Merekam Istilah Kesenian dan Kebudayaan dalam Khazanah Bakumpai

0

ACAPKALI orang menyetarakan antara kesenian dan kebudayaan. Padahal kesenian itu sendiri merupakan bagian dari kebudayaan.

HAL itu dipaparkan Nasrullah. Akademisi program studi pendidikan sosiologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat ini saat memaparkan analisnya dalam diskusi interaktif; tantangan dan pelestarian seni kebudayaan Bakumpai di Kantor Kerukunan Keluarga Bakumpai (KKB) Pusat, Banjarmasin, Sabtu (4/12/2021).

Menurut Nasrullah, kalau ditengok dari kacamata antropoligis, maka akan berbeda jika dilihat kesenian secara murni. Nasrullah pun mengkaji dari sisi antropologi yang dikuasainya sebagai pemateri diskusi interaktif dihelat Forum Pemuda KKB Pusat dan Itah Uluh Dayak Bakumpai (IUDB).

Dalam forum itu, alumni S2 Antropologi UGM Yogyakarta ini juga membentangkan konsep kesenian dari kacamata antropologi sejumlah pakar seperti Koentjaraningrat dan Heddy Shri Ahimsa-Putra.

BACA : Badewa, Ritus Seni Pengobatan Masyarakat Bakumpai di Kalimantan

Menariknya, model diskusi yang dihelat hybrid, banyak peserta memberi masukan lewat ruang zoom. Peserta tak hanya di lingkup Kalsel, tapi juga beberapa penanggap pun datang dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Terutama, dari kalangan seniman dan akademisi yang mendalami kesenian dan kebudayaan Bakumpai.

Nasrullah mencontohkan seperti seni rupa, seni vokal, gabungan seni rupa dan seni vokal seperti tari, sastra Bakumpai hingga drama Bakumpai.

Agar diskusi berjalan dinamis dan interaktif, Nasrullah memberi kesempatan kepada peserta untuk memaparkan argumennya mengenai kesenian dan kebudayaan terkait khazanah kebudayaan Bakumpai.

BACA JUGA : Hadirkan Penutur Bakumpai dan Banjar, Diskusi Pemerkayaan Kosa Kata Dinamis

Ada hal menarik dalam forum itu. Ini berulang kali peserta mengusulkan tradisi lisan dalam kategori kesenian. Ternyata setelah dikritisi rupanya tradisi lisan itu agaknya masuk dalam kategori religi.

“Ini menunjukkan klaim sementara seni Bakumpai itu terbatas, tetapi yang disebut sebagai kesenian masuk dalam wilayah religi,” papar Nasrullah.

Praktisi Badewa dari Sanggar Seni Sinar Pusaka, H Abdul Karim Zaidan menguraikan tradisi batatabur atau memberi sesaji. Menurut dia, dalam tradisi batatabur itu terdapat mantera.

“Ya, seperti mantera papat mamang sepintas bisa kita sebut sebagai sastra atau prosa, tapi kemungkinan besar adalah religi. Sebab papat mamang tidak bisa dipisahkan dari bagian batatenga,” ucap Karim Zaidan.

BACA JUGA : Islam Sapa Bakumpai, Sunang Bonang dan Sunan Giri Pernah Berniaga di Marabahan

Halidi, peserta diskusi dari Kecamatan Kuripan Barito Kuala mengungkap pendapatnya. Dia menyarankan agar didiskusikan pula ritual orang Bakumpai yang tak terpisah dari unsur seni seperti baandi-andi yang sudah mulai langka.

Sebagai pemantik diskusi, Nasrullah meminta peserta mencari dan merekam istilah Bakumpai terkait kesenian. Hal ini termasuk wilayah konseptual jika dikaitkan dengan konsep kesenian menurut guru besar antropologi UGM Yogyakarta, Ahimsa Putra.

“Tentu pada akhirnya, kita akan menemukan kata-kata Bakumpai terkait konsep seni seperti hajip, bahalap, segah, cantang dan lain sebagainya,” pungkas Nasrullah, menutup diskusi interaktif itu.(jejakrekam)

Penulis Iman Satria
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.