Dua Buku Merekam Kegelisahan Sang Dokter soal Pilkada di Tengah Pandemi

0

DOKTER utama yang bertugas di Rumah Sakit Daerah Idaman (RSDI) Banjarbaru, dr Abdul Halim dengan sederet gelarnya sebagai dokter spesialisis penyakit dalam dan sarjana/magister hukum ini tergolong aktif menulis. Bahkan, tulisannya pun kritis, berani keluar dari pakem tenaga medis biasanya.

KEGELISAHAN dirinya saat pemilihan kepala daerah (pilkada) digeber di tengah pandemi virus Corona (Covid-19) makin menjepit, karena korban wabah ini tergolong tinggi dan cepat.

Ada dua tulisan yang cukup menggigit ditulis dr Abdul Halim. Di antaranya, berkolaborasi dengan pakar Pancasila, Prof P Suteki dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, serta jurnalis senior dan pengamat politik politik, Tony Rasyid.

Tulisan berjudul Osteoporosis Pilkada Langsung Serentak yang Dipaksakan di Masa Wabah. Lonceng Kematian Pelanggaran HAM? Tulisan ini membeber alasan pemerintahan Joko Widodo tetap melanjutkan tahapan suksesi serentak 2020, meski sudah ada penolakan dari banyak pihak, terkhusus dua ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

BACA : Walikota Banjarbaru Setuju Dibentuk Pansus Covid-19, dr Halim : Tak Hanya Perwali, Tapi Harus Perda!

Abdul Halim yang juga mendirikan Klinik Utama Halim Medika ini menuangkan olah pikir dan daya kritisnya dalam tulisan lainnya berjudul Pembentukan Satgas Covid-19 di daerah yang menghilangkan peran serta masyarakat, ormas, pakar kesehatan dan memarginalkan pejabat bidang kesehatan di masa pandemi yagn belum tertangani baik.

Apa alasan Anda menulis artikel yang kemudian dirangkum dalam dua buku itu? Kandidat doktor hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ini berkelindan dengan kekhawatiran massal karena pilkada masih digelar di tengah wabah mendunia Covid-19 belum bisa teratasi dengan baik dan terarah.

“Ya, isi dari buku ini lebih mengulah adanya amputasi dari pemerintah terhadap hak pelayanan kesehatan. Padahal, kesehatan merupakan hak dasar rakyat yang telah diamanatkan konstitusi,” tutur Abdul Halim kepada jejakrekam.com, Minggu (27/9/2020).

BACA JUGA : Galang Donasi, Klinik Halim Medika Banjarbaru Gulirkan Program Rapid Test Gratis

Selama ini, dokter yang juga pengacara hukum ini, hak dasar itu justru tidak sepenuhnya bisa dipenuhi pemerintah, karena pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah negara.

“Kalau kita melhat konsep yang tegas dalam UUD 1945, jelas semua warga negara Indonesia memilik hak yang sama. Saat ini, hanya masyarakat miskin yang mendapat program. Ambil contoh program bantuan iuran (PBI),” kata pendiri Pusat Kajian Hukum dan Pelayanan Publik (The Banua Law and Public Service Center).

Selama ini diakui Halim, justru dalih mengemuka karena terbatasnya biaya atau anggaran negara maupun daerah. Padahal, dinilai anggota Kongres Advokat Indonesia (KAI) mengungkap dari porsi anggaran justru hanya 3,6 persen dari PBI, artinya semua premi yang ditanggung negara dibayar minimal.

BACA JUGA : Sanksi Denda, Apa Dasar Hukumnya dalam Peraturan Walikota, Bupati atau Gubernur?

“Ini bisa terjadi, ketika hendak mendapat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan, bagi peserta BPJS Kesehatan kelas 3, bagi orang kaya atau mampu bisa menambah untuk masuk ke kelas 1 dan 2,” ucap Ketua Bidang Advokasi Mediokolegal Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Kalsel ini.

Hal ini terjadi dalam analisis Halim, akibat pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Nah, dalam dua buku berjudul Amputasi Pemerintah Terhadap Hak Pelayanan Kesehatan serta Hukum Kesehatan dan Inkonsistensi Kebijakan, Halim membeber semua tulisan itu merupakan komplikasi dari artikel yang ditulisnya.

“Sekali lagi, dalam menangani wabah Covid-19, justru terkesan kuat pemerintah tidak konsisten dalam pelaksanaannya. alim melihat juga tidak konsisten pelaksanaannya. Padahal, jelas UU itu dibuat dengan tiga tujuan utama yakni keadilan, asas kemanfaatan dan kepastian hukum. Faktanya, justru sebaliknya,” cecar Halim.

BACA JUGA : Pemberian Insentif Nakes Tangani Pasien Covid-19, Apa Dasar Hukumnya?

Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kalsel ini menegaskan kepastian hukum adalah sebuah hal mutlak bagi semua negara yang beradab. Dalam kamus Halim, kembali ia melontarkan adanya inkonsistensi dalam kebijakan pengampu negeri ini.

“Ternyata, dua buku yang saya tulis ini disambut koleganya, khususnya para dokter. Mereka malah minta dikirim, dan turut menginspirasi mereka,” kata pria yang pernah mewakili Kalsel dalam acara Pramuka di Kanada ini.

Menurut dia, dalam hal ini dirnya hanya memperjuangkan sebuah kebenaran, karena konsisten menjadi sebuah keharusan ditegakkan. Halim melihat justru saat pilkada digeber di tengah pandemi Covid-19, (meski sudah didesak tunda) namun tetap dilanjutkan bisa melahirkan klaster baru.

BACA JUGA : Abdul Halim Mundur, Pilwali Banjarbaru Bakal Mengerucut Dua Paslon

“Makanya, protokol kesehatan harus menjadi utama ditegakkan. Jadi, masalah protokol kesehatan itu bukan hanya sekadar imbauan, tapi harus ada penegakan secara hukum. Untuk itu, pemerintah harus segera membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) agar ada sanksi hukum tegas bagi peserta pilkada dan pihak terkait, ketika mengabaikan protokol kesehatan,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Ipik Gandamana
Editor DidI G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.