Pendekatan Ekologis Dayakologi Terbukti Mampu Tangkal Perubahan Iklim Kalimantan

0

DISKUSI virtual menghadirkan sejumlah pakar menyorot filosofi masyarakat Dayak; Huma Betang; Belum Bahadat atau Dayakologi, terkait dengan perubahan iklim yang membuat bumi Kalimantan selalu diterpa bencana hidrometeorologi.

USAI akademisi STT GKE Banjarmasin dan intelektual Dayak dari Ikatan Cendikiawan Dayak Nasional (ICDN) Kalimantan Selatan; Dr Darius Dubut membeber pendekatan ekologis masyarakat Dayak Maanyan dalam menyelamatkan alam Borneo.

Giliran Setia Budhi, angkat bicara dalam diskusi virtual membahas Dayakologi (ilmu yang mempelajari tentang kebudayaan, adat istiadat, perilaku-perilaku dan asal usul dari Dayak itu sendiri) di aplikasi zoom, Jumat (26/11/2021) sore.

Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini menyebut perubahan iklim saat ini sangat luar biasa terjadi kepada bumi Kalimantan. Setia Budhi merasa, sudah saatnya jangan menganggap biasa-biasa saja dalam menyikapi perubahan iklim yang kini sudah menggerus kehidupan manusia lewat kondisi alamnya.

BACA : Antropolog UIN Antasari : Salah Kaprah, Justru Masyarakat Dayak Itu Pelestari Hutan

“Keorganisasian Dayak sangat banyak, baik formal maupun non-formal. Ormas-ormas ini tidak bersinergi dengan baik, terkesan sporadis. Harusnya bisa bersinergi antar daerah, bahkan di pengujung pulau sana saling menjalin dan bersinergi,” ungkap intelektual Dayak Bakumpai dalam ICDN Kalsel ini.

Menurut Budhi, keaktivisan para ormas Dayak nampaknya berkurang dalam menjalankan subtansi keorganisasiannya saat ini. Bahkan, terkesan jauh dari kata peduli dalam memandang kondisi alam yang terjadi.

“Ormas Dayak saat ini belum menukik dan tidak tajam dalam pergerakannya, terlebih dalam menyoroti kondisi bumi Kalimantan saat ini. Contohnya tenggelamnya Sungai Barito, sepertinya dianggap biasa dan dilewatkan begitu saja. Mestinya ada pergerakan, tidak menganggap biasa-biasa saja,” ujar doktor antropolog lulusan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) ini.

BACA JUGA : Pegang Prinsip Huma Betang, Darius Dibut : Jika Merusak Alam Bukan Lagi Orang Dayak

Apalagi hujan berhari-hari, menurut Budhi, perlu dipertanyakan kondisi alam saat ini terlepas dari musim hujan, tentu ada pengaruh alam yang tidak baik-baik saja. “Maka memahami kondisi ini perlu dengan adanya pendekatakan local wisdom (kearifan lokal) yang menjaga alam dan lingkungannya,” ucap peneliti senior ini.

Bahkan, menurut Budhi, local wisdom mampu memberikan atau sumbangsih kepada perubahaan iklim saat ini. Sebab, Budhi memandang secara leluhur orang Dayak dulu lebih menjaga alamnya karena mereka saling menjaga sesama antar kehidupannya.

“Tidak hanya cara orangtua kita menanam padi atau semacamnya, tetapi jauh dari itu kita lihat. Generasi saat ini, bisa dikatakan adalah generasi abai kepada lingkungan kita,” ucap Budhi.

BACA JUGA : Diawali Aruh Basambu dan Bawanang, Syukur Hasil Panen, Dayak Loksado Gelar Aruh Ganal

Karena, menurut dia, semisal orang-orang Dayak Meratus sangat kuat dalam merawat padi. Sebab, jika tidak ada itu maka tidak ada ritual atau ritus-ritus semacam aruh dalam kepercayaan Kaharingan yang dianut mereka. “Apabila tidak ada ritual, berlanjut kepada kematian,” tutur Budhi.

Wakil Internasional BDF Andrew Ambrose Aka Atama Katama saat berbicara di forum intelektual Dayak Borneo. (Foto Rahim Arza)

Wakil Internasional Borneo Dayak Forum (BDF), Andrew Ambrose Aka Atama Katama pernah menyuarakan soal local wisdom dalam perlibatannya sebagai masyarakat adat Dayak pada acara PPB di New York.

Menurut Atama lagi, pencemar-pencemar udara ada di Barat (Eropa), bukan berasal dari wilayah Asia. “Kotoran karbon itu diciptakan orang-orang Barat, yang memproduksi mesin-mesin teknologi seperti mobil dan sebagainya secara massif,” ungkapnya.

BACA JUGA : ‘Urang’ Banjar Sebenarnya Dayak, Ini Teori yang Dikemukan Antropolog ULM

Padahal, beber Atama, kearifan ekologis lokal sangat penting dibahas dalam forum-forum dunia, sehingga mereka bakal memahami aspek local wisdom dalam nilai-nilai kultural Dayak dengan alamnya.

“Kearifan ekologis lokal, belum diukur oleh para akademis, saintis dan lainnya, dalam meneliti aspek-aspek itu. Perlu ada pendekatan bangsa Dayak kepada pemerintah untuk menyuarakan itu,” ujarnya.

BACA JUGA : Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan yang Merupakan Leluhur Urang Banjar

Dosen Fakultas Hukum, Lena Hanifah merasa sangat penting pembahasan ini dibawa di bangku perkuliahan. Dengan begitu, dapat menyebarkan pemahaman kepada generasi selanjutnya untuk peduli terhadap lingkungan dalam aspek local wisdom tersebut.

“Menurut saya sangat perlu sekali disebarkan terkait Dayakologi ini. Adat istiadat yang mempertahankan alamnya, perlu sekali ada mata kuliah di bangku akademik,” tandas Lena.(jejakrekam)

Penulis Rahm Arza
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.