Fenomena Pampangan Ilung, Bukan Normalisasi, Restorasi Sungai di Banjarmasin Patut Dikedepankan

0

FENOMENA pampangan ilung atau blokade eceng gondok yang menutupi aliran Sungai Martapura memasuki musim hujan menjadi pemandangan jamak di Kota Banjarmasin.

DAMPAKNYA terasa saat pampangan ilung itu menghalangi akses moda transportasi wisata susur sungai seperti kelotok dan lainnya di Sungai Martapura.

Puncaknya terjadi pada Rabu (18/10/2023) sore, saat hamparan eceng gondok, ranting-ranting kayu dan sampah rumah tangga yang hanyur dari hulu benar-benar memblokade akses Sungai Martapura yang menjadi jalur moda transportasi sungai.

“Dua hari sangat terasa ketika pampangan ilung memang sangat mengganggu. Kalau hujan deras dari hulu Sungai Martapura di Kabupaten Banjar, pasti pampangan ilung itu memasuki wilayah Kota Banjarmasin,” ucap Anwar, juragan kelotok wisata susur sungai kepada jejakrekam.com, Jumat (20/10/2023).

BACA : Pakar Kota ULM Sebut Benahi Sungai Di Banjarmasin Harus Berkesinambungan

Menurut dia, lazimnya ilung yang hanyut dari hulu Sungai Martapura itu berasal dari persawahan serta rawa yang ada di wilayah Kabupaten Banjar.

Senada itu, pemerhati lingkungan Syamsuddin mengakui fenomena pampangan ilung sebenarnya bisa diatasi jika pemerintah kota atau pemerintah daerah melibatkan masyarakat.

“Kalau ilung itu dianggap sebagai hama, tentu berbeda jika dilirik jadi potensi. Misalkan, saat ini sudah banyak hasil kerajinan tangan seperti tas, dompet, sandal dan lainnya berbahan eceng gondok. Bahkan, bisa dibuat menjadi karung atau wadah untuk mengurangi volume sampah di kota. Solusi semacam ini sudah berhasil ditangani di Yogyakarta, mengapa tidak ditiru oleh Banjarmasin,” kata warga Banjarmasin ini.

BACA JUGA : Revitalisasi Sungai Banjarmasin Butuh Payung Hukum, Ini Analisis dari Akademisi Uniska

Sementara itu, Sekretaris LSM Masyarakat Memperdulikan Fungsi Sungai (Mamfus), Rakhmat Nopliardy mengakui fenomena pampangan ilung merupakan hal yang tak bisa dihindari di Sungai Martapura serta sungai-sungai lainnya di Banjarmasin.

Menurut Rakhmat, selama ini kebijakan yang diterapkan Pemkot Banjarmasin hanya normalisasi sungai, bukan berbasis revitalisasi terlebih lagi restorasi sungai.

“Alhasil, normalisasi sungai itu akhirnya berbasis pendekatan proyek, bukan bicara secara holistik. Padahal, dengan kondisi sungai-sungai di Banjarmasin yang telah mengalami kerusakan harusnya diterapkan kebijakan restorasi sungai,” papar Rakhmat.

BACA JUGA : Tangkal Banjir Banjarmasin Tak Bisa Hanya Andalkan Program Normalisasi Sungai Veteran

Dalam menghadapi fenomena pampangan ilung di Sungai Martapura, Rakhmat mengatakan masyarakat sebenarnya bisa diberdayakan dalam program padat karya, tak hanya menerjunkan kapal sapu-sapu.

Akademisi Fakultas Hukum Uniska MAB mengatakan saat ini kebijakan restorasi sungai telah diterapkan Eropa dan Amerika Serikat, ketika menyaksikan kondisi ekologi dan ekosistem sungai telah mengalami kerusakan parah.

“Model penyiringan dengan betonisasi bantaran sungai itu telah lama ditinggalkan di Eropa. Celakanya, model semacam ini justru ditiru dan diterapkan di Banjarmasin. Akhirnya, kerusakan ekosistem dan ekologis sungai di Banjarmasin terjadi, dengan hilangnya keberagaman biota akuatik sungai,” kata Rakhmat.

BACA JUGA : Sikapi Sungai Martapura Tercemar, DLH Banjarmasin Didesak Segera Lakoni Riset Pembanding

Menurut dia, dalam studi pembangunan sungai sebenarnya tidak lagi didominasi para insinyur rekayasa sipil, namun harus melibatkan bidang ekologi, pertanian, perikanan hingga lingkungan hidup. Masuknya disiplin ilmu baru ini ternyata telah memulai babak baru pemikiran pengembangan sungai ke arah restorasi dan konservasi sungai.

“Sebab, restorasi sungai itu merupakan ikhtiar untuk renaturalisasi sungai. Artinya, mengembalikan sungai seperti aslinya, bukan malah disiring atau dibetonisasi,” kata mantan anggota DPRD Kalsel dari Fraksi PAN ini.

BACA JUGA : TRGD Kalsel Usulkan KHG Maluka-Martapura dan Sungai Utar-Serapat Masuk Program 2023

Dia menyebut kebijakan pemerintah kota dalam program normalisasi berbasis antroposentris, bukan lagi bicara lingkungan.

“Oke program normalisasi sungai sebagai langkah awal penyelamatan sungai, tapi harus ditingkatkan lagi dengan revitalisasi sungai yang tidak boleh tawar-menawar lagi. Kemudian, lebih tinggi lagi adalah restorasi sungai,” pungkas Rakhmat.(jejakrekam)

Penulis Sirajuddin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.