Wage, Hari Musik Nasional, dan Jalan Bijaknya

0

Oleh : Sumasno Hadi

SEJAK tahun 2013, publik kita telah memperingati Hari Musik Nasional di setiap tanggal 9 Maret. Soal ini, ada dasar historis dan kaitannya dengan Wage.

PADA mulanya adalah kelahiran bayi bernama Wage di hari Kamis Wage (weton/hari pasaran Jawa) bulan Maret 1903, pada sebuah dusun di Purworejo Jawa Tengah. Wage adalah anak  Djoemeno Sastrosoehardjo, seorang sersan tentara KNIL, dengan isterinya yang bernama Siti Senen. Siapa Si Wage ini? Tentu bukan siapa-siapa, sebelum kita mengenal nama tambahan “Soepratman”, yang diberikan ayahnya beberapa bulan setelah kelahirannya.

Kita pun semakin mengenalnya setelah kakak perempuannya menambahkan nama “Rudolf”, agar ia bisa diterima masuk sekolah Eropa-Belanda di Makassar. Ya, dialah Wage Rudolf Soepratman, sang penggubah lagu kebangsaan kita, “Indonesia Raya”.

BACA : Hanya Gamalan, Istilah Karawitan Tak Dikenal dalam Khazanah Kultur Musik Tradisional Banjar

Sepeninggal WR. Soepratman, sejak ditetapkan pada 17 Agustus 1954, “Indonesia Raya” praktis dapat dikatakan telah menjadi identitas nasional kita. Sebagai lagu kebangsaan, “Indonesia Raya” pun acapkali menjadi juru bicara estetis bangsa Indonesia di pelbagai perhelatan internasional.

Baik pada acara-acara resmi kenegaraan, pertandingan olahraga, maupun perhelatan kebudayaan lainnya. “Indonesia Raya” sudah dipercayai dan terbukti, mampu menghadirkan nasionalisme-patriotis yang kuat bagi bangsa kita. Dari peran penting “Indonesia Raya” dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, maka sangatlah beralasan jika Pemerintah kita kemudian menetapkan Hari Musik Nasional berdasarkan hari lahir WR. Soepratman.

BACA JUGA : Dari Musik Panting dan Bagandut, Seniman dan Budayawan Tapin Ibnu Mas’ud Tutup Usia

Penetapan itu tertuang pada Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013 di masa pemerintahan Presiden SBY yang lalu. Meski pada masa permulaan pasca penetapan muncul perdebatan soal tanggal kelahiran WR. Soepratman (data sejarah menyebutkan WR. Soepratman lahir pada 19 Maret 1903), namun, perhatian publik kita hari ini nampak lebih fokus pada substansi Hari Musik Nasional ketmbang memperdebatkan soal tanggal. Lantas, apa substansi dari Hari Musik Nasional yang akan terus kita peringati di setiap tanggal 9 Maret ini? Paling tidak, ada dua wacana substantif di dalamnya.

Pertama, nilai-nilai musik dalam konteks pendidikan nasional kita. Wacana yang kedua, tentu saja adalah persoalan dunia musik itu sendiri. Pada ranah pendidikan kita, diketahui pelajaran musik menjadi salah satu muatan penting dalam pelajaran kesenian di sekolah. Penyelenggaraan pembelajaran seni (musik, tari, teater, seni rupa, juga sastra) di sekolah ini dimaksudkan oleh kurikulum pendidikan nasional untuk melatih kepekaan estetis, membangun apresiasi seni yang baik, serta merangsang daya kreatif siswa secara kontekstual.

