah saya kaitan ucapan orangtua ini dengan buku yang berjudul Malay Civilitation  yang mengisahkan peran penting puak Melayu dalam penguasaan laut-laut Nusantara, khususnya bagian barat.

Kembali ke awal, sepanjang perjalanan dari arah utara hotel kami tempat menginap menuju selatan, saya bertanya-tanya terkait rangkaian pemukiman dari puak-puak ini, sehingga mendorong hadirnya hipotesa. Apakah kehadiran Banjar, Bugis, Melayu Arab ini bagian dari “benteng ideologis ” masa lalu karena diapit oleh dua pulau yang berbeda ideologis? Ataukah memang posisi pesisir yang menjadi primadona para perantau nusantara sebagai kawasan berniaga? 

Kami mencari tahu mengapa Banjar ada di kawasan paling selatan, apakah mereka sebagai nelayan sebagaimana kebanyakan orang Bugis atau apa?

BACA JUGA : Kolaborasi Empat Peneliti Muda Rekam Fenomena Budaya Urang Banjar Naik Haji

Sekelumit informasi didapat, rupanya orang Banjar tinggal di dekat pelabuhan  dan pasar karena pekerjaan berniaga lebih dominan, sebelum semula kedatangan karena urusan politik perang dan perkawinan Pangeran Banjar dengan Putri Raja Selaparang, kemudian disusul ke utara perkampungan orang Melayu, Arab dan Bugis dan Tionghoa.

Nampaknya kawasan Ampenan ini menarik diriset ulang terkait proses madam/migration  dengan beberapa tahapan gelombang kedatangan orang Banjar ke Ampenan, Lombok dan ke Sumbawa, sebagaimana riset-riset terdahulu untuk melihat motif gelombang kedatangan orang Banjar ke kawasan barat Nusantara seperti di Semananjung Sumatera dan Semananjung Malaya.

BACA JUGA : ULM Gagas Program Bincang Lintasan Historis Urang Banjar

Realitas ini melahirkan tesa baru bahwa kedatangan awal bisa jadi urusan politik perang, kemudian misi dakwah, kemudian motif ekonomi dan lainnya dikarenakan sudah ada para perantau pendahulu yang membuka jalan jika melihat analisis komprehensif dengan data pendukung yang masih relevan.

Era masa Raja Diraja berbeda tentunya pergerakan gelombang kedatangan era masa penjajahan, masa awal kemerdekaan dan era sekarang termasuk adanya perubahan budaya dan segala dinamikanya.

Sambil berbincang bincang di serambi masjid tua, seseorang yang bernama Abah Dinihari datang menghampiri kami. Beliau membawakan kue roko dan wadai yang masih khas Banjar. Dari melihat kemasan saya perhatikan kue ini produk yang diperdagangkan.Nanang mengatakan bahwa kue roko ini masih diproduksi oleh Banjar keturunan Sei Jingah dan Martapura. Sayang, saya lupa mengambil foto bungkusannya yang bercap sederhana.      

BACA JUGA : Sahang Banjar; Karya Mansyur dkk Ulas Sejarah Maritim Jalur Rempah Urang Banjar

Sepintas saya berpikir bahwa kulineri yang masih dikembangkan di tanah rantau bahkan mampu bertahan diperdagangkan menjadi bagian penting dari usaha melakukan diplomasi kebudayaan pada suku bangsa lain. Lebih dari itu menjadi bagian dari strategi survive eksistensi orang Banjar, tidak sekadar soal bahasa yang menunjukkan bahwa etnis itu ada, sebagaimana teori-teori lama tentang  suku bangsa.

Saat perbincangan dengan Nanang Edward, kami sangat tertarik dengan cerita-cerita bahwa relasi antar Banjar yang sudah berdiam jauh dari kawasan induk tanah rantau, terlebih sudah berkawin-mawin dengan etnis lain perlahan terjadi pelepasan identitas Banjar pada generasi ke generasi, sesuatu keniscayaan dalam sebuah peradaban.

