Pelanggaran Etika dan Hukum dalam Perundungan di Dunia Kesehatan dan Kedokteran

0

Oleh : Dr. dr. Abd. Halim, SpPD SH MH MM.CMed.CLA.CMHt

PERUNDUNGAN di dunia kedokteran diibaratkan sebagai penyakit kronis, kebiasaan lama yang sulit dihentikan. Peserta didik junior, residen, dan sejawat perempuan merupakan pihak yang rentan mengalami perundungan.

HAL itu terjadi karena pihak institusi maupun asosiasi profesi tidak mampu memberikan perlindungan memadai kepada terundung, sulit menerima perubahan, dan cenderung menganggap perundungan sebagai suatu kebiasaan yang sulit terelakkan.

Perundungan seakan menjadi hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) dalam pendidikan kedokteran. Perilaku buruk tersebut dapat mengganggu komunikasi dan hubungan interpersonal serta berdampak negatif pada kualitas pelayanan pasien.

Pihak yang terlibat dalam perundungan Secara umum, perundungan melibatkan pelaku (perundung) yang biasanya memiliki sifat psikososial buruk, pihak korban (terundung) yang dapat mengalami gejala depresi, serta pihak lain yang tidak terlibat dalam perilaku agresif (netral).

BACA : Tolak Praktik Perundungan di Sekolah, Smansa Muara Teweh Luncurkan Program Roots

Perundung terkadang tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan tindakan yang tidak terpuji itu.Perundungan di dunia kedokteran dapat melibatkan tenaga pendidik, residen, perawat, dan mahasiswa.

Pada umumnya korban perundungan adalah mahasiswa kedokteran, termasuk peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS), teman sejawat perempuan serta lulusan asing atau internasional. Pelaku perundungan umumnya adalah dokter senior atau pemilik otoritas. Survei terkait perundungan yang diikuti 594 anggota British Medical Association menunjukkan 220 orang pernah mengalami perundungan pada masa sebelumnya.

Survei pada 833 dokter residen di Kanada menunjukkan lebih dari 75% residen pernah menerima perilaku tidak pantas selama proses pendidikan. Sebanyak 77,1% residen pernah mengalami tindakan perundungan oleh pasien; 55,3% oleh paramedis; 51,9% oleh staf medis; 35,7% oleh residen lain dan 7,6% oleh pengelola program studi.

BACA JUGA: Pentingnya Pendidikan Literasi Digital Sosial Media Dalam Konteks Bela Negara di Kalangan Remaja

Perilaku tidak pantas tersebut paling banyak dialami oleh residen bedah (85,7%) dan paling sedikit oleh residen kedokteran keluarga (69,5).9 di lingkungan mahasiswa kedokteran, persepsi perilaku tidak pantas itu dianggap sebagai suatu pendekatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Bahkan, 10 penelitian pada 2.300 mahasiswa di 16 sekolah kedokteran menunjukkan 85% mahasiswa pernah mengalami tindakan kekerasan atau pelecehan, sedangkan 40% mahasiswa mengalami kedua perlakuan buruk itu.

Dalam penelitian tersebut tidak ditemukan pengaruh faktor etnis maupun jenis kelamin. Perundungan terhadap mahasiswa kedokteran dapat dilakukan oleh mahasiswa lain maupun pasien, tetapi selama ini residen dan tenaga pendidik yang sering disalahkan. Sebanyak 13% mahasiswa mengaku pernah mendapat perlakuan perundungan berat.

BACA JUGA : Kupas Masalah Narkoba hingga Bullying, Program Jaksa Masuk Sekolah Sasar SMP Ikhwanul Muslimin

Kaitan perundungan di lingkungan pendidikan dengan hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 pasal 33 ayat 1 menyatakan: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.”

Sementara itu, dalam Universal Declaration of Human Rights pasal 26 ayat 2, dinyatakan bahwa “Education shall be directed to the full development of the human personality and to the strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms, ….”.

