Pergulatan Batin dalam Lukisan di Antara Rasa Optimistis

0

Oleh : Hajriansyah

KETIKA di perkuliahan semester-semester akhir dulu saya ingat kami, mahasiswa ISI Yogyakarta, diajarkan untuk membuat suatu konsep visual yang melingkup semua karya-karya kami.

ARTINYA, pada perkuliahan Seni Lukis V & VI dibatasi oleh konsep yang dibuat tadi agar setidaknya selama satu atau dua semester itu karya kami secara visual tidak beranjak jauh dari apa yang telah dipikirkan untuk digambar.

Ini sebuah latihan dalam rangka mematangkan gambaran visual apa yang akan dituangkan di atas kanvas-kanvas itu. Dalam kenyataannya pascakuliah tidak mudah untuk “setia” pada suatu gambar saja, imajinasi terus berkembang dan yang dilihat serta dipikirkan pun tidak itu-itu saja.

Realitas yang kita jalani terus berjalan, berkembang, berubah dan berbuah apa saja. Apalagi ketika saya kemudian tidak lagi intens melukis, sebagaimana terjaga dalam perkuliahan.

Saya sempat vakum melukis sekian tahun, karena kesibukan dan orientasi kehidupan yang berubah. Kalaupun masih melukis, saya kira, pada masa-masa itu saya hanya latihan atau menjaga agar keterampilan saya tidak sepenuhnya hilang.

BACA : Perjalanan Seni Rupa Kalsel Cukup Panjang Walau Tak Semaju Daerah Lain

Hingga beberapa tahun belakangan ini saya memutuskan mencoba untuk intens melukis kembali karena suatu alasan. Saya mencari kembali apa yang ingin benar-benar saya ungkapkan, setelah sebelumnya saya juga—dalam masa kekosongan melukis itu—menulis.

Saya menulis puisi, cerita pendek, esai dan artikel-artikel kebudayaan, juga mengomentari lukisan dan karya rupa di daerah saya di Kalimantan Selatan. Betapapun hal-hal tersebut telah memperkaya saya dengan imaji dan teknik “bercerita” atau teknik mengungkapkan pikiran, terasa tak mudah untuk membatasi pikiran saya (sementara) dalam gagasan dan teknik tertentu. Setelah sekian waktu saya merasa harus melatih pikiran dan teknik saya kembali, dalam hal melukis.

Setelah tiga pameran terakhir, dua pameran tunggal dan satu pameran berdua, saya melihat “latihan” ini rumit juga. Apalagi jika saya bandingkan, misalnya, dengan beberapa teman yang telah “matang” secara gagasan dan teknik dalam konsep visualnya.

BACA JUGA : Romantisme Kelam Orba, Kisah Maestro Seni Rupa Banua dalam Kerangkeng Peristiwa 65

Saya melukis apa saja, sebagian benar-benar lahir dari pergulatan batin pribadi dan sebagian lainnya dari mengadaptasi karya-karya orang lain. Pergulatan batin itu misalnya yang berkaitan dengan perkembangan spiritualitas diri, sebagian lainnya dari pikiran-pikiran kebudayaan yang saya geluti sejauh ini. Spiritualitas itu tentang Cinta Ilahi, metafornya bisa berupa kupu-kupu yang saya andaikan keindahannya seperti warna-warna yang menari, kuda yang berlari atau terbang, burung-burung, binatang lainnya yang mewakili simbolik cerita keagamaan, jantung dan jaringan sel, dan lain-lain. Pikiran kebudayaan itu berkaitan kerusakan alam, rumah-rumah yang mengapung di air, hewan endemik, dan lingkungan sungai lainnya yang memang berkaitan dengan daerah saya.

BACA JUGA : Gelar Pameran Tunggal, Hajriansyah Suguhkan 24 Lukisan di Rumah Oettara

Dua gagasan di atas, spiritualitas dan wilayah budaya, memang sungguh-sungguh bagian dari pengalaman saya setelah sekian waktu pasca perkuliahan. Namun saya merasa, dalam batas perenungan saya, belum berhasil secara kuat sampai kepada pengamat karya saya. Atau setidaknya, mampu meyakinkan orang tentang pilihan estetik saya.

Belum lagi, dalam perkembangan gaya visual terakhir sebagaimana saya bayangkan mewakili perkembangan estetika seni rupa Indonesia, karya saya tak terpetakan. Dengan kata lain, mungkin, berarti ketinggalan. Ya, sejauh yang saya dapat baca, arus besar (mainstream) seni rupa Indonesia mengalir sedemikian kencang.

BACA JUGA : Penulis Muda dari Komunitas Arkalitera Bedah Buku Antologi Puisi Hajriansyah

Itulah mungkin resikonya jauh dari pusat kebudayaan. Meskipun saya insafi pula, jika mengacu kepada kondisi postmodern sesungguhnya, tak ada lagi yang benar-benar pusat dalam arus peradaban. Semuanya telah mencair dan muara sungai tak lagi tunggal, alur (anak sungai)-nya pun bercabang-cabang. Hal terakhir inilah yang membuat saya (berusaha) percaya diri, bahwa karya saya yang dalam masa “latihan” ini cukup pantas untuk saya kemukakan dalam sebuah pameran tunggal di luar daerah saya. Saya tak tahu apakah saya akan bertemu dengan apresian yang seirama “selera”nya dengan ekspresi saya, tapi saya tetap mencoba untuk optimistik.

BACA JUGA : Selesaikan Studi Doktoral di UIN Antasari, Hajriansyah Teliti Seni Ukir Kaligrafi Banjar

Melalui pameran tunggal yang keempat, atau yang pertama kalinya di luar daerah, ini saya ingin meringankan beban-beban pikiran terkait pertanyaan-pertanyaan di mana posisi saya dalam peta seni rupa mutakhir Indonesia. Saya telah menjalani hidup saya dengan cinta, dan tak semuanya harus selalu terasa “berat” seperti harus menemukan autentisitas gaya pribadi. Hidup penuh cinta berarti penuh warna dan (bisa saja) semuanya terasa ringan-ringan saja.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarmasin

Perupa dan Sastrawan Kalsel

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.