Garis, Gambar dan Kenyataan dalam Garis-Garis Seribu Sungai

0

Oleh : Hajriansyah

DALAM pandangan awam hampir tak ada beda antara gambar, lukisan, sketsa, dan karya rupa visual lainnya. Sekian istilah itu hanya “berbeda” satu sama lain dalam pikiran orang-orang yang “tedidik” dalam tradisi seni rupa, otodidak maupun akademis.

GAMBAR yang dalam bahasa akademis-seni rupa disebut drawing umumnya mengacu kepada tarikan (draw) garis atau arsiran yang membentuk volume bentuk, dengan menggunakan medium pensil arang (charcoal) di atas kertas putih. Ia adalah rancang-dasar atau “desain” sebelum dikembangkan dalam bentuk lukisan yang berwarna. Beda lagi sketsa, yang sekadar tarikan garis langsung dan bersifat spontan.

Paling tidak demikian yang saya pahami, ketika masih belajar secara klasikal di jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, puluhan tahun yang lalu. Namun demikian, secara praktis di lapangan seni rupa yang lebih luas pengertian serupa di atas tak lagi sekaku-baku itu. Dunia seni (rupa) terus berkembang, gagasan dan teknik yang membentuk “pengertian-pengertian” itu makin ke sini makin liar dan banal. Lihat saja yang terungkap dalam sekian banyak (kurasi) pameran dan visualisasi kreatif yang dilakukan para seniman (perupa)!

BACA : Penulis Muda dari Komunitas Arkalitera Bedah Buku Antologi Puisi Hajriansyah

Gambar adalah istilah “kuno”–dan seperti disebut di atas “klasik”. Sebelum mengenal istilah seni lukis dan melukis, orang-orang di Hindia Belanda menyebutnya “gambar” dan “menggambar”. Paling tidak semisal itu kata Sudjojono dalam dalam Aminuddin TH Siregar dalam Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono (2010). Maka tak heran, jika komunitas seni lukis/rupa paling awal di negeri ini menyebut diri mereka Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI, didirikan pada 1937/1938). Adapun tentang sketsa, kata ini kita adopsi pula dari sketch (Inggris) yang berarti “gambar sederhana dan spontan yang tidak memerlukan banyak detail (a simple, quickly-made drawing that does not have many details)” (lihat Cambridge Dictionary). Dalam kenyataannya, saya juga sering melihat karya sketsa “awam” yang serupa gambar-jadi (drawing), padahal buku Aminuddin itu yang saya kira juga ditujukan untuk kalangan awam masih bersikukuh membedakan istilah “sketsa” dan “gambar”.

BACA JUGA : Selesaikan Studi Doktoral di UIN Antasari, Hajriansyah Teliti Seni Ukir Kaligrafi Banjar

Memang pada halaman 90 bukunya itu, Aminuddin seperti akan menjelaskan “mana yang masuk kategori sketsa dan mana yang masuk kategori gambar”. Namun berhalaman-halaman berikutnya tak jua ia menjelaskan pengkategoriannya, kecuali menyebut sketsa semirip penjelasan kamus di atas, tentang “jejak yang paling otentik”, “merefleksikan kerja motorik”, “spontanitas” dan “bersifat dokumenter”. Itu saja. Selebihnya, lampiran-lampiran (Bab Sketsa & Gambar) beberapa menyebutnya sketsa ini, sketsa itu, dan sisanya yang tanpa keterangan mungkin dimaksudkannya sebagai “gambar”—meskipun tak jelas betul juga perbedaannya secara visual. Tokh, beberapa yang disebut sketsa ada yang cukup detail arsirannya, dan beberapa gambar tetap kelihatan sifat spontanitas dan dokumenternya. Buku Grammar of Drawing for Artist and Designers-nya Colin Hayes yang saya miliki bahkan mengidentikkan gambar (drawing) dengan  desain (design), dengan mengacu pada istilah Italia il disegno.

BACA JUGA : Terpilih jadi Ketua DKB, Hajriansyah Bicara Visi Pengembangan Kesenian di Banjarmasin

Okelah, sampai di situ saja saya bicara soal definisi dan batasan istilah. Selebihnya untuk praktisnya, silakan baca pengertian yang disusun Mikke Susanto dalam Diksirupa-nya. Dan kita percaya saja bahwa, terlebih karena arus perkembangan seni visual yang makin deras, gambar-sketsa-lukisan itu satu jua, terserah senimannya menyebut karyanya bagaimana dan untuk kepentingan apa.