BACA JUGA : Dibully Warganet di Medsos, Istri Pelaku Pemerkosa Mahasiswi ULM Minta Segera Disudahi

Berdasarkan deklarasi hak asasi manusia, pendidikan seharusnya membuat seorang individu berkembang dengan selalu mengutamakan rasa hormat. Untuk itu, selain berhak mendapatkan ilmu dari pendidik, setiap peserta didik berhak mendapatkan perlindungan dan rasa aman dari berbagai bentuk perundungan di lingkungan pendidikan. Hal tersebut merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental. Dengan demikian, perundungan merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Institusi pendidikan kedokteran memiliki peran strategis dalam upaya mencegah dan menghentikan perundungan di kalangan peserta didik. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan kurikulum khususnya dalam hal sosial-emosional, dimulai dengan mengedukasi para staf pengajar dan seluruh sivitas akademika tentang paradigma kesetaraan dalam pendidikan dan etika kesejawatan.

Bahaya perundungan terhadap pembentukan kebiasaan dan moral peserta didik, serta dampak buruknya terhadap kualitas pelayanan kesehatan harus mendapatkan perhatian serius. Para staf pengajar dan senior hendaknya menjadi role model (teladan) dalam upaya menghentikan perilaku tidak pantas itu. Penyelesaian kasus perundungan secara komprehensif dengan menyertakan semua pihak terkait harus dilakukan dengan penuh kesungguhan.

BACA JUGA : Penuhi SDM Nakes, Fakultas Kedokteran ULM Buka 6 Program Pendidikan Dokter Spesialis

Upaya menyediakan sarana khusus untuk melaporkan kasus perundungan secara rahasia dan aman, perlindungan terhadap saksi yang melaporkan kasus perundungan, serta pemberian sanksi yang tegas dan objektif terhadap setiap pelaku perundungan juga harus dilaksanakan secara. konsisten.

Berbagai upaya tersebut akan lebih berhasil dan terasa manfaatnya apabila dilaksanakan secara menyeluruh dan disepakati oleh semua institusi pendidikan kedokteran. Dalam hal ini, Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) bersama-sama dengan Kolegium Kedokteran Indonesia (KKI) memiliki peran strategis dalam menetapkan kebijakan nasional untuk mengatasi perundungan di lingkungan pendidikan kedokteran.

BACA JUGA : Membanggakan, Tim Fakultas Kedokteran ULM Juarai Olimpiade Anatomi Nasional Amygdala 2022

Dalam organisasi profesi kedokteran di Indonesia, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) memiliki peran penting dalam mencegah dan mengatasi pelanggaran etik terkait perundungan. Bekerja sama dengan institusi pendidikan kedokteran, MKEK dapat menginisiasi perbaikan kurikulum pendidikan dengan memasukkan nilai-nilai etik dasar dan penerapannya secara bertahap, sistematis, dengan mempertimbangkan perkembangan situasi terkini.

Sejak awal masa pendidikan, hendaknya setiap peserta didik diperkenalkan dengan nilai-nilai etik dasar beneficence, nonmaleficence, autonomy, dan justice.

Prinsip kesetaraan dalam proses pendidikan dengan tetap mengedepankan kesantunan, tanggung jawab, integritas, dan etika kesejawatan harus terus-menerus diingatkan kepada seluruh peserta didik. Hal itu sejalan dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), khususnya tentang Kewajiban Umum (pasal 1-4, dan 9-10), Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawat (pasal 18-19).

BACA JUGA : Cetak 1.978 Dokter, Fakultas Kedokteran ULM Luluskan 3 Dokter Spesialis Penyakit Dalam Terbaik

Selain itu, MKEK bekerjasama dengan Dewan Etik Perhimpunan Dokter Spesialis/profesi juga berperan penting dalam upaya pencegahan dan penghentian tindakan perundungan, khususnya dalam lingkungan pendidikan dan profesi dokter spesialis yang bersangkutan. Kerja sama tersebut hendaknya juga diperkuat dengan melakukan koordinasi dengan institusi lain di luar profesi maupun pendidikan kedokteran.

Walaupun bullying telah diatur secara masif di hukum nasional, tetapi di Indonesia tindakan bullying telah diatur di dalam beberapa kamar hukum. Lantas, apa ancaman pidana bagi pelaku bullying? Hukuman bullying telah tertuang dalam KUHP.