BACA JUGA : Lestarikan Budaya Banjar, Himpunan Mahasiswa Gelar Pertunjukan Musik Panting

Di sinilah nilai pendidikan seni dalam pelajaran kesenian perlu diberikan konteks yang nyata. Yakni konteks budaya bangsa Indonesia, baik pada budaya nasional maupun kedaerahannya. Dengan kata lain, pembelajaran kesenian di sekolah bukanlah kelas khusus yang menyiapkan siswa untuk menjadi seniman. Bahwa kelak mereka ada yang menjadi musisi atau penari profesional misalnya, tentu tidak menjadi masalah.  Kompetensi dasar pembelajaran kesenian bagi siswa adalah menjadikan mereka insan terdidik yang memiliki kepekaan/apresiasi estetis dan daya kreatif, apapun nanti pilihan profesinya di masyarakat.   

Kembali pada konteks musik, sebetulnya seperti apa musik yang bernilai pendidikan itu? Bukankah musik hanyalah karya seni yang bernilai hiburan belaka? Bukankah budaya musik banyak memiliki konten negatif yang bertentangan dengan moral sosial? Soal fungsi hiburan dan sisi negatifnya, hal ini akan menjadi jelas ketika kita dapat membedakan posisi musik sebagai estetika (seni) dengan musik sebagai ekspresi budaya (tradisional dan kontemporer) yang relativistik.

BACA JUGA : Berbagi Tugas, NSA PM Fokus Kelola Even dan Akacarita Garap Musik Tradisional Banjar

Di sinilah peran pendidikan musik akan menemukan fungsinya. Melalui pendidikan musik, yang tentu saja saintifik dan kreatif, guru musik profesional sebagai fasilitator pembelajaran akan mampu membawa siswanya pada pengalaman musik yang bernilai pedagogik.

Soal asumsi dasar kuatnya nilai pedagogik (baca pendidikan) dalam musik, kita dapat belajar pada sejarah peradaban bangsa-bangsa tua dunia. Satu contoh adalah bangsa Yunani klasik, yang dulu telah menerapakan pelajaran musik dalam pendidikan dasar mereka. Di kota kuno Athena misalnya, pendidikan dasar mereka dari usia 7-16 tahun hanya fokus pada dua bidang saja. Yakni sekolah palaestra (kurikulum keolahragaan) dan didascaleum (kurikulum musik).

BACA JUGA : Bangkitkan Musik Rock Melayu, KPMRM Helat Lomba Nyanyi Cover Secara Virtual

Pelajaran keolahragaan menekankan pada pada harmonisasi fisik/tubuh, sedangkan pelajaran musik meliputi pelatihan baca-tulis, berhitung, dan bernyanyi. Contoh lain di Nusantara, para anak-anak raja Jawa klasik sejak dini diwajibkan belajar sastra-gending, sebagai dasar kesenian karawitan (musik), tari dan pewayangan.

Di sini, jelas sekali bahwa budaya masayarakat masa kuno telah mampu melihat nilai kecerdasan literasi, intelektual, dan estetika dalam musik. Ketika peradaban modern manusia telah menghasilkan kemajuan ilmu pengetahuan yang saintifik, begitu pula musik telah menjadi bidang ilmu yang mapan.

BACA JUGA : Cover Lagu-Lagu Lawas, Anang Rosadi pun Bikin Studio Musik Mini

Maka lahirlah ilmu-ilmu musik seperti harmoni, komposisi, aransemen, etnomusikologi, piskologi musik, dan sebagainya. Di Indonesia, perkembangan ilmu pendidikan musik pun dapat kita lihat pada berbagai kurikulum pada kampus-kampus keguruan yang menyelenggarakan program pendidikan musik. Program Kemdikbudristekdikti dalam penanaman nilai budi pekerti luhur pada aktivitas rutin menyanyikan lagu wajib nasional dan lagu-lagu daerah di kelas, jelas menjadi salah satu aplikasi pendidikan musik yang perlu dipertahankan. Oleh karenanya, penguatan pelajaran musik dalam kurikulum pendidikan nasional kita menjadi sebuah keniscayaan untuk terus dikembangkan.

