Pangeran Alie, Rumah Lanting dan Normalisasi Aliran Sungai Kuin

1

Oleh : Iberahim

SALAH satu warisan budaya Banjar yang usianya setua Kota Banjarmasin adalah rumah lanting. Namun saat ini budaya berumah lanting sudah mulai ditinggalkan. Ini salah satunya karena adanya perubahan pola orientasi dari sungai ke darat.

PERKEMBANGAN jalur darat dan arus globalisasi yang cepat berdampak pada mulai ditinggalkannya rumah lanting sebagai bagian lokalitastradisi budaya sungai masyarakat kota Banjarmasin. Kota Banjarmasin akan kehilangan salah satu identitasnya.

Lanting bukan hanya menjadi tempat tinggal khas penduduk Banjar tapi pada zaman Negara Daha dulu malah menjadi benteng pertahanan. Dalam Hikayat Banjar diceritakan “Hatta — banyak tiada tersebut — jadi segala sikap orang desa segala siap, serta desa itu datang, yang hampir-hampir itu, dengan senjatanya. Sudah itu Pangeran Tumanggung hilir lawan bala tenteranya itu serta senjatanya, dengan gamelannya serta perhiasannya. Sudah itu datang ke Muara-Bahan maka dilihat oleh orang balanglang itu perahu hilir seperti ayam beranakan, serta lanting kotamara empat lima buah, orangnya beribu-ribu. Maka yang balanglang itu bersegera-segera hilir. Maka berkata ia kepada Patih Masih seperti yang dilihat itu.

BACA : Denyut Kota Kanal Warisan Belanda yang Terabaikan

Maka Patih Masih datang kepada Pangeran Samudra menyembahkan seperti kata yang berlanglang itu. Maka Pangeran Samudra menyuruh Patih Masih, Patih Balitung, Patih Muhur, Patih Kuwin bertata gagaman, bertata perahu sikap. Serta orang dagang sekalian sudah bertata berlabuh banawanya. Maka banyak tiada tersebut-suratkan.

Datang sikap Pangeran Tumanggung itu, maka berperang orang itu: ada berlanggar, ada yang bersumpit, ada yang beradak, ada yang bertombak itu dengan sorak-soraknya. Bunyi bedil seperti guruh, nyala djirat seperti kilat, asap sandawa seperti kukus api menyalukut rumah. Maka haru-haralah orang itu di hujung pulau Halalak itu, serta orang dagang bertolong itu. Banyak tiada tersebut itu.

Kalah sikap Pangeran Tumanggung itu. Banyak yang mati. Lanting kotamara itu rosak oleh bedil. Hendak mahunggahi ke pinggir orang Pangeran Tumanggung itu, tiada kuawa oleh sumpit oleh tenggar. Perahunya tiada beroleh ke pinggir, kehalangan tjarutjuk. Maka habis lari, setengah tertawan rakyat Pangeran Tumanggung itu. Maka Pangeran Tumanggung kembali mudik. Rakyat Pangeran Tumanggung hilir itu kira-kira orang tiga laksa. Yang mati kira-kira tiga ribu. Rakyat Pangeran Samudra berlawan di Bandjar itu kira-kira orang tujuh ribu, orang dagangkira-kira seribu. Yang mati kira-kira orang dua ratus.

BACA JUGA : Jati Diri yang Telah Terlupakan, Banjarmasin Sebenarnya Kota Seribu Kanal

Selain sebagai benteng, lanting juga sebagai istana raja. Masih dalam Hikayat Banjar hal ini dikisahkan. Ketika Pangeran Bagawan (Pangeran Antakusuma) berangkat (dari Kuin) ke Kotaringin di mana Kiai Gede mengiktirafkan baginda sebagai raja dan ia sendiri (Kiai Gede) mengambil tempat/jabatan sebagai mangkubumi.

Walau bagaimana pun, Ratu Bagawan, gelarannya selepas ini, tidak bersemayam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit yang besar yang ditambatkan di hadapannya. Baginda mendapat seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikahwininya di sini.

Cerita diatas memperlihatkan lanting sebagai sebuah kebanggaan. Sampai-sampai nama anak rajapun diberi nama Puteri Lanting. Akankah kebanggaan itu sekarang makin terkikis?

Menurut jurnal Muhammad Zaini asal Universitas Negeri Malang berjudul “Upaya Mengenalkan Model Rumah Lanting yang Ramah Lingkungan Untuk Mengurangi Laju Abrasi Sungai Martapura Dalam Wilayah Kota Banjarmasin” yang dipublikasikan tahun 2008 menyebutkan bahwa sarana dan prasarana transportasi darat yang makin baik berakibat rumah lanting kurang diminati oleh penghuninya.

