Nasib Organisasi Profesi Nakes Pasca RUU Kesehatan Omnibus Law Disahkan, Salahkah Mereka Menolak?

0

Oleh: Dr. dr. Abd. Halim, SpPD. SH.MH.MM

DAFTAR inventarisasi masalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan secara resmi telah diserahkan pemerintah kepada DPR RI. Setidaknya terdapat 3.020 daftar inventarisasi masalah pada batang tubuh serta 1.488 daftar inventarisasi masalah pada penjelasan yang telah dirangkum dari 478 pasal yang diusulkan dalam RUU Kesehatan.

MENTERI Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, upaya dengar pendapat telah dilakukan Kementerian Kesehatan sebagai sarana pelibatan publik dalam penyusunan RUU Kesehatan. Dari kegiatan sosialisasi dan partisipasi publik yang dilakukan, setidaknya telah diterima 6.011 masukan.

”Dari masukan yang diterima sebanyak 75 persen ditindaklanjuti, baik untuk DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) maupun dimasukkan ke peraturan pemerintah serta aturan turunan lainnya,” kata Menkes dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI di Jakarta, Rabu (5/4/2023).

Dari hasil DIM yang diusulkan Kementerian Kesehatan, sebanyak 10 UU dan 2 UU diubah. Jumlah itu berbeda dengan draf yang sebelumnya diberikan DPR. Pada draf dari DPR, sebanyak 9 UU dicabut dan 4 UU diubah.

Mempelajari DIM yang beredar di masyarakat dan yang saya terima dari kolega dan melihat pasal pasal yang berkaitan dengan organisasi profesi dokter (IDI), PDGI untuk dokter gigi dan organisasi profesi (OP) tenaga kesehatan (nakes) seperti PPNI IBI IAI IAKMI akan hilang keberadaannya sebagai OP tunggal dan fungsinya yang selama ini diakui oleh UU Praktik Kedokteran (Pradok) dan UU Nakes sebagai OP tunggal juga yang sangat berperan dalam pembinaan dan penegakan disiplin dan etika profesi masing- masing dan bahkan menentukan pemberian SIP oleh pemerintah daerah/kota berupa rekomendasi OP yang menjadi persyaratan pembuatan SIP.

BACA : Omnibus Law RUU Kesehatan Cabut 9 UU Kesehatan, Bagaimana Dengan Organisasi Profesi IDI Dan Perannya?

Sebenarnya dalam draf final RUU Kesehatan yang merupakan usulan inisiatif DPR RI untuk Prolegnas Prioritas tahun 2023 masalah Keberadaan OP dan perannya dalam pendidikan dan pembinaan profesi serta disiplin dan etika profesi masih diakomodir dan tetap sebagai OP tunggal untuk setiap tenaga medis dan tenaga kesehatan.

1.    Dalam pasal 1 ayat (37). Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang seprofesi berdasarkan kesamaan keahlian, aspirasi, kehendak, etika profesi, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan kesehatan.

2.   Dan dalam Bagian Kesepuluh Organisasi Profesi Pasal 314 ayat :

(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus membentuk Organisasi Profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

(2) Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi.

(3) Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membentuk perhimpunan ilmu.

(4) Pembentukan Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BACA JUGA Hubungan Kerja Dokter dan Perawat dalam Perspektif Hukum Kesehatan untuk Pelayanan Pasien

Pasal pasal diatas dihapus dalam DIM Pemerintah termasuk Pasal 475  yang isinya Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Organisasi Profesi yang telah berbadan hukum sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diakui keberadaannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Beberapa alasannya bahwa Pemerintah mengusulkan dalam UU tidak mengatur mengenai organisasi profesi, karena pada prinsipnya pembentukan organisasi profesi merupakan hak setiap warga negara untuk berkumpul yang telah dijamin dalam UUD 1945, sehingga bagian kesepuluh mengenai organisasi profesi dihapus.

BACA JUGA : Dukung IDI, DPRD Kalsel Tolak RUU Kesehatan Omnibus Law

Bagian enam tentang registrasi dan perizinan yaitu pasal 245 ayat 2 STR tidak lagi diterbitkan oleh KONSIL tapi oleh Lembaga yang dibentuk Menteri {(2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga atas nama Menteri, setelah memenuhi persyaratan.} Pasal 249 tentang SIP persyaratan rekomendasi OP (huruf c) dihapus dengan alasan adanya persyaratan rekomendasi organisasi profesi akan berpotensi menambah birokrasi dan menghambat kewenangan pemerintah daerah untuk menerbitkan SIP. Padahal disisi lain terdapat kebutuhan akan tenaga kesehatan pada daerah tersebut.

Tentang masa berlaku STR Pasal 245 ayat 5 dalam DIM Pemeritah diusulkan seumur hidup dengan alasan bahwa mengubah pemberlakuan STR yang semula 5 tahun menjadi seumur hidup karena STR lebih bersifat pada proses administratif pencatatan tanaga kesehatan sehingga cukup dilakukan sekali seumur hidup. Sedangkan proses resertifikasi yang semula ada pada STR akan dilekatkan pada proses perpanjangan SIP.

BACA JUGA : Pelanggaran Etika dan Hukum dalam Perundungan di Dunia Kesehatan dan Kedokteran

Pembahasan tentang OP, KKI dan MKDKI dan MKDTK dimasukan dalam pasal sisipan dipasal 14A yaitu (1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, Pemerintah Pusat dapat dibantu oleh Lembaga. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah. Beberapa alasannya

•     Pemerintah mengusulkan substansi baru untuk mengakomodasi kebutuhanpembentukan lembaga tertentu yang akan membantu pemerintah dalam pelaksanaan pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

•     Pembentukan lembaga tertentu seperti Konsil, Kolegium, Komite diusulkan tidak dimuat dalam undang-undang untuk memberikan flkeksibiltas pengaturan.

•     Keberadaan Konsil, Kolegium, dan Komite masih dimungkinkan, namun yang dirumuskan “lembaga” dengan huruf kecil, sedangkan pembentukan, tata kerja, dan pengorganisasian akan diatur dalam peraturan pelaksana.

BACA JUGA : Refleksi Hari Kesehatan Nasional 2022; Strategi Membangun Kemandirian dalam Pembangunan Kesehatan

Beberapa landasan hukum serta perlindungan hukum bagi WNI dan khususnya Pengurus OP dan anggotanya dapat melakukan aksi demo penolakan melanjutkan pembahasan RUU KES OBL yang saat ini bergulir di Komisi IX DPR RI adalah Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan bentuk partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Perundang ( Pasal 96 UU 13 tahun 2022 Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

BACA JUGA : Kontipasi Regulasi Virtual Hospital dan Telemedicine: Revisi UU Pradok Sebuah Harapan?

Pasal 27 ayat 1 : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Namum bagi PNS/ ASN perlu dicermati penerapan disiplin ASN dalam UU Nomor  5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan PP 94 Tahun 2021 dan sudah sejawat dokter yang mendapat pemanggilan atasan dan adanya surat dari Dirjen Yankes Kemenkes dan beberapa Kepala Dinas Kesehatan yang memperingatkan pegawainya.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua BHP2A IDI Wilayah Kalsel

Fonder Idaman Justitia Law Firm

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/05/16/nasib-organisasi-profesi-nakes-pasca-ruu-kesehatan-omnibus-law-disahkah-salahkan-mereka-menolak/
Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.