2024 Kurangi Jejak Karbon: Serius Tangani Sampah hingga Tanam Pohon

0

Oleh : Akbar Rahman

MEDIO 2023 dunia disentakkan pernyataan Sekjen PBB Antonio Guterres tentang Global Boiling. Bumi telah memasuki fase pendidihan global naik dari fase sebelumnya, pemanasan global.

HAL ini menandai, bumi yang kita tempati sedang tidak baik-baik saja. Akibat aktivitas manusia dengan jejak karbon yang semakin meningkat merupakan aktor utama pendidihan bumi.

Sinyal ini juga mengkonfirmasi, tidak terjadinya penurunan jejak karbon yang telah diusahakan sejak 5 dekade terakhir. Dampaknya, ancaman cuaca ekstrem penyebab bencana alam banjir, longsor, kekeringan hingga kebakaran akan semakin intens. Kerugian besar telah membebani oleh setiap negara akibat bencana iklim, termasuk Indonesia.

Sebagai negara kepulauan dan terletak di garis ekuator bumi, Indonesia merupakan salah satu negara paling terdampak atas kejadian ini. Akibat perubahan iklim, wilayah dan kota pesisir terancam akibat naiknya permukaan air laut. Semua ini harus disudahi dengan merubah mindset kita dalam mengelola lingkungan, alam.

BACA : Walhi Kalsel: Lebih Baik Akui Masyarakat Adat Pegunungan Meratus Daripada Dagang Karbon

Indonesia telah menetapkan 2060 adalah batas target menuju net zero emission. Meski target net zero lebih lambat dari Cina dan Amerika, dan mendapat penilaian kritis dari para pegiat lingkungan, namun inilah kondisi paling logis yang dapat diambil saat ini.

Net zero emission sendiri merupakan total jejak karbon dari aktivitas penduduk Indonesia tidak melebihi kemampuan alam, bumi untuk menyerapnya kembali. Sumber jejak karbon berasal dari aktivitas sektor energi, pertanian, peternakan, kehutanan, perubahan lahan, industri hingga limbah.

BACA JUGA : Gandeng BRIN, Pemkab HST Jajaki Peluang Perdagangan Karbon Internasional

Sementara penyerap karbon adalah ruang hijau, vegetasi, hingga kepemilikan hutan di suatu wilayah. Degradasi lingkungan akan menyebabkan semakin menurunnya luas wilayah penyerap karbon, akibatnya karbon akan terlepas ke atmosfer bumi dan semakin terakumulasi, menjadi aktor meningkatnya suhu bumi dan lapisan ozon semakin menipis hingga berlubang.

Maka, satu langkah pasti yang bisa kita lakukan adalah, peduli terhadap lingkungan, alam, menjaganya tetap lestari dan asri, sembari mengurangi aktivitas kita yang dapat mengurangi jejak karbon. Pembangunan tanpa berkelanjutan yang dapat menyumbang jumlah karbon harus dihentikan.

BACA JUGA : Kejar Target Dekarbonisasi 117 Juta Ton CO2, EMI Resmi Gabung PLN

Hal sederhana yang bisa dimulai di rumah masing-masing adalah penghematan energi listrik, air hingga pengolahan limbah dan sampah rumah tangga. Jika ini disadari dan dilakukan di setiap rumah. Maka akan efektif mereduksi jejak karbon dari sumber utamanya yaitu rumah.

Pemilihan alat dan perabot rumah tangga rendah konsumsi listrik bisa diterapkan. Penggunaan kelistrikan juga bisa diatur hanya saat dibutuhkan. Menggunakan lampu hemat energi dan penggunaan sensor cerdas juga bisa dipilih. Selain itu, bisa beralih pada energi terbarukan seperti tenaga surya. Penggunaan solar panel di rumah tangga bisa mengurangi penggunaan energi fosil.

BACA JUGA : Sekali Menari, Berapa Rupiah ‘Uang Rakyat’ Dikeluarkan di Air Mancur Jembatan Pasar Lama?

Solar panel bisa digunakan pada penerangan ruang luar, seperti teras, taman atau gazebo dan lainnya. Membuat desain rumah yang nyaman juga mampu mengurangi konsumsi energi. Rumah nyaman akan mengurangi penggunaan penghawaan buatan seperti AC, karena kondisi termal bangunan sudah sesuai dengan kebutuhan penghuni. Keadaan ini akan mengoptimalkan penggunaan penghawaan alami, juga penerangan alami sehingga mengurangi penggunaan AC dan lampu, khususnya pada siang hari.

Selanjutnya, persoalan sampah. Semakin padatnya bangunan, pertumbuhan penduduk yang tajam menjadi sebab semakin sulitnya penanganan sampah. Jika tidak dilakukan usaha serius menangani sampah, maka akan menjadi persoalan pelik dimasa yang akan datang. Jumlah timbulan dan timbunan sampah akan terus meningkat dan mendesak ketersediaan lahan tempat pengolahan akhir (TPA).

