Menjaga Demokrasi Tak Mati Rasa dan Waja Sampai Kaputing

0

Oleh: Noorhalis Majid

DEMOKRASI  menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Bahkan C.F. Strong mengatakan, warga ikut serta berpartisipasi dan terlibat dalam sistem perwakilan, serta menjamin pemerintahan mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya kepada warga.

MAHKOTA dari demokrasi itu adalah partisipasi warga dan pertanggungjwaban kepada warga. Seluruh tahapan proses pemilu, merupakan perwujudan dari pelaksanaan demokrasi, dan penyelenggara Pemilu, bertugas memastikan warga terjamin dan terjaga partisipasinya.

Penting sekali partisipasi warga, sebab proses yang sudah demoratis pun, belum tentu akhirnya demokratis bila pada ujung warga ditinggalkan. Sudah banyak praktik demokrasi di dunia yang pada akhirnya berujung pada otoritarian, contoh paling nyata adalah Hitler.

Dia terpilih melalui proses yang demokratis, tetapi kemudian membawa Jerman kepada otoritarian, sebabnya karena hak warga dan partisipasi warga diabaikan, dianggap tidak penting. Hak dan ruang partiipasi warga bukanlah gimik atau basa-basi, tapi benar-benar mahkota dari demokrasi.

BACA : Rutin Gelar Diskusi Berbobot, Cara Forum Ambin Demokrasi Bangkitkan Kesadaran Politik Publik

Tapi tentu saja tidak semua mampu menjaga mahkota tersebut agar tetap terhormat. Contoh nyata dalam proses pemilu sekarang, jeda waktu antara daftar calon sementara (DCS) dan daftar calon tetap (DCT) adalah ruang partisipasi warga untuk terlibat dalam proses demokrasi.

Ruang tersebut mesti dijaga oleh penyelenggara agar hak warga tidak hilang. Sekalipun kewenangan mengganti daftar caleg ada pada partai politik, namun hak warga terlibat tidak boleh diabaikan.

Muncul di DCS dan hilang di DCT tanpa penjelasan yang disampaikan kepada warga, adalah bentuk PHP (Pemberi Harapan Palsu). Pun tidak ada DCS dan langsung muncul di DCT, adalah wujud penelikungan proses yang mengabaikan partisipasi warga.

BACA JUGA : Belum Berlaga di Pemilu 2024, Anang Rosadi Terdepak dari DCT DPR Partai NasDem Jadi Petaka Demokrasi

Perkara menjamin hak dan partisipasi warga, adalah soal menjaga kepekaan sensitifitas yang tidak mudah. Demokrasi yang prosedural akan berlindung pada aturan-aturan yang mengabaikan kepekaan dan sensitifitas tersebut, yang pada akhirnya demokrasi menjadi “mati rasa”.

Demokrasi Waja Sampai Kaputing

Kalimat waja sampai kaputing adalah pernyataan terkenal Pangeran Antasari. Bunyi lengkap dari pernyataan itu “haram manyarah, waja sampai kaputing”. Maknanya, apapun yang terjadi jangan mudah patah semangat. Konsisten sampai akhir atas apa yang diperjuangkan.

Waja, adalah kata lain dari baja, benda yang lebih keras dari besi. Kata ini dipinjam untuk menegaskan, bahwa sesuatu yang diyakini menjadi komitmen dan tekad, tidak boleh lemah oleh apapun. Komitmen dari awal sampai akhir di ujung, yang dalam bahasa Banjar, “sampai kaputing”.

Bagaimana meletakkan pernyataan ini dalam demokrasi? Kalau yakin bahwa demokrasi adalah cara atau metode terbaik pergiliran tata kelola pemerintahan, maka haruslah konsisten dengan prinsif-prinsif yang ada pada demokrasi tersebut.

BACA JUGA : Melek Politik Generasi Milenial, Ambin Demokrasi Dan BEM Gelar Dialog

Prinsip utama demokrasi adalah partisipasi. Siapa yang diharapkan berpartisipasi? Tentu saja warga. Partisipasi hanya mungkin terjadi, kalau ada kesadaran. Partisipasi tanpa didasari kesadaran, adalah mobilisasi. Membangun kesadaran agar mau berpartisipasi, membutuhkan waktu, tenaga dan kesabaran tinggi dalam melakukan pendidikan politik.

Karena tidak sabar, akhirnya jalan yang dipilih adalah mobilisasi. Mobilisasi hanya mungkin terjadi, bila didukung dana yang cukup. Semakin besar dana, semakin mudah memobilisasi. Dari pada habis waktu, tenaga dan kesabaran melakukan pendidikan politik, lebih baik memilih jalan pintas, yaitu mengucurkan dana untuk mobilisasi, yang oleh politik disebut money politic (politik uang).

BACA JUGA : Politik Dinasti dan Berharap Demokrasi dari Kalangan Anak Muda

Mengurangi money politic berimplikasi pada rendahnya partisipasi. Sebab upaya mencegah money politic tidak dibarengi dengan membangun kesadaran guna menumbuhkan partisipasi. Kalau konsisten, “waja sampai kaputing” memajukan demokrasi, mestinya pendidikan politik yang diutamakan.

Pertanyaan mendasar atas itu semua, berapa besar dana yang disediakan pemerintah untuk pendidikan politik?  Kalau dananya tidak banyak, jangan sesalkan massifnya money politic, karena itulah jalan pintas mobilisasi, yang kemudian diklaim sebagai partisipasi.(jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Forum Ambin Demokrasi

Mantan Ketua KPU Kota Banjarmasin

Mantan Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Kalsel

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.