Kemudian, wacana penting kedua di balik Hari Musik Nasional kita hari ini adalah, dengan melihat sejauh mana perkembangan budaya musik kreatif kita mampu mendukung kehidupan masyarakatnya. Pada konteks ini, musik tradisi dan musik kontemporer (baca: masa kini) kita perlu dipisah-bedakan. Pada bentuk musik tradisional bangsa Indonesia, di mana musik cenderung dihidupi oleh ritual keyakinan budayanya, tantangan di depan kita hari ini adalah dalam memosisikannya secara relevan pada realitas budaya hidup masyarakat hari ini.

BACA JUGA : Bunyi Banjar: Catatan Etnomusikologi Musik Banjar

Di sini, kerap muncul kegelisahan para pemusik tradisional kita mengenai penggerusan, bahkan penghancuran nilai-nilai budaya pada banyak fenomena inovasi karya musik yang berbasis tradisi. Misal, pengembangan musik karawitan (gamelan dll.) dengan menggunakan pendekatan musik Barat yang kerap dipersoalkan. Kegelisahan semacam ini tentu wajar.

Dan salah satu solusi paradigmatiknya adalah dengan selalu menggunakan pendekatan kontekstual. Pada konteks mana musik tradisi kita bernilai normatif, dan mana yang bernilai kreatif. Ketika konsep kreativitas dikedepankan, sebenarnya sudah mengarah pada musik dalam konteks artistik (baca: seni).

BACA JUGA : Musikalisasi Puisi EBTAM, Mengangkat Karya Sastrawati Nailiya Nikmah

Ketika kebebasan kreatif yang telah menjadi semacam aksiologi musik seni, maka pada ranah inilah musik akan relatif lebih mudah untuk dikembangkan—dibandingkan musik tradisi yang berbasis budaya ritual. Oleh karena sifat keterbukaan nilai seni itulah, maka musik-musik seni yang bervisi global pun cenderung lebih cepat berkembang. Dan ketika nilai seni musik ini bertemu dengan budaya industri abad 20 yang lalu, maka seketika musik populer jadi mengglobal. Pertanyaan kritisya, apa pencapaian musik populer Indonesia bagi perkembangan kebudayaannya? Apa kontribusi industri musik kontemporer Indonesia bagi kesejahteraan masyarakat?

BACA JUGA : Tradisi Bagarakan Sahur, Kultur Banjar Semarakkan Dinihari Ramadhan

Berbicara soal musik populer Indonesia, setidaknya kita membicarakan bentangan industri musik di tanah-air sejak dekade 1950-an hingga hari ini. Di dalamnya, kita pun mencatat fenomena penting budaya musik populer Indonesia. Mulai dari orkes Melayu, keroncong, musik ngak-ngik-ngok, pop kreatif, revolusi dangdut, tangga lagu radio, demam campur sari, album sejuta copy , Ring Back Tone (RBT), hingga platform sportify.

Sampai sini, secara romantik biasanya kita akan merindukan masa-masa dulu, yakni ketika musik populer Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Lalu kita pun akan banyak mengeluh atas penetrasi musik populer dari negeri asing. Kita akan menolak Rock and Roll, anti K-Pop, dan seterusnya.

BACA JUGA : Ternyata Dengerin Musik Bikin Kamu Tambah Semangat!

Dari inti wacana di atas, pada akhirnya kita musti mengambil jalan bijak dalam memaknai fenomena Hari Musik Nasional. Yakni dengan menempuh jalan ilmu dan kearifan hidup. Pada ilmu pengetahuanlah kita akan ditunjukkan budaya musik sebagai produk kecerdasan manusia yang amat bernilai. Pada kearifan hidup, musik pun akan tampak maknanya sebagai kejujuran suara hati, yang kemudian akan dibunyikan oleh berbagai etnik dan budaya manusia yang aneka. Musik pun akan tetap menemani sejarah bangsa kita ke depan, yang masih panjang. (jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Musik dan Filsafat di FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM)

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.