BACA JUGA : Belajar dari Kasus Unila, Sasangga Banua Soroti PMB Jalur Mandiri Fakultas Kedokteran ULM

Pasal-pasal yang menjerat pelaku bullying yaitu Pasal 351 KUHP tentang Tindak Penganiayaan, Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan, dan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tentang Perundungan yang Dilakukan di Tempat Umum dan Mempermalukan Harkat Martabat Seseorang. Selain itu, ada pasal yang mengatur tentang tindak bullying yang mengarah ke pelecehan seksual yaitu Pasal 289 KUHP tentang Pelecehan Seksual.

Hukuman bullying juga diatur di dalam Pasal 76 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak yang menjelaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 Juta.

BACA JUGA : Zona Merah Stunting di Kabupaten Banjar, BEM Fakultas Kedokteran ULM Turun ke Desa Bunglai

Hukuman bagi pelaku bullying bisa lebih berat lagi apabila korban yang ia rundung bunuh diri. Dalam Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur bahwa barangsiapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun jika orang tersebut bunuh diri.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa apabila dalam peristiwa bullying mengandung hasutan atau anjuran untuk bunuh diri hingga korban bunuh diri, maka pelaku dapat dikenai dengan Pasal 345 KUHP.

Tak hanya gugatan secara pidana, seorang pelaku bullying juga dapat dikenai dengan pengaturan hukum perdata. Ini karena di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, korban juga memiliki aspek perdata sebagai hak untuk menuntut ganti rugi secara metril atau immateril terhadap pelaku.

BACA JUGA : RUU Pendidikan Kedokteran; Harapan Besar Bagi Masyarakat dan Dokter

Gugatan secara perdata ini tercantum pada Pasal 71D ayat (1) juncto Pasal 59 Ayat (2) Huruf I Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang secara umum memberikan kesempatan kepada korban untuk mengajukan gugatan perdata untuk menunut ganti rugi kepada pelaku kekerasan atas dasar telah melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan Pasal 1364 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cyber bullying adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebelum adanya UU ITE, peraturan yang sering digunakan adalah Pasal 310 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait penghinaan dan pencemaran nama baik.

Namun, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, penghinaan dan pencemaran nama baik yang diatur di dalam Pasal Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP tersebut tidak dapat digunakan untuk perbuatan cyber bullying.

Pada tahun 2016, diterbitkan peraturan baru terkait dengan ITE, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

BACA JUGA : Kewajiban Etik dan Hukum bagi Dokter dalam Menjalankan Praktik Kedokteran dan Aspek Pidananya

Sanksi bagi pelaku cyber bullying terdapat dalam pasal Pasal 45 ayat (3), yang berbunyi ‘Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)

Kesimpulan

Perundungan di dunia pendidikan kedokteran masih kerap terjadi, terutama dilakukan terhadap peserta didik junior. Pada kenyataannya, perundungan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai etik dasar.

BACA JUGA : Tinjauan Yuridis; Pemberian Informasi Terkait Rahasia Kedokteran dan Sanksi Pidana

Untuk itu, upaya mengatasi perundungan harus dilakukan terus-menerus, berupa intervensi institusi pendidikan dalam hal perbaikan kurikulum, menciptakan lingkungan kerja aman dan nyaman, serta memperkuat kesadaran setiap individu untuk menghentikannya. Selain itu kerja sama antarlembaga terkait juga diperlukan dalam penetapan kebijakan yang selaras demi kepentingan Bersama.

Perundungan di dunia kesehatan dan kedokteran selain melanggar etika profesi dan juga dapat dikategorikan sebagai pembuatan melawan hukum yang bisa dijerat dengan KUHP dan KUHPerdata dan UU Perlindungan anak dan UU ITE. (jejakrekam)

Penulis adalah Sekretaris Umum PP Perhimpunan Dokter Hipnosis Medik Indonesia (PDHMI)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/02/12/pelanggaran-etika-dan-hukum-dalam-perundungan-di-dunia-kesehatan-dan-kedokteran/
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.