BACA JUGA : Medio Agustus Sudah 98 Kali Kebakaran Dera Banjarmasin, Pakar Kota ULM: Sudah Kategori KLB!

Ambil contoh Kota Bandung, status darurat sampah menjadi berita nasional. Ini menjadi signal bagi kota besar lainnya di Indonesia. Pengalaman di Bandung hari ini, baru disadari bahwa membuang sampah pada tempatnya bukan slogan yang patut dipertahankan lagi, musabab hal ini hanya terus meningkatkan timbulan dan timbunan sampah. Kota lainnya di Indonesia harus belajar dari kejadian di Bandung saat ini, jika tidak ingin melewati fase yang sama seperti Bandung di masa yang akan datang.

Lalu apa yang harus diperbuat untuk menangani sampah? Sampah seharusnya serius dikelola, bukan hanya soal keindahan dan bau busuk yang ditimbulkan, tetapi juga soal penyumbang emisi karbon yaitu gas metana (CH4). Sampah telah berkontribusi positif menyumbang global boiling, seperti disinggung di awal tulisan ini.

BACA JUGA : Evaluasi Total Mitigasi, Respon dan Pemulihan Bencana Kebakaran di Banjarmasin

Mengatasi hal ini, sampah harus diselesaikan dari sumbernya, yaitu dari rumah kita masing-masing. Setiap hari, rumah memproduksi sampah kemudian diangkut ke TPS dan berakhir di TPA. Model jadul ini wajib di rubah. Sampah seharusnya jangan dibuat mengalir dan terkumpul di TPA (hilir), namun diolah dari sumbernya (hulu) yaitu di dapur kita. Lakukan pemilahan sampah dari sumbernya, dan kelompokkan berdasar jenisnya.

Sampah kering seperti kertas, kardus, plastik, atau jenis botol-botolan hingga bahan beracun dan berbahaya (B3) dipisah dan ditempatkan sesuai jenisnya di rumah masing-masing. Dari sampah kering ini, bisa diketahui mana yang bisa dimanfaatkan ulang, didaur ulang, atau disalurkan ke Bank Sampah langsung untuk diolah lagi dan bisa menjadi sumber pendapatan. Sementara sampah B3 bisa dikemas dan dibuang secara aman dengan tempat khusus. Perilaku memilah dan memilih sampah sesuai jenisnya harus jadi budaya baru.

BACA JUGA : Peta Jalan Hijau Pembangunan Kekinian di Wilayah Batang Banyu

Sampah dominan lainnya yang selalu diproduksi setiap hari adalah sampah basah, sampah organik. Sampah organik setiap hari jumlahnya 70% dari total jenis sampah lainnya. Untuk menangani sampah ini, perlu dibuat tempat pengolahan sampah organik di rumah masing-masing. Banyak jenis pengolahan sampah organik yang dapat dibuat di rumah kita, yaitu: pengolahan kompos, biopori, memelihara magot, pembuatan eco enzyme dan inovasi sampah lainnya yang dapat dikembangkan. Pengolahan kompos rumah tangga sendiri bisa menggunakan ember tumpuk atau keranjang takakura.

Jika ini dimiliki setiap rumah tangga, maka solusi sampah menjadi nyata. Ide lainnya yang dapat diolah adalah, pengolahan sampah secara komunal di setiap RT. Mewujudkan pengelolaan sampah mandiri atau komunal ini perlu diupayakan melalui tahapan awal tentang edukasi pengolahan sampah.

BACA JUGA : Terbangun Kepanasan, Ancaman El Nino Mengintai Batang Banyu Dan Berharap Hujan Di Bulan ‘Ember’

Selain fokus menurunkan jejak karbon dari aktivitas penyumbang emisi, kita juga tetap mengupayakan menambah sumber penyerap karbon yang dilepas. Pohon merupakan penyerap karbon, berdasarkan riset, sedikitnya 5 ton karbon bisa diserap oleh 1 hektar ruang hijau. Bagi wilayah yang minim ruang hijau, sepatutnya berupaya keras meningkatkan ruang hijau dengan melakukan penanaman secara masif.

Banyak manfaat yang didapatkan dari penanaman pohon, selain penyerap karbon, juga mampu menjadi area tangkapan air, menahan longsor hingga menghidupkan kembali ekosistem lingkungan. Secara iklim mikro, ruang hijau telah terbukti menurunkan suhu wilayah, dan memberikan kesejukan dan udara yang sehat.

BACA JUGA : Cuaca Ekstrem di Laut, KSOP Kelas 1 Banjarmasin Akui Pelayaran ke Pulau Jawa Belum Ada

Tahun baru 2024, harus melakukan langkah baru dalam mengurangi jejak karbon, metode baru harus diambil untuk merubah kebiasan konvensional. Upaya baru oleh pemerintah sangat diperlukan dalam melakukan terobosan-terobosan nyata dalam mengurangi jejak karbon. Budaya baru dalam pengelolaan sampah harus sudah dimulai di awal tahun 2024.(jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Lingkungan dan Pemerhati Perkotaan

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.