Mengenang Ajamuddin Tifani, Sosok Penyair Berjasa bagi Seniman Kalsel

0

KOMITE Sastra Dewan Kesenian Banjarmasin telah menggelar ngaji puisi #2 dalam mengenang sosok penyair Ajamuddin Tifani di Kampung Buku (Kambuk) Banjarmasin, Jalan Sultan Adam, Minggu (24/4/2022) malam.

KETUA Dewan Kesenian (DK) Banjarmasin, Hajriansyah menyampaikan sebelumnya pernah mengadakan ngaji puisi ‘Hijaz Yamani’, ayahanda dari penyair Micky Hidayat.

“Kini, kami mengadakan ngaji puisi kedua dari ayahanda dari Dewi Alfianti sebagai pemantik diskusi dalam mengenang sosok Ajamuddin Tifani. Tentu, berkontribusi besar terhadap ke kesusastraan Kalimantan Selatan untuk Indonesia,” ucap Hajriansyah kepada jejakrekam.com.

Kata Hajriansyah, pertunjukan puisi yang merupakan kolaborasi tiga komite bidang DK-Bjm, yaitu sastra yang diwakili Jihaduddin Akbar, teater oleh Nafi Ali, dan Surya Tajuddin dari Musik yang sekaligus menjadi koordinator atau “sutradara”.

BACA : ‘Ngaji Puisi’ Ajamuddin Tifani (1951-2002)

“Yang ditampilkan adalah dua puisi Ajamuddin Tifani, berjudul “Alif” dan “Sang Pembidas” yang dijadikan satu bentuk pertunjukan meliputi unsur sastra, teater dan musik, dengan tema “Empulur”. Pertunjukan ini melibatkan para pemain dari teater kampus Himasindo dan STB,” ujarnya.

Hajriansyah mengatakan, kegiatan berlangsung khidmat dan berakhir menjelang sahur. “Pukul 23.00 Wita sebenarnya diskusi, yang menjadi pamungkas kegiatan, sudah ditutup secara formal oleh moderator Nailiya Nikmah, namun acara secara santai terus mengalir dengan dipandu oleh Datu Tadung Mura (Tamur), Y.S Agus Suseno.”

BACA JUGA : Romantisme Sastra dan Kepenyairan di Kalsel Era 1980-an

Dalam diskusi, Dewi Alfianti menceritakan bahwa sosok ayahnya begitu akrab dengan teman-teman berkeseniannya, bahkan jika diurutkan lebih prioritas dalam semasa hidupnya.

“Abah tuh bila mengajak temannya di rumah, bisa berhari-hari. Sampe bingung orang rumah, kenapa mereka gak balik-balik. Itulah beliau,” ucap Dewi.

Aksi teaterikal di Kampung Buku Banjarmasin untuk mengenang sosok Ajamuddin Tifani dalam Ngaji Puisi. (Foto Rahim Arza)

Selain itu, Dewi mengatakan sosok ayahnya juga dikenal pemberani jika suatu hal masalah yang terjadi, bahkan kerap menentang pemerintah. “Paling nyaring kalau menyuarakan kebenaran, terlebih soal kesenian. Dan Abah juga selalu pasang badan, kalau ada temannya yang diganggu,” ungkapnya.

BACA JUGA : Amuk Meratus Micky Hidayat, Agus Suseno Suarakan Nelangsanya Loksado

Selanjutnya, Dewi membedah puisi-puisi Ajamuddin Tifani yang dibaginya atas tiga kelompok tematik: sufistik, sosial, domestik. Dia merasa yang terungkap hanya sisi sufistik dalam perpuisiannya, padahal patut juga menganalisa dalam aspek sosial dan domestik.

“Puisi-puisi sufistik Ajamuddin Tifani, sudah terlalu banyak dibicarakan. Sementara, dimensi sosialnya, lebih-lebih sisi domestik atau rumah tangga, sangat jarang dibahas,” ujarnya.

Dewi menyebut, dirinya kerap berseteru dengan ayahnya dalam kekaryaan, dan sering disalahkan ketika proses kreatif dalam menulis puisi. “Ayah tuh jarang memuji karya saya, kerap memarahi saya di hadapan orang. Padahal, teman-teman penyairnya menganggap karya saya bagus. Mungkin, itulah cara beliau mendidik saya,” ungkap akademisi ULM itu.

BACA JUGA : Raih Penghargaan Setyasastra Nagari, Penyair Micky Hidayat Beri Catatan Kesusastraan di Kalsel

Terlepas itu, budayawan Y.S. Agus Suseno turut mengenang sebagai rekan sahabat dan murid Ajamuddin Tifani. Dia menceritakan kisah-kisah kontekstual terkait kehidupan kepenyairan, serta menjadi sutradara bahkan pembuat naskah drama.

“Beliau meninggal dunia di RS Ulin Banjarmasin, Senin 6 Mei 2002. Artinya, bulan Mei akan datang itu bertepatan genap 20 tahun. Dua dekade, kepulangan penyair Ajamuddin Tifani,” beber Agus.

Di antara rekan seniman yang dekat, Agus menyebut seperti Micky Hidayat, Tarman Efendy Tarsyad, Tajuddin Noor Ganie, dan yang muda seperti Ali Syamsudin Arsi dan dirinya sendiri.

BACA JUGA : Digarap Sejak 2008, Micky Hidayat Akhirnya Luncurkan Buku Leksikon Penyair Kalimantan Selatan

“Saya pribadi memanggil Ajamuddin Tifani dengan sebutan kakak, yaitu Kak Fani. Praktisi seni diabad 20 itu, antara yang muda dan tua itu kerap memanggil sebutan kakak, layaknya Kak Fani kepada Hijaz Yamani,” akunya secara langsung mendengar.

Pada masa 1979, Agus mengingat dahulu itu para seniman Banjarmasin umumnya berkumpul di sekretariat Sanggar Budaya dan sekitarnya, yang dahulu bioskop Kamajaya dan hari ini menjadi Gedung DPRD Provinsi Kalinantan Selatan.

BACA JUGA : Rekam Profil Sastrawan Lokal Periode 1930-2020, Micky Hidayat Rilis Buku Leksikon Penyair Kalsel

Pergaulan itu sendiri, menurut Agus, meski serba kekurangan secara materi, namun hidup dan kaya dengan gagasan, sikap saling menghormati, dan kompetisi kekaryaan untuk menjadi lebih baik.

“Pertama kali mengenal almarhum Ajamuddin Tifani di simpang Kertak Baru dan saat tengah malam, diusia 18 tahun itu bersama seniman yang ciri khasnya serba manual, bisa di kata kutu buku,” kata pria kelahiran 1964 itu.

BACA JUGA : Sosok Penyair Bumi Sanggam, Perjalanan Fahmi Wahid sebagai Traveler dan Kolektor Seni

Mengingat itu, Agus sempat ditawarkan tidur di bangku panjang dalam markas Sanggar Budaya, yang langsung dipertemukan dengan penyair Ajamuddin Tifani.

“Belum ada Taman Budaya Kalimantan Selatan itu, semua seniman teater, lukis dan sebagainya, berkumpul di markas milik Adjim Arijadi. Dulu, wayah kumpul di warung sejumput bersama seniman Kalsel, beredar segala informasi ada di sana. Rata-rata, mereka banyak pula berguru dengan almarhum,” tandas Agus.(jejakrekam)

Penulis Rahim Arza
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.