Polemik Pemecatan dr Terawan, Pasal Mana yang Harus Dievaluasi?

0

Oleh : dr. Meldy Muzada Elfa, Sp.PD, FINASIM

PEMECATAN permanen Letjend TNI (Purn) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad (K) sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) oleh Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) IDI rupanya menjadi ramai diperbincangkan.

BAHKAN, hal ini membuat banyak elite politik ikut berkomentar. Salah satunya adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dia menyatakan bahwa posisi IDI harus dievaluasi. “Kita harus membuat undang-undang yang menegaskan izin praktik dokter adalah domain pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan,” tutur Yasonna.

Seperti diketahui sebelumnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melaksanakan Muktamar IDI ke-31 di Banda Aceh pada tanggal 22-25 Maret 2022 yang lalu. Agenda Muktamar IDI tersebut, selain sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja IDI, juga dilakukan pemilihan Ketua IDI yang akan memimpin IDI 3 tahun yang akan datang.

BACA : Obat Virus Corona Diluncurkan, Simak Telaahan Ahli Farmakologi Fakultas Kedokteran ULM

Salah satu yang menarik adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) IDI adalah mengeluarkan keputusan pemecatan permenan terhadap mantan Meteri Kesehatan Letjend TNI (Purn) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad (K) yang memang kasusnya sudah melewati pembahasan yang cukup lama.

Terkait masalah itu, saya tentu sebagai anggota IDI tunduk dan patuh dengan hasil Muktamar IDI tersebut. Tentunya, keputusan yang dikeluarkan telah melewati mekanisme dan tahapan sebagaimana mestinya. Kita tahu semua bahwa anggota majelis kode etik kedokteran IDI adalah para dokter yang sudah mumpuni di bidangnya. Jadi, mereka tidak akan sembarangan mengeluarkan keputusan dan telah melewati diskusi dan pertimbangan yang panjang sesuai kelimuan dan kompetensinya.

BACA JUGA : Harapan Hukum Kedokteran dan Kesehatan Vs Oligarki Politik dan Finansial

Yang patut dikritisi adalah pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly terkait akan mengevaluasi undang-undang dengan mengatakan bahwa izin praktik dokter harus dikeluarkan oleh pemerintah. Undang-undang yang mana yang mau dievaluasi? Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dengan tegas sudah menyatakan bahwa izin praktik dokter itu dikeluarkan oleh pemerintah.

Pada Pasal 1 ayat (7) UU  tertulis yaitu surat izin praktek adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi persayaratan. Dokter yang sekarang lagi mengambil pendidikan subspesialis geriatri ini mengatakan bahwa memang selama ini Surat Izin Praktek (SIP) yang mengeluarkan adalah pemerintah melalui Dinas Kesehatan atau Dinas Perizinan Terpadu di kabupaten/kota setempat.

BACA JUGA : Refleksi HUT IDI ke-71; Regulasi Satu SIP atau Monoloyitas Dokter Berdasar Hukum Kontrak

Surat Izin Praktik ini keluar setelah dinas terkait menyatakan lengkap persyaratan yang diajukan. Salah satu persyaratan tersebut adalah rekomendasi IDI cabang setempat. Jadi cukup jelas bahwa IDI hanya memberikan rekomendasi, tapi yang mengeluarkan adalah pemerintah setempat melalui dinas terkait.

Mungkin saja pemerintah dapat membuat regulasi bahwa mengeluarkan SIP tanpa rekomendasi IDI. Tapi regulasi ini akan berdampak kepada produk hukum turunannya dan berdampak kepada profesi lain. Selain dokter, profesi perawat, bidan, dan apoteker juga perlu mendapatkan surat izin praktik untuk bisa bekerja, dan salah satu persyaratan adalah rekomenasi dari organisasi profesi masing-masing.

BACA JUGA : Mencermati RUU Praktik Kedokteran Usulan Pemerintah

Artinya begitu SIP tanpa perlu rekomendasi IDI, maka izin praktik profesi lain juga tidak perlu menggunakan rekomendasi organisasi profesi tersebut. Ini akan merugikan kesehatan di masyarakat karena selama ini dengan adanya persyaratan dan tahap untuk mengeluarkan izin praktik, masyarakat terlindungi dari praktek kesehatan oleh oknum profesi gadungan yang dulu hal ini sering terjadi.

Guna mendapatkan izin praktik, seorang dokter harus melewati tahapan yang cukup panjang. Bagi dokter yang pertama kali lulus, dia harus lulus ujian kompetensi yang diadakan secara nasional. Hal ini bertujuan agar dia mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai seorang dokter yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Yakni, sebuah lembaga independen yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.

BACA JUGA : RUU Pendidikan Kedokteran; Harapan Besar Bagi Masyarakat dan Dokter

Surat Tanda Registrasi inilah yang menjadi standar legalitas bahwa orang tersebut dokter asli, bukan palsu/gadungan. Selain itu, STR akan mencantumkan kewenangan dokter tersebut sesuai dengan spesialisasi masing-masing. Selanjutnya STR ini hanya dibatasi 3 lembar kopian yang akan digunakan untuk membuat Surat Izin Praktik sebanyak lembar kopian yang ada. Karena tersedia 3 lembar kopi STR, maka maksimal Surat Izin Praktik yang keluar adalah 3 buah.

BACA JUGA : Prof Ruslan Muhyi Berpulang, Guru Besar Pertama di Fakultas Kedokteran ULM

Namun sebelum dibuat SIP, maka harus ada surat rekomendasi dari organisasi profesi yaitu IDI, organisasi inilah yang akan melihat dokter tersebut apakah memang layak mendapatkan SIP atau tidak dengan melihat bagaimana keilmuan, keterampilan dan etika ketika menjalani hari-hari dengan profesi dokter.

Sebagai seorang menteri yang notabenenya adalah figure publik, sebaiknya jangan terburu-buru dalam mengeluarkan statement. Pelajari masalah secara komprehensif, temukan akar masalah, duduk diskusi bersama, baru mengeluarkan statement akan lebih arif dan bijak.(jejakrekam)

Penulis adalah Wakil Direktur RS Islam Banjarmasin

Dokter Spesialis Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.