Seni lukis modern Kalsel, seperti sering saya ulang-ulang dalam beberapa tulisan, dipelopori oleh Gusti Sholihin Hasan. Pelukis ini pernah menjadi anggota SIM Solo dan Ketua PI (Pelukis Indonesia) selain Kusnadi. Ketika berangkat ke Jawa pada tahun 1947, Sholihin sudah memiliki bekal kemampuan menggambar dan melukis. Konon katanya ia belajar pada dua pelukis Jepang, Kasa dan Kawazura. Saya sempat melihat karya drawingnya yang sangat bagus menggambar (di atas kertas, dengan media arang) potret dirinya. Gambar itu setidaknya beberapa tahun yang lalu masih terpajang di rumah masa kecil Sholihin di kampung Sungai Jingah, Banjarmasin.

BACA JUGA : Usai 13 Tahun, Tak Hanya di Atas Kanvas, Perupa Hajriansyah Ekspresikan Lukisan di Perabot Dapur

Karya-karya sketsa/drawing Sholihin berikutnya, selain yang disimpan dalam jumlah sedikit di museum Lambung Mangkurat, Banjarbaru, pernah mengisi lembaran majalah atau media massa di Surabaya dan Jakarta pada tahun ’50-an. Hairus Salim, rekan saya meneliti Sholihin, menemukannya pada tumpukan majalah lama di perpustakaan Yogyakarta. Gambar-gambar itu (boleh sebut sketsa, ilustrasi atau vignet) rata bersifat spontan, ilustratif dan, tentu, menarik. Saya tak bisa bicara banyak, karena dokumentasinya ada di laptop Hairus dan saya tak mendapatkan salinannya untuk sekadar mengecek ulang. Tapi begitulah ingatan saya ketika gambar-gambar itu pernah dipresentasikan pada seminar kami beberapa tahun yang lalu yang disponsori Museum Lambung Mangkurat

PAMERAN kali ini, yang ide awalnya diprakarsai Edo Pop (dan kawan-kawan di Yogyakarta) yang menelpon saya suatu hari dan menjelaskan gagasan mengangkat isu drawing ke pemaknaan yang lebih luas secara nasional dan “mendalam” (dalam eksplorasi para seniman), menjadi sangat menarik, karena selama ini gambar hitam-putih atau semisalnya itu lebih banyak tersimpan di studio pribadi seniman ketimbang dipamerkan—kecuali yang memang intens membuat karya demikian sebagai manifestasi otentik kekaryaannya. Termasuk di Banjarmasin.

BACA JUGA : Solo Exhibition of Hajriansyah, Suluk : Journey to Indepth Memory

Sejauh pengetahuan saya, hanya pada tahun 2007 pernah diselenggarakan “khusus” pameran sketsa/drawing di Taman Budaya Kalsel oleh Sanggar Lawang. Saya pulang dari Jogja tahun 2003 akhir, semisal sebelum itu pernah diadakan pameran serupa saya tidak tahu dan tak mendapatkan catatan dokumenter tentang itu. Selebihnya, yang sering diselenggarakan adalah pameran lukisan, kemudian pula seni lukis-Islami dan kaligrafi, instalasi, lukisan dan fotografi.

Sekali lagi gagasan tentang pameran serentak se-Indonesia ini menarik, lebih-lebih untuk seni rupa Kalimantan Selatan. Dengan begitu, ada wahana eksplorasi gagasan dan teknik lain dari yang sudah-sudah terjadi dalam pameran-pameran di Kalsel yang saya libati (beri catatan dan kurasi) sejauh 20 tahun terakhir. Sifat spontanitas-nya merangsang kreativitas yang beragam. Nah, untuk inilah saya buat catatan ini.

Karya Lukisan yang dipamerken dalam Sanggar Seni Solihin, Taman Budaya Kalsel. (Foto Istimewa)

Karya Rizaldi Bapak Teater Modern Kalsel (pensil dan arang di kertas) merupakan bentuk perwujudan gambar (drawing) paling “baku”. Ia memotret tokoh dramawan Kalsel Adjim Arijadi (m. 2016) dalam gestur tubuhnya yang khas ketika menyalakan rokok. Arsirannya cukup artistik, hanya saja gradasi atau volume bentuknya belum terasa betul dari gelap ke terangnya, namun ia terbantu dengan penempatan cahaya di sisi kiri yang membentuk komposisinya menjadi lebih dinamis. Malu, karya Akhmad Noor, mewujudkan sisi negatif bayangan dengan membuat arsir terang pada bidang kanvas berwarna gelap. Lain lagi karya Tania Dewi yang mengeksplorasi arsiran dengan timpaan warna yang ekspresif, sementara bagian rambut agak ke tengah diisinya dengan font huruf besar-kecil serupa puisi berupa Keluhan—persis demikian judul karyanya yang memotret wajah setengah jadi.