BACA JUGA : 83 Tahun Silam Banjir Besar Melanda Martapura, 23 Jiwa Jadi Korban

Namun demikian, saat ini (2008) masih tersisa sebanyak 132 buah rumah lanting di sepanjang Sungai Martapura dan sebanyak 11 buah di Sungai Barito dekat muara Sungai Kuin. Kehadiran rumah lanting masih dilematis bagi pengambil kebijakan di kota seribu sungai ini. Pada satu sisi ada pengakuan oleh pemerintah kota, sehingga kelak sepanjang Sungai Martapura akan dijadikan permukiman di atas air seperti Kota Banjarmasin pada tahun 50-an. Akan tetapi pada sisi lain penggusuran rumah lanting terus berlangsung.

Gagasan-gagasan ideal yang telah dilontarkan pemerintah kota, ternyata di dalam pelaksanaannya tidak selalu berjalan mulus, bahkan cenderung bertentangan dengan keinginan semula. Rumah lanting yang seyogyanya harus dipertahankan, ternyata menjadi sasaran penggusuran.

BACA JUGA : Cina Banjar dan Sepenggal Kisah dari Rumah Lanting

Dilematis memang. Di satu sisi lanting adalah kebanggaan identitas tapi disisi lain bisa menjadi masalah dan harus digusur. Diera 1920-an, masalah lanting ini sampai dibawa ke Dewan Kota (Gementeeraad). Adalah Pangeran Muhammad Alie yang menggagasnya. Dia sebagai Districhoofd Bandjermasin saat itu.

Pangeran Alie merupakan salah satu buyut dari Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Ayahnya bernama Pangeran Muhammad Tambak Anyar bin Pangeran Noh (Ratu Anom Mangkubumi Kencana). Dari perkawinannya dengan Ratu Intan Binti Pangeran Kasumagiri Bin Pangeran Jaya Sumitra (raja Pulau Laut I) melahirkan Ir Pangeran Mohamad Noer, Pahlawan Nasional Indonesia asal Kalimantan Selatan.

Ketika dia menjabat Districhoofd Bandjermasin, pada tahun 1927 pernah juga melakukan upaya penggusuran terhadap rumah lanting. Upaya dilakukan dengan tujuan agar seluruh wilayah Soengei Kween bebas dari hambatan untuk lalu lintas angkutan sungai.

BACA JUGA : Kota Marabahan Diyakini Lebih Tua Dibandingkan Banjarmasin

Dalam artikel panjang di Koran De Indische Courant terbitan Selasa 18 Januari 1927 berjudul Fatale Gemeente-Politiek atau bisa diterjemahkan sebagai Kebijakan Kota Yang Fatal. Koresponden koran tersebut melaporkan dari Bandjermasin. Demi orientasi yang benar pertama-tama kita harus memberikan pengantar, sehingga menjadi jelas mengapa.

Bandjermasin adalah pelabuhan, juga pelintas cekungan sungai Barito, Kapuas dan Kahayan, dua sungai terakhir dihubungkan satu sama lain dan akhirnya disatukan melalui kanal Anjir Sarapat dengan sungai Barito.

Sambungan terpendek dan karena itu paling populer untuk jalur navigasi perahu, dari muara Kanal Serapat, dan dari Barito ke Kota Bandjermasin, dibentuk oleh Soengei Kween yang relatif sempit.

BACA JUGA : Rumah Adat Banjar yang Kini Berada di Persimpangan Jalan

Siapapun yang mengunjungi jalur air ini akan kagum dengan lalu lintas yang sibuk dan kegiatan hiburan yang berlangsung di atasnya; Perahu dan perahu yang tak terhitung jumlahnya yang dengannya orang-orang pedalaman mengangkut hasil hutan mereka untuk pasar di Bandjermasin, lewat sini banyak perahu perdagangan, penuh dengan barang dagangan, didayung kembali ke pedalaman. Aktivitas di jalur air ini sangat besar.

Bertahun-tahun yang lalu lalu lintas yang padat ini berdampak pada ratusan pedagang Pribumi yang menetap di rumah rakit di tepi sungai atau di atas air, untuk menjalankan bisnis kecil mereka di sana.

Dan pasar yang lengkap telah dibuat di atas air; di kedua sisi banyak rakit ditambatkan di samping satu sama lain, meninggalkan sebuah lorong di tengah untuk perahu datang dan pergi.

Penduduk telah menjalankan bisnis warung mereka di atas air selama beberapa generasi; Hak perdagangan serta tempat berlabuhnya rumah rakit diturunkan dari orang tua ke anak, dan seiring berjalannya waktu muncullah, mengenai rakit dan tambatan, hak milik yang dirasakan oleh orang-orang sebagai hak adat. Itu terjadi beberapa kali baik lanting yang berada ditikungan atau tempat berlabuh rakit yang lain yang lebih disukai di Soengei Kween dijual.

BACA JUGA : Tanpa Perlindungan Hukum, Rumah Berarsitektur Banjar di Sungai Jingah Bisa Punah

Beberapa waktu yang lalu Districhoofd Bandjermasin, Pangeran Alie, menginformasikan kepada para penghuni rumah rakit/rumah lanting bahwa beliau sebelumya memutuskan untuk membersihkan rumah-rumah rakit agar seluruh Soengei Kween dibebaskan untuk lalu lintas.

Laporan ini telah menyebabkan keributan yang cukup besar di antara pihak-pihak yang berkepentingan, karena tindakan tersebut akan membuat ratusan orang kehilangan tempat tinggal dan putus asa, sementara hak milik mereka yang sudah berumur beberapa generasi terancam di berbagai tempat di sepanjang tepi sungai.

Banyak yang takut dipindahkan dari tempat tinggal mereka dan tambatan rakit yang sudah mereka bayar mahal. Dengan menutup warung, banyak keluarga kehilangan mata pencaharian mereka.

Penduduknya bertanya-tanya tentang hal berikut: Siapa yang mengganti uang  yang kita gunakan untuk membeli rumah kita dan ke mana kita harus pergi? Siapa yang membayar kami nilai ganti rugi dermaga rakit yang diambil dari kami? Di mana kami dapat melanjutkan bisnis toko kecil kami? Lantas di mana kita bisa membangun rumah baru?

BACA JUGA : Senja Kala Pasar Terapung Kuin dalam Memori Tersisa Mendiang ‘Acil RCTI Oke’

Pangeran Alie telah mencoba untuk menjawab pertanyaan terakhir. Setelah beberapa kali berdiskusi dengan penghuni rakit, ia sampai pada kesimpulan bahwa, dengan mempertimbangkan bahwa orang ingin menetap sedekat mungkin dengan tempat rakit mereka saat ini ditambatkan, kawasan yang paling cocok untuk permukiman adalah di Selatan Kween, asalkan situs yang masih berupa rawa ini dapat memperoleh drainase di Soengei Kween dengan cara menggali dua parit, sehingga kurang lebih cocok untuk pemukiman disana.

Sebagai districhoofd, berbicara atas nama penduduk, Pangeran Alie mengusulkan kepada rapat Dewan Kota (Gementeeraad), di mana anggaran kota untuk tahun 1927 dibahas, untuk mengalokasikan pos dana f 4000, – untuk penggalian parit di kawasan selatan Soengei Kween, ganti rugi warga penghuni rumah lanting yang digusur, yang kemudian bisa membangun kembali rumahnya di sana.

Penghuni rumah lanting tahu bahwa Pangeran Alie akan membuat proposal di atas dan yakin bahwa permintaan sederhana ini akan dikabulkan oleh Dewan Kota.

BACA JUGA : Melacak Jejak Keraton Banjar, Apakah di Kuin atau Pulau Tatas?

Yang sangat mengecewakan bagi Pangeran Alie, dan para anggota dewan kota yang mewakili penduduk asli lainnya, perkataan Ketua yaitu Asisten Residen Jhr B.C.C.I M.M. van Suchtelen mengatakan bahwa dia menyukai usulan Pak Pangeran Alie, tetapi dia segera menambahkan bahwa dia mengusulkan untuk mengajukan subsidi pemerintah untuk penggalian parit.

Anggota yang berasal dari Pribumi saling memandang dan tidak mengatakan apa-apa lagi; sekali lagi mereka memperoleh pengalaman yang lebih kaya dan ilusi yang lebih buruk.

Sehari setelah pertemuan koresponden koran ini berbicara dengan beberapa anggota dewan kota. Ia menyatakan bahwa mereka sangat tidak senang dengan tindakan ketua, karena usulan Tuan Van Suchtelen ‘menyesatkan’, sedangkan pemerintah memberikan subsidi untuk pembangunan gedung baru, jalan, perbaikan berat pada jalan dan jembatan atau untuk rencana pengujian lengkap, … tetapi tidak pernah untuk menggali dua parit.

BACA JUGA : Jembatan Coen, Penghubung Dua Tepian dan Kutipan Tol Sungai

Atas pertanyaannya mengapa mereka tutup mulut pada pertemuan tersebut, dia menerima jawaban bahwa mereka tahu dari pengalaman bahwa komentar mereka masih akan sia-sia. Pangeran Alie kini kembali ke masyarakat dengan tangan kosong, yang sebenarnya pengaruhnya dan prestisenya tidak bisa diabaikan.

Pendapat