Saranjana, Ethnic State Suku Dayak Samihim; Sebuah Hipotesa Awal (3-Habis)

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

BAGAI mencari jarum dalam tumpukan jerami. Seperti itulah penggambaran upaya mencari sisi realitas dari mitos wilayah Saranjana. Semakin dekat, jalan semakin gelap. Sisi gaib, metafisika yang akhirnya banyak mengemuka di ranah ini. Walaupun demikian, sisi ilmiah bukan penggambaran hal yang kasat mata. Vonis yang ekstrem: “penelitian ilmiah tidak percaya hal-hal yang gaib”.

PENELITIAN ilmiah didasarkan dengan metode ilmiah. Metode Sejarah atau Historical Method. Satu di antara tahapannya adalah interpretasi. Pada tahap ini, memang memunculkan banyak hipotesis (dugaan sementara). Hal ini akibat kurangnya data tertulis sehingga dasar utama meneliti Saranjana hanya bertumpu pada sumber lisan.

Walaupun demikian secara metodologis, tetap bisa menjangkaunya. Dalam artian, dengan metode sejarah, tetap berupaya mengungkap keberadaan Saranjana walaupun hanya sampai tataran dugaan bersifat sementara. Tentunya, data baru yang mungkin bisa untuk mengu-bahnya.

Menelusuri keberadaan wilayah Saranjana dalam persfektif ilmiah, memunculkan beberapa dugaan sementara. Berikutnya, bisa meningkat statusnya menjadi teori. Hipotesa pertama, bahwa Saranjana adalah wilayah kekuasaan dari Suku Dayak yang bermukim di Pulau Laut. Suku Dayak dengan kehidupan semi nomaden.

Perkampungan masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan dengan latar belakang pemandangan gunung. (Foto KILTV Lieden)

BACA : Wilayah Kota Gaib Saranjana, Fakta Bukan Mitos (1)

Suku Dayak yang dimaksud adalah Dayak Samihim sub-etnis suku Dayak yang mendiami daerah timur laut Kalimantan Selatan. Noerid Haloei Radam berpendapat orang Dayak Samihim diperkirakan termasuk rumpun Maanyan. Dugaan bercerai berainya sub suku Maanyan sampai ke Pulau Laut, disebabkan penaklukan daerah-daerah sekitar saat pembentukan Kerajaan Negara Dipa. Dalam sumber lisan, nyanyian atau wadian Orang Maanyan, kerajaan mereka yang dikenal dengan Nan Sarunai dirusak oleh pasukan Jawa (disebut dari Marajampahit atau Majapahit).

BACA JUGA : Dari Saranjana, Saranghaeyo Hingga Sarangtiung: Menguak Tabir Asal Nama Saranjana (2)

Kemungkinan besar Empu Jatmika memerintahkan hulubalang-nya, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa dengan pasukannya menaklukkan orang Maanyan yang tidak mau menjadi rakyat Kerajaan Negara Dipa. Sebagian kelompok Orang Maanyan terusir. Kemudian mereka melakukan pengusian ke berbagai penjuru di Kalimantan.

Termasuk orang Dayak Samihim yang menetap di kawasan Pamukan, Cengal, Manunggul, Bangkalaan hingga Pulau Laut yang nantinya menjadi bagian wilayah Kerajaan Tanah Bumbu. Pendapat lain seperti tertulis dalam buku Sejarah Kotabaru bahwa sebelum masuknya agama Islam, daerah Kotabaru didiami penduduk dari suku Dayak yang menganut kepercayaan Animisme. Baik di Kotabaru (Pulau Laut), Cengal, Cantung, Sampanahan dan lainnya masih hidup berkelompok.

BACA JUGA : Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan yang Merupakan Leluhur Urang Banjar

Kapan kurun waktu keberadaan wilayah Saranjana yang diperkirakan wilayah dari Suku Dayak Samihim? Diduga sebelum tahun 1660 an Masehi. Dengan kata lain sebelum abad 17. Alasannya, pada tahun 1660 berdasarkan catatan Goh Yoon Fong, Pulau Laut sudah menjadi tanah apanage/apanaze Pangeran Purabaya dari Kesultanan Banjar.