BACA JUGA : Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan yang Merupakan Leluhur Urang Banjar

Namun demikian usaha-usaha berupa adanya majelis pengajian, arisan, halal bilhalal dan terbentuknya paguyuban seperti Kerukunan Bubuhan Banjar, tampaknya menjadi “alat rem” efektif terjadinya pengurangan pelepasan identitas tersebut. Apalagi dilaksanakan dengan aktif usaha-usaha silaturahmi tersebut dengan berbagai agenda yang mengentalkan kekerabatan. Tentu dengan semangat cangkalnya, pambariannya dan waninya  sebagaimana filosofis sebagai bangsa pejuang  dan bangsa pahlawan yang Berajadiraja.  

Cerita Nanang tidak sedikit keturunan Banjar menjadi “orang Badahi”, dari wakil walikota, anggota DPR RI, Tuan Guru hingga birokrasi dan pengusaha, serta kelas menengah dan lainnya. 

Fakta ini membuktikan bahwa sikap dan perilaku adaptifnya orang Banjar sangat bagus dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, rumput kada  maalahakan banua, hingga sikap salapik sakaguringan-sabantal sagalang gulu,  sebagai prinsip dan modal di perantauan.

BACA JUGA : Perjalanan Panjang Urang Banjar Di Riau

Apalagi tradisi madam jika sudah batis kanan melangkah, pantang berbalik muha ke balakang karena bismillah dan shalawat sudah bertitah. Soal kekentalan relasi relasi di internal suku, terlebih yang minim komunikasi menjadi kekhawatiran Nanang Edward di NTB.  Tentu usaha ini perlu diperkuat kembali. Apalagi kehadiran Kerukunan Bubunan Banjar (KBB) di masing-masing daerah didaulat sebagai pengayom, tempat berminta pendapat dan berbagi kebaikan. Sebuah tanggung jawab yang besar dari amanah menjalinkan silaturahmi. 

Taufik Arbain bersama Apriansyah (paling kanan) berfoto bersama warga Banjar di Kampung AMpenan, Lombok, NTB di serambi Masjid Nurul Qoamar. (foto Taufik Arbain)

————-

Jadi, pengorganisasian paguyuban salah satu pilar penting dalam mengekalkan dan mendorong penguatan kekentalan relasi sesama etnis ini apalagi era  4.0 sangat mudah merajut kembali.

Di akhir cerita, ada hal menarik dari Nanang Edward bahwa rupanya sejak semula, keberadaan orang Banjar tidak sekadar di kawasan Ampenan saja, bahkan di bawah kaki Gunung Rinjani yang dulu dikenal “bahantu”, didiami orang Banjar.

BACA JUGA : Kisah Kiprah Urang Banjar di Tanah Makassar

“Kampung Sembalun, itu sebenarnya awal mula diberi nama orang Banjar yakni Sembah Ulun, tetapi karena orang asli sana sulit menyebut maka tersebutlah Sembahlon. Sebab yang dominan tinggal di sana adalah orang Banjar pada awalnya,” ucap Nanang.

Basis orang Banjar ada di Kampung Banjar Ampenan Mataram, Praya, Pancor Dao, Mantang, Kopang  Lombok Tengah, Pancor dan Desa Sembalun Lombok Timur . 

BACA JUGA : ‘Urang’ Banjar Sebenarnya Dayak, Ini Teori yang Dikemukan Antropolog ULM

Kami salut dengan Nanang Edward yang sangat antusias menceritakan dan berusaha mengekalkan kembali silaturahmi apalagi usaha meneguhkan jati diri kebanjarannya orang Banjar di Lombok. Masih banyak cerita menarik terkait keberadaan orang Banjar di Ampenan ini. Insya Allah, kita akan datang lagi dengan cerita yang lebih mendalam lagi. Mari Bergerak Banjar Menjemput Dunia.(jejakrekam)

Penulis adalah Sekretaris Umum Pengurus Pusat  Kerukunan Bubuhan Banjar Sedunia

Akademisi FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/06/09/sependang-urang-banjar-di-kampung-tua-ampenan-ntb/
1 Komentar
  1. Nanang Abu Rafly berkata

    Terimakasih sudah menurunkan tulisan penting ini yg membuat saya makin bangga dg eksistensi nenek moyangku urang2 bahari yg memiliki karakter pemberani penolong sekaligus membumi dg tanah yg dipijaknya.
    Salam dr anak suku banjar di tangsel Banten.

    Nanang Abu rafly

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.