DIREKTUR Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono mengeritik rencana Pemkab Hulu Sungai Tengah (HST) yang ambil bagian dalam perdagangan karbon internasional.
“LEBIH baik mengakui keberadaan masyarakat adat khususnya di Pegunungan Meratus di HST, karena pengakuan secara hukum itu penting. Sampai sekarang, pemerintah daerah belum mengakui hal itu,” ucap Kisworo Dwi Cahyono kepada jejakrekam.com, Minggu (3/12/2023).
Menurut dia, jika Pemkab HST memaksakan diri untuk terlibat dalam perdagangan karbon dengan adanya hutan lestari di Pegunungan Meratus justru keberadaan masyarakat adat sebagai penghuni asli dan menjaga kelestarian lingkungan justru dirugikan.
“Kalau dipaksakan akan sangat rawan risiko dan dampaknya. Bisa-bisa masyarakat adat yang ada di Pegunungan Meratus malah menjadi penonton. Sepatutnya, pemerintah daerah itu mengapresiasi keberadaan masyarakat adat yang komitmen dan konsisten menjaga hutan,” tutur Cak Kiss, sapaan akrab aktivis senior lingkungan ini.
BACA : Gandeng BRIN, Pemkab HST Jajaki Peluang Perdagangan Karbon Internasional
Dalam kajian Walhi tertuang dalam Kertas Posisi bahwa perdagangan karbon merupakan jalan sesat atasi krisis iklim. Menurut Cak Kiss, pelepasan emisi karbon bukan sekadar melepas gas rumah kaca ke udara.
“Namun, seluruh percakapan pelepasan emisi karbon adalah sebuah perusakan sistematis sosial-ekologis. Bukan hanya emisi gas rumah kaca yang saat ini menjadi masalah, tetapi proses pelepasan emisi karbon acapkali menimbulkan turunnya kemampuan satu wilayah menghadapi krisis iklim,” papar Cak Kiss.
Menurut dia, penurunan emisi gas rumah kaca adalah sebuah keharusan, tetapi bukan jalan satu-satunya. Pemulihan kemampuan lingkungan dan sosial agar mampu bertahan juga merupakan keharusan yang tidak bisa dipisahkan layaknya dua sisi mata uang.
BACA JUGA : Tolak Solusi Iklim Palsu COP 26, Walhi Kalsel Bentangkan Spanduk #SaveMeratus di Sungai Barito
Dia menegaskan bagi Walhi, perdagangan karbon merupakan jalan sesat untuk mengatasi perubahan iklim. Sebab perdagangan karbon hanyalah sebuah modus untuk tetap mempertahankan ekstraktivisme, finansialisasi alam, sembari melakukan praktik greenwashing.
“Walhi sejak dulu tentunya menolak ekstraktivisme yang telah terbukti menyebabkan krisis iklim dan krisis multidimensi di Indonesia. Banyak masyarakat yang harus mengalami penggusuran dan hidup dalam keterancaman yang disebabkan konflik agraria. Finansialisasi alam dan greenwashing hanya akan memperburuk situasi,” papar alumni Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini.
BACA JUGA : Selamatkan Meratus Jadi Isu Nasional, GEMBUK-Walhi Usung 4 Tuntutan Mengadu ke Jakarta
Dia menyarankan agar bisa membaca Kertas Posisi dalam 21 halaman yang dikeluarkan Walhi dalam menyikapi rencana perdagangan karbon internasional, khususnya bagi Pemkab HST.
“Emisi gas rumah kaca dan emisi karbon sama-sama bermasalah, tetapi proses pelepasan emisi karbon acapkali menimbulkan turunnya kemampuan satu wilayah menghadapi krisis iklim,” kata mantan Direktur Eksekutif Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI) ini.
Menurut Cak Kiss, penurunan emisi gas rumah kaca adalah keharusan, tetapi bukan jalan satu-satunya. Pemulihan kemampuan lingkungan dan sosial dalam menghadapi krisis iklim juga merupakan kemutlakan.
“Dua hal ini, yakni emisi gas rumah kaca serta perusakan lingkungan dan sosia, tak bisa dipisahkan, layaknya dua sisi mata uang,” katanya.
BACA JUGA : Selamatkan Hutan Meratus HST Bebas dari Tambang Batubara Dapat Lampu Hijau Kementerian ESDM
Ada tiga pertanyaan yang bisa diajukan kepada pihak pemerintah Indonesia terkait pelepasan emisi karbon ini.
Pertama, terkait upaya pemerintah mempersiapkan perdagangan karbon sebagai solusi dari krisis iklim, apakah pemerintah telah benar-benar memahami logika proses pelepasan gas rumah kaca sebagai bagian tak terpisahkan dari perusakan lingkungan dan sosial?
Kedua, apakah upaya yang dipilih pemerintah Indonesia adalah menghentikan pelepasan emisi sekaligus memulihkan efek kerusakan sosial-ekologisnya, dilakukan secara bersamaan pada satu wilayah (geografis) yang sama?
Ketiga, apakah jalan yang ditempuh pemerintah Indonesia adalah membiarkan pelepasan emisi beserta efek kerusakan sosial.
BACA JUGA ; Demi Selamatkan Meratus HST, Walhi Kalsel Desak PKP2B PT AGM Dicabut
“Ini kesalahan logika dalam perdagangan karbon sebagai migitasi dua perubahan ikilim lima ekologis dalam satu wilayah. Namun, sebagai kompensasi menggantinya dengan pengurangan emisi dan perlindungan perbaikan ekosistem di wilayah geografi lain?” urainya.
Menurut Kisworo, jika ditelusuri lebih jauh atas dokumen-dokumen negara, akan ditemukan bahwa persoalan pencemaran dan perusakan sosialekologis bentang alam di tempat sumber emisi (in situ) menjadi sekadar masalah emisi karbon.
Perspektif yang bersifat reduksionis inilah yang menjadi landasan pikir pemerintah dalam upaya penyelesaian krisis iklim. Itu adalah jalan buntu pertama pemerintah,” katanya.
BACA JUGA : Dikabulkan MA, Walhi Kalsel Sebut Meratus Masih Belum Aman
Sedangkan, jalan sesat kedua, Kisworo menjelaskan penguruangan emisi dipisahkan dari agenda pemulihan alam dan sosial. Pemisahan ini sangat nyata, dengan memisahkan geografi pengurangan emisi dan geografi wilayahwilayah yang hendak dipulihkan.
“Dengan kata lain, pengurangan emisi adalah agenda yang diperbolehkan merusak wilayah lain (ex situ), yang justru hal tersebut akan menurunkan kemampuan alam dan manusia secara drastis untuk menghadapi krisis iklim, bahkan lebih jauh dapat menyebabkan kepunahan. Penyelesaian krisis iklim dilakukan hanya terpusat pada upaya menurunkan emisi tanpa memperhatikan keselamatan dan keberlanjutan sosial-ekologis in situ maupun ex situ,” pungkas alumni STIH Sultan Adam Banjarmasin ini.(jejakrekam)