Lengkapnya Goh Yoon Fong menuliskan “permufakatan bangsawan Banjar memutuskan bahwa Raden Bagus diangkat sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Amarullah Bagus Kusuma (1660-1663). Kemudian sebagai penghormatan dan imbalan perdamaian, Pangeran Purabaya diberikan daerah Pulau Laut sebagai tanah apanagenya”.

BACA JUGA : Nansarunai Ditaklukkan dengan Tiga Misi Militer Majapahit

Saranjana masa awal, adalah suatu ethnic state atau negara suku. Hal ini sesuai Teori Kulke yang membagi formasi negara di Asia Tenggara terjadi dalam tiga fase, yaitu negara suku, negara awal, dan negara kerajaan. Saranjana berbentuk pemerintahan Negara Suku (Ethnic State) di fase pertama. Ethnic State ini “mati” tanpa sempat mengalami masa transisi. Alasan penggolongan ini, karena dalam upaya untuk mengungkapkan dan menjelaskan Saranjana sangat bertumpu kepada historiografi tradisional yakni legenda kerajaan Pulau Halimun.

BACA JUGA : Melacak Jejak Keraton Banjar, Apakah di Kuin atau Pulau Tatas?

Historiografi tradisional mempunyai ciri-ciri yang menonjol dan saling berkaitan, yaitu: (1) etnosentrisme, (2) rajasentrisme, (3) antroposentrisme. Demikian pula dalam melacak latar belakang keberadaan Saranjana masih sangat tergantung kepada cerita rakyat berbentuk legenda turun temurun ini. Informasi yang diperoleh dari cerita Legenda Pulau Halimun ditandai sifat-sifat mistis, legendaris, dan tidak ada kronologis unsur waktu dalam urutan ceritanya.

Pasar di tepian sungai di Teluk Pamukan, Kotabaru yang menjadi pemukiman warga di masa kolonial Belanda. (Foto KITLV Lieden)

Menurut Kulke dalam Vida, negara suku atau negara etnik hanya terdiri dari satu etnik dan tatanannya diatur oleh tradisi yang ditransformasikan dari nenek moyang ke generasi berikutnya. Keberadaan Saranjana memang tidak didukung sumber tertulis yang memadai. Posisi kepala suku sudah dikenal dalam masyarakat Saranjana saat itu. Dalam hal ini, apabila bertumpu pada sumber lisan Legenda Pulau Halimun, selaku kepala suku adalah tokoh bernama Sambu Ranjana.

BACA JUGA : Hormati Raja I Pulau Laut, RSUD Kotabaru Berganti Nama Pangeran Jaya Sumitra

Sebagai Ethnic State, tentunya Kerajaan Saranjana belum memiliki pengaturan atau birokrasi seperti kerajaan yang berada dalam fase negara awal dan negara kerajaan. Mengutip pendapat Vida Kusmartono yang memotret Kerajaan Nan Sarunai dengan teori yang sama yakni Teori dari Kulke,negara atau kerajaan ethnic state tidak bersifat tirani bagi yang diperintahnya.

Masyarakat Saranjana adalah masyarakat yang homogen. Mereka menata kehidupan komunitasnya dengan sangat harmonis sesuai dengan aturan adat yang berisi hukum tradisional, termasuk larangan-larangan dalam hukum adat. Hubungan fundamental di dalam lingkungan Kerajaan tercipta berdasarkan genealogis atau hubungan kekerabatan.

BACA JUGA : Embrio Nama Kotabaru Berawal dari Konsesi Batubara Belanda Era Pangeran Amir Husin

Dalam perkembangannya, kehidupan suku pendukung “Negara Suku” Saranjana berlangsung hingga berabad-abad. Pemerintahan yang berlaku masih dijalankan secara sederhana. Mereka mendirikan tempat tinggal sementara sebelum pindah ke lokasi lainnya seperti digambarkan H. Ling Roth pada pertengahan Abad ke-19.

Daerah-daerah yang menjadi wilayah Kerajaan Saranjana meliputi Pulau Halimun (wilayah Pulau Laut) bagian selatan. Dengan status Kerajaan Suku, Kerajaan Saranjana tidak pernah tercatat melakukan ekspansi atau perluasan wiayah, baik dengan peperangan maupun klaim wilayah kekuasaan.

BACA JUGA : Kisah Berlian Banjar di Rijskmuseum Amsterdam; Tragedi Sebuah Regalia

Dalam perkembangannya, Kepala suku Dayak Samihim di wilayah “ethnic state” Saranjana, kemungkinan besar tokoh Sambu Ranjana sudah mulai mendapat pengaruh unsur Hindu lama. Sesuai dengan pendapat Faisal Batennie. Beliau mengungkapkan agama yang pertama kali berkembang di Pulau Laut adalah agama Hindu.

Selain itu, hal ini dapat ditinjau dari aspek bahasa, linguistik yang berhubungan dengan nama. Nama “Sambu” (Shambu) tidak terlepas dari kepercayaan Hindu. Misalnya dalam Reg Veda (Reg Weda). Nama Sambu adalah bagian dari 11 rudra atau rudra prana. Sambu memiliki makna bertemu atau bergabung. Versi lain Sambu berarti artinya kuat, berani, dan bijaksana. Sementara arti kata “Ranjana” dalam Bahasa Kawi adalah bergembira.

BACA JUGA : Pegang Prinsip Huma Betang, Darius Dubut : Jika Merusak Alam Bukan Lagi Orang Dayak

Mengenai pindahnya Suku Dayak Samihim dari lokasi Kerajaan Saranjana, bisa dihubungkan dengan tulisan Schwaner: “Historische, Geograpische en Statistieke Aanteekeningen Betreffende Tanah Boemboe”, tahun 1851. Memang belum bisa dipastikan apakah tulisan Schwaner tersebut menggambarkan Kerajaan Saranjana atau bukan.

Sejumlah perobot atau perlengakapan rumah tanggayang digunakn masyarakat Dayak. (Foto KITLV Leiden)

Menurut Schwaber, “kisah-kisah tertua beredar sampai penduduk asli di tempat itu yang disebut Suku Dayak menjadi kaya dan kuat, serta hidup di kampung-kampung yang dikelilingi oleh kebun-kebun yang luas dan indah, di bawah raja-raja yang berasal dari mereka dan keturunannya.

BACA JUGA : Pendekatan Ekologis Dayakologi Terbukti Mampu Tangkal Perubahan Iklim Kalimantan

Sejarah kerajaan itu tercampur dengan kisah berbagai peristiwa alam gaib, tindakan legendaris dan adat barbar dan berakhir dengan kehancuran daerah itu akibat perang dengan kekuatan asing yang datang dengan perahu, menyerang penduduk dan menghancurkan wilayahnya. Ribuan orang terbunuh dan sisanya dipukul mundur sampai pegunungan tinggi, dimana karena tekanan sampai sekarang mereka menjadi ketakutan dan bersembunyi, tinggal dalam beberapa keluarga dan tersebar di kampung-kampung kecil.”

BACA JUGA : ‘Urang’ Banjar Sebenarnya Dayak, Ini Teori yang Dikemukan Antropolog ULM

Kesimpulan, berdasarkan hipotesa ini bahwa Kerajaan Saranjana muncul sebelum tahun 1660 an atau pra Abad ke 17 Masehi. Saranjana berbentuk Kerajaan Ethnic State (Negara Suku) dari Suku Dayak Samihim. Kepala Suku pertama adalah Sambu Ranjana. Awalnya menganut kepercayaan animisme. Tetapi seiring perkembangannya, mulai mendapat pengaruh Hindu lama.

Hal ini dibuktikan dengan nama Sambu Ranjana yang dipengaruhi unsur Hindu. Suku Dayak yang nomaden sempat mengalami kejayaan. Pada akhirnya, kelompok Suku Dayak Samihim tersebut meninggalkan wilayah Saranjana akibat perang dengan kekuatan asing yang datang dengan perahu, menyerang penduduk dan menghancurkan wilayahnya. Walaupun sudah meninggalkan wilayahnya, nama pusat kekuasaan Suku Dayak Samihim di Pulau Laut, sampai sekarang tetap dinamakan dengan Saranjana.(jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Pencarian populer:dayak samihim,saranjana
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.