Tawarkan Tradisi Mansan, Medsos Bisa Jadi Wahana Pelestarian Bahasa Bakumpai

0

PELESTARIAN bahasa Bakumpai yang dituturkan masyarakat pesisir, khususnya di Sungai Barito dan jaringan sungai lainnya di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah jadi isu yang diangkat Kerukunan Keluarga Bakumpai (KKB).

DUA narasumber berkompeten dihadirkan dalam seminar gelaran Forum Pemuda KKB Kalimantan Tengah, bertajuk melestarikan budaya dan bahasa Bakumpai di Hotel Putra Kahayan, Palangka Raya, Sabtu (11/2/2022).

Antropolog Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Nasrullah mengemukan dalam makalahnya berjudul Menaklukkan Dunia Maya dengan Konsep Mansan. Sementara, akademisi Universitas Palangka Raya (UPR), Iwan Fauzi yang penyusun kamus Dwibahasa Bakumpai-Indonesia membeber soal pelestarian bahasa Bakumpai di era modern.

Seminar ini dibuka oleh Sekda Provinsi Kalteng, H Nuryakin yang berpesan bahwa menjadi orang Bakumpai bukan pilihan.

“Sebab, kita terlahir di dunia ini tidak bisa memilih memilih menjadi siapa pun. Ke depan, saya berharap agar Alquran bisa diterjemahkan dalam bahasa Bakumpai, sehingga bisa lebih dimengerti masyarakat penutur bahasa Bakumpai,” kata Nuryakin.

BACA : Penari Panji Kelana Berusia Renta, Antropolog ULM Usulkan Sungai Getas Jadi Kampung Budaya Bakumpai

Sementara itu, Iwan Fauzi mengungkapkan saat ini di Indonesia, tercatat ada 718 bahasa yang wajib dilindungi sebagai warisan dan identitas bangsa.

“Bahasa Bakumpai termasuk bahasa daerah yang terdaftar di Summer Institute of Linguistics (SIL) International. Bahkan, Unesco menetapkan setiap tanggal 21 Februari merupakan hari bahasa ibu se-dunia yang dimaksudkan melestarikan bahasa-bahasa daerah yang ada di dunia,” kata dosen pendidikan bahasa Inggris UPR ini.

“Orang Bakumpai adalah kelompok masyarakat yang mayoritas tinggal di sepanjang Sungai Barito. Mulai bagian utara (Kalteng) hingga ke selatan (Kalsel). Mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Bakumpai dan menyebut dirinya sebagai orang Bakumpai,” tutur Iwan Fauzi.

BACA JUGA : Dari Catatan Sejarah; Pemukim Bakumpai Pionir Pembukaan Wilayah Aluh-Aluh dan Podok (1)

Berbeda dengan jamaknya masyarakat Dayak yang menganut agama Kristen, Fauzi mengatakan justru ciri khas orang Bakumpai adalah pemeluk agama Islam atau muslim yang taat.

“Pada 2021, jumlah populasi Bakumpai tercatat 266.000 jiwa. Jumlahnya kian terus meningkat pesan per 10 tahun, termasuk adanya perkawinan dengan etnis atau penganut agama lain,” ungkap Iwan Fauzi.

Dia membagi ada tiga kondisi para penutur Bakumpai. Yakni, kondisi 1 (dominan) di kalangan masyarakat di Murung Raya, Barito Utara, Barito Selatan dan Barito Timur. Sedangkan, kondisi 2 (relatif banyak) tersebar di Kapuas Mengkatip, Marabahan, Anjir Muara dan Handil Bakti.

BACA JUGA : Jangan Jadi Keranjang Kosong, Revitalisasi Bahasa Bakumpai Harus Digalakkan

“Sedangkan kondisi 3 dengan penutur Bakumpai yang jarang, khususnya di generasi muda adalah berada di Banjarmasin seperti di Sungai Jingah, Kuin, hingga Tumbang Samba (Kabupaten Katingan, Kalteng),” imbuh Iwan Fauzi.

Menurut dia, identitas linguistik bahasa Bakumpai bisa terlihat pada kamus bahasa seperti karya Ibrahim dkk (1979),  Zainuddin Rangga (2007) dan dirinya; Iwan Fauzi pada 2018.

“Adapula, penggunaan bahasa Bakumpai pada komunitas kesenian seperti sanggar budaya dan tari. Dokumentasi kesastraan seperti cerita rakyat, fabel hingga legenda. Termasuk, muatan lokal (mulok) di sekolah,” kata dosen FKIP UPR ini.

BACA JUGA : Merekam Istilah Kesenian dan Kebudayaan dalam Khazanah Bakumpai

Dia menawarkan konsep pelestarian bahasa Bakumpai di tengah sterotif seperti nDeso, kampungan, biaju, outdate yang mendera kalangan muda, seperti pelestariannya lewat  pembelajaran di sekolah, komunitas masyarakat keseharian serta pembelajaran berbasis komunitas.

“Sekarang bisa dilakukan dengan cara membuat forum diskusi baik di media sosial, kamus sederhana (senarai), membuat kanal Youtube, hingga menyusun kesastraan digital berbahasa Bakumpai baik di blog pribadi atau komunitas,” katanya.

BACA JUGA : Hadirkan Penutur Bakumpai dan Banjar, Diskusi Pemerkayaan Kosa Kata Dinamis

Senada itu, antropolog ULM Nasrullah menyampaikan materi secara virtual dari Banjarmasin lewat aplikasi google meet, mendaraskan penuturan bahasa Bakumpai dalam keseharian sangat penting dilakukan para generasi, khususnya kalangan milenial.

“Apalagi, saat ini penggunaan smartphone (ponsel pintar) sudah merambah semua umur, dari kalangan dewasa, remaja, anak-anak hingga bocah kecil,” tutur akademisi program studi pendidikan sosiologi FKIP ULM ini.

Bagi Nasrullah, di era post modern saat ini tidak lagi terkait ruang waktu, karena dunia virtual justru ditandai dengan berlomba-lomba berbagi informasi di platform medsos seperti WA, meski tanpa mengecek kebenarannya.

BACA JUGA : Islam Sapa Bakumpai, Sunang Bonang dan Sunan Giri Pernah Berniaga di Marabahan

“Dulu, sebelum ada internet, kita membeli sesuatu harus datang langsung ke pedagang. Sekarang sudah dimanjakan dengan adanya aplikasi belanja online,” tutur mahasiswa doktoral antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Nasrullah memperkenalkan konsep Mansan dalam tradisi kerja di masyarakat Bakumpai, yakni pergi ke hutan mencari kayu dan ikan dengan waktu tertentu.

“Dalam dunia barat, tradisi Mansan tidak ubahnya seperti sabbatical leave. Atau dalam tradisi orang Minang disebut merantau dan madam dalam khazanah orang Banjar, dalam keilmuan disebut migrasi sekuler,” tutur Nasrullah.

BACA JUGA: Tokoh Bakumpai Raih Gelar Kebangsawanan, Kesultanan Banjar Diminta Lobi Kerajaan Belanda

Menurut dia, sekarang tradisi Mansan dilakukan di tempat tertentu, hutan sudah hilang akibat proyek raksasa PLG tahun 1997-an. Juga karena penebangan hutan sejak lama, atau karena konversi hutan galam atau padang ke perkebunan sawit.

“Kita perlu mengambil Mansan secara konseptual. Jadi dalam Mansan jelas ada lokasi yang dituju. Ada target yang ingin dicapai. Ada durasi waktu dan lalu kembali. Ada ransum makanan untuk bertahan. Ada larangan yang harus dipatuhi misalnya tidak mengucapkan kata-kata kotor, porno dan jorok,” bebernya.

BACA JUGA : Kalangan Intelektual Bakumpai Gelar Diskusi Bertajuk Wayah Danum, Kenangan, dan Pengalaman

Nasrullah pun sependapat dunia maya bisa dijadikan wahana untuk berinteraksi, khususnya bertutur bahasa Bakumpai.

“Kita berada dan berinteraksi di dunia maya ada lihan (hasil) yang dibawa pulang baik pengetahuan bahkan uang. Kemudian, menghindari duan pakulih (mendapat mudharat) seperti buli mamantai (bangkrut) atau buli buang (kembali dengan tangan kosong,” tandas Nasrullah.(jejakrekam)

Penulis Iman Satria
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.