Revitalisasi Sungai Banjarmasin Butuh Payung Hukum, Ini Analisis dari Akademisi Uniska

0

BANJIR dan revitalisasi sungai menjadi sorotan pakar hukum lingkungan Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al Banjary, Dr Nurul Listiyani dan koleganya, akdemisi kampus tersebut, Rakhmat Nopliardy.

“SUNGAI merupakan objek vital dari kehidupan, bahkan hampir keseluruhannya mencakup kehidupan manusia. Terutama, bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai pasti memanfaatkan keberadaan sungai,” ucap Nurul Listiyani kepada awak media, usai Seminar Hukum Lingkungan; Revitalisasi Sungai dalam Perspektif Hukum di Fakultas Hukum Uniska MAB, Banjarmasin, Sabtu (10/4/2021).

Agar memberi manfaat berkelanjutan, Nurul pun menyarankan butuh regulasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Termasuk, Perda Sumber Daya Air (SDA) Provinsi Kalimantan Selatan ternyata masih mencantol UU SDA Nomor 7 Tahun 2004 yang telah ditarik dan dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), pada 18 Februari 2015 lalu.

“Makanya, dibutuhkan regulasi berupa turunan peraturan agar bisa mengelola sungai yang memberi manfaat berkelanjutan. Untuk itu, perda yang ada di Kalimantan Selatan, terkhusus Banjarmasin mengatur soal sungai itu harus segera disinkronkan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya,” papar  Ketua Tim Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) Uniska MAB ini.

BACA : Pakar Fikih Lingkungan UIN Antasari Sebut Bangunan Di Atas Sungai Langgar Hukum Islam

Senada itu, dosen FH Uniska MAB, Rakhmat Nopliardy pun mengakui ketika aturan itu telah dibatalkan MK, dan termasuknya adanya regulasi tergabung dalam UU Omnibus Law.

“Makanya, dibutuhkan sikap tegas dari pemerintah (daerah) dalam mengambil kebijakan dengan adanya trumatik masyarakat terhadap banjir. Terkhusus di Banjarmasin,” ucap mantan anggota DPRD Kalsel ini.

Menurut Rakhmat, langkah kebijakan hukum mengatasi banyak persoalan khususnya banjir dan mengantisipasi di kemudian hari, sehingga bisa memberi ruang untuk memelihara sungai dan partisipasi masyarakat dalam membantu pemerintah daerah.

“Makanya, revitalisasi sungai itu menyangkut kewenangan pemerintah daerah dalam otonomi daerah. Tentu, revitalisasi sungai juga menyangkut soal proyek, tapi juga berdampak kepada masyarakat agar tak memicu banjir, seperti yang dialami warga Kalsel pada Januari 2020 lalu,” kata Rakhmat.

BACA JUGA : Sudah Lewat Tenggat, Satgas Normalisasi Sungai Banjarmasin Belum Bongkar Bangunan Pemicu Banjir

Sekretaris LSM Mamfus ini menegaskan saat itu, luapan air yang mengakibatkan banjir itu hanya berasal dari wilayah Kalsel sendiri, bukan kiriman dari daerah tetangga seperti Kalimantan Tengah.

“Tentu yang paling parah akan dialami Banjarmasin dengan kontur atau tofografinya. Makanya, pemerintah kota harus punya payung hukum dalam memayungi proyek revalitasi sungainya. Tapi, tidak sepenuhnya meminta tanggungjawab pemerintah kota, tapi perlu partisipasi masyarakat,” tutur Rakhmat.

Ia mengatakan ketika Banjarmasin menetapkan status tanggap darurat saat banjir yang menggenangi hampir seluruh wilayah merupakan bentuk payung hukum.

“Terserah apakah itu kepentingan proyek atau apa, bicara sungai tentu harus memfokuskan sistematika dalam ruang sungai dan pembukaan air agar banjir yang dialami Banjarmasin tak terjadi lagi,” tandas politisi PAN ini.(jejakrekam)

Penulis Rahm Arza
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.