BACA JUGA : Pameran Tunggal Seni Rupa Bertajuk ‘Suluk’ Hajriansyah Digeber di Kampung Buku Banjarmasin

Utopis karya Rizka Azizah mengembangkan tarikan garis (drawing) lebih jauh lagi. Karyanya yang abstrak terdiri atas tiga panel (gambar) dengan salah satunya diformat vertikal—sementara dua lainnya yang mengapitnya berformat horizontal. Spontanitas dan kedalaman (berupa gradasi ketebalan tinta) saling mengisi dan membuat pusatnya sendiri-sendiri, dengan demikian karya ini dapat dilihat dan dinikmati secara satu persatu. Sementara karya Rizky Setiawan membuat abstraksi bentuk jantung, gulungan ombak, deras air dan kapal, dengan teknik arsiran yang padat namun menyisakan ruang kertasnya dalam komposisi dua-pertiga bagian.

Karya Maui Wild Things Grow mengisi dua bidang panel dengan sebaran ilustrasi 20 buah) semacam gambar vignet, serupa diari kehidupan pribadinya yang tumbuh berkembang, dengan eksplorasi bahan tinta, pensil dan pensil warna pada kertas seukuran masing-masing 15×20 cm. Iqra’ (Robert Nasrullah), Tak Berhenti yang (di) Dalam Dinding (Hajriansyah), Journey (Badri), dan sebaran ilustrasi karya M. Syahriel M. Noor (Ariel)—yang memenuhi empat panel (dinding), semuanya pada dasarnya mencoba mengeksplorasi “gambar” ke wilayahnya paling liar dan berkemungkinan. Arsiran, tarikan garis spontan, tarikan bidang (shape) warna saling mengisi dan mencari kemungkinan artistik apa yang dapat ditemukannya secara spontan. Sementara karya Ariel lainnya M’AM-BA RI M’AR-MA yang lebih terogranisir sebagai karya drawing konvensional dengan sentuhan kolase kertas koran, menangkap jukstaposisi objek pasar terapung dalam nuansa tematik yang gelap dan memiriskan.

BACA JUGA : Mengenang Ajamuddin Tifani, Sosok Penyair Berjasa bagi Seniman Kalsel

SAYA KIRA, catatan tentang beberapa karya di atas telah mewakili ragam eksplorasi drawing yang dibuat kawan-kawan lainnya dalam Pameran Drawing “Garis-garis Seribu Sungai” (Sanggar Sholihin, 14 – 22 Mei 2022) kali ini. Media garis dan arsiran yang menjadi dasar membuat karya drawing dieksplorasi sedemikian sehingga membentuk pemahaman “baru” atau yang “lain” tentang gambar, yang secara klasik kita sebut “pemindahan obyek ke bidang dua dimensional dengan menggunakan garis, dan bentukan volume (kedalaman, bayangan) bidang dengan teknis arsiran dan gosokan”. Para seniman, setidaknya, telah memenuhi kriteria kedua fungsi gambar, sebagaimana disebut Mikke Susanto tentang drawing dalam Diksirupa, yaitu hadir dan berdiri utuh, relatif tak perlu tahapan berikutnya, dan telah memperlihatkan kelengkapan pernyataan seniman. Artinya, sebagai sebuah karya, masing-masing gambar yang dipajang dalam pameran kali ini telah dipandang tuntas (selesai), meski mungkin saja ia menginspirasi untuk dibesarkan di atas kanvas yang lebih utuh lagi.

BACA JUGA : Banjarmasin Tak Lagi Ibukota Kalsel Bisa Hilangkan Budaya Sungai dan Identitas Kebanjaran

Secara tematik karya-karya ini mengeksplorasi pengalaman-pengalaman personal, dari yang bersifat spiritual, termasuk banal, hingga yang berorientasi pada kondisi sosial yang menggelisahkan dan meneror kehidupan sehari-hari. Ada yang bicara soal kehidupan buruh, problem lokalitas, tokoh daerah dan tokoh-tokoh imajiner, persoalan sosial kemanusiaan, yang kesemuanya ditaja secara spontan dan utuh menggambarkan kesesaatan momentum pengalaman seseorang. Pengalaman estetik semacam ini bagi “penonton”nya memberi kemungkinan-kemungkinan penyingkapan (disclosive) atas realitas imajiner yang bertalian dengan “kenyataan” (baca: pengalaman) kehidupan sehari-hari. Dalam hal itulah, kata Sugiharto, seni berkontribusi bagi kehidupan masyarakatnya.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarmasin

Perupa dan Sastrawan Kalimantan Selatan

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.