Romantisme Kelam Orba, Kisah Maestro Seni Rupa Banua dalam Kerangkeng Peristiwa 65

0

KAMPUNG Buku (Kambuk) Banjarmasin menggelar bincang literasi #2 dalam rangka bedah buku karya Misbach Tamrin berjudul Kiambang Bertaut Larut ke Hulu (penangkapan, penahanan dan pemaksaan kerja) di tahun 1965-1978.

MENGHADIRKAN tiga narasumber yakni Sandi Firly (Novelis), Sumasno Hadi (Esais) dan Dewi Alfianti (Cerpenis), serta dipandu oleh moderator yakni Rizky A. Setyawan, pelukis muda berambut ikal panjang itu membawakan acara secara bersahaja.

Pemantik pertama diawali oleh akademisi ULM, Dewi Alfianti menceritakan latar belakang dari buku itu merupakan kisah seorang tahanan politik (tapol) dalam tragedi peristiwa 65 di Kalimantan Selatan. Dia adalah maestro seni rupa Banua Misbach Tamrin. Kata dia, pada era Orde Baru (Orba) saat itu cukup mengerikan ketika seorang tapol bertahan di dalam jeratan kekuasaan.

“Watak kekuasaan itu sangat mudah menentukan siapa yang benar atau salah. Dan begitu mencekam ketika kita dituduh saat itu,” ucap Dewi kepada jejakrekam.com, Jumat (25/3/2022) malam.

BACA : Tak Taati Soekarno, Hassan Basry Bekukan PKI di Banjarmasin (2)

Dewi mengaku dirinya menyukai paham beraliran kiri seperti Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer dan sebagainya. Karena, kata dia, mereka bicara ketidakadilan dan orang-orang yang tertindas. “Ide-ide para paham sosialis yang beraliran kiri itu sebenarnya baik, mereka peduli dengan masyarakat kecil,” ujarnya.

Stigma yang berkembang, kata Dewi, tuduhan komunis di era Orba saat itu cukup mengerikan terhadap para tapol dalam jeratan peristiwa 65. Dalam buku itu, dia juga menyebut bahwa Tuhan itu ada, dan kendatipun, para komunisme kerap meniadakan Tuhan. “Bukan soal siapa bertuhan atau tidak, tapi bagaimana mereka menyuarakan untuk kaum tertindas,” ujarnya.

BACA JUGA : Tap MPRS soal PKI Final! Syaifullah : MPR Pasti Perhatikan Aspirasi MUI dan Purnawirawan TNI

Sumasno menelaah setiap catatan yang dituliskan, yaitu ada 281 halaman yang berisikan 21 catatan memoar tentang sisa ingatannya dalam tragik peristiwa 1965 di Kalimantan Selatan.

Menurutnya, buku ini enak dibaca dan sangat mudah dipahami secara langsung tanpa adanya narasi yang mengganggu. “Tulisannya tidak banyak membuat orang bertanya, alurnya enak dibaca dan sangat detail sekali Pak Misbach menggambarkan ingatannya saat itu,” ucap Sumasno.

Melahap bacaan itu, Sumasno mengaku dirinya dua kali membaca secara terpisah, pertama di rumah dan kedua di kampung buku. Dia merasa, cerita yang dituliskan Misbcah Tamrin sangat hidup didalam buku tersebut, maka dirinya kerap ketagihan dan begitu menikmati bahan dalam bacaan tersebut.

BACA JUGA : Insiden Air Teh Beracun yang Diduga Dilakukan Anggota Khusus Gerwani/PKI di Amuntai (5-Habis)

Bincang buku karya Misbach Tamrin di Kambuk Banjarmasin dihadiri tiga pemateri dari jurnalis senior, akademisi dan pegiat literasi. (Foto Rahim Arza)

Sejak tahun 1965-1978 itu, kata Sumasno, alurnya cukup maju dan baik dituturkannya dalam sebuah kisah tragik tersebut. “Deskripsinya sangat konkret, dan maksudnya detail-detail itu dilukiskan dalam ceritanya,” ujarnya.

Karena seorang pelukis, Sumasno melihat kemampuan Misbach Tamrin dalam menuliskan kisahnya secara apik, maka suasana di penjara, goa dan sebagainya itu hidup. Apalagi, kata dia, ada metafor-metafor yang cukup eksotik.

“Itulah kekuatan Pak Misbach dalam ceritanya, sebagai buku yang bermuatan masa lalu dan alih-alih bergenre sejarah, kisahnya begitu gelap,” kata Sumasno disela perbincangan.

BACA JUGA : Nonbar Film G30S/PKI, Masyarakat Harus Dewasa Sejarah

Adapun, Sandi melihat peristiwa yang dialami oleh seniman Misbach Tamrin saat di pedalaman pegunungan Meratus pada tahun 1965. Kata dia, Misbach Tamrin melarikan diri bersama enam temannya dan berlindung di sebuah goa, yang dipenuhi kelelawar.

“Satu bulan di goa pada kawasan gunung, sempat beberapa kali pulang ke rumah. Sampai kemudian, balik bersama kawan yang berkhianat,” beber Sandi.

Menurutnya, buku ini sangat gamblang menyebutkan beberapa orang yang didalamnya para pengkhianat di masa lalunya. Sandi bercerita, sepulangnya Misbach Tamrin di rumahnya itu, kala makan bersama dirinya digrebek oleh para tentara.

“Di balik suasana gelapnya kehidupan Pak Misbach, ada tersimpan romantisme di sana. Dalam buku ini, beliau pernah melukis beberapa perempuan yang disukainya,” ungkapnya.

BACA JUGA : Monumen Kresek Mengenang Keganasan PKI di Madiun

Di akhir cerita, Sandi mengutip kalimat yang begitu melekat dalam buku itu. Kata dia, kutipan itu merupakan pesan dari sahabatnya yakni Amrus Natalsya kepada Misbach Tamrin.

“Kita mengalami masa penahanan, dan kalau setelah ini, kita tidak berkarya. Tidak menceritakan dengan apa yang dialami, maka lebih baik menjadi kerbau,” tuturnya.

Dalam perjalanannya, Misbach memulai untuk menuliskan cerita pengalaman masa kelamnya dipenjara selama 13 tahun sebagai tapol. Sepanjang kurun itu, dia merenungkan kembali di masa tuanya saat ini untuk menjadikan sebuah memoar kehidupan dalam bukunya.

BACA JUGA : Kapitalisme dan Komunisme Ancaman bagi Indonesia

“Saya memulai tahun 2017/2018, namun karena stagnan dalam menulis maka saya lanjutkan di tahun 2020 hingga terbit,” ungkap maestro seni rupa asal Kalsel itu.

Misbach menginginkan lewat buku itu dapat berbagi kepada masyarakat Kalimantan Selatan, betapa sulitnya di era saat itu bertahan dan mengetahui adanya pengkhianatan masa lalu dalam kerangkeng politik.

Masyarakat Banua, kata dia, semestinya dapat mengapresiasi kerja para seniman lewat karyanya, apapun bentuk seninya.

“Karena itu, saya ingin menceritakan betapa menderitanya para seni rupa yang tidak bersalah. Dasarnya pada masa politik, yang di-hoax-kan istilah saat ini. Sehingga menambah dendam, amarah, terhadap yang tidak bersalah,” tandas Misbach.(jejakrekam)

Pencarian populer:Kisah para tapol era orde baru,Kisah tapol orde baru
Penulis Rahim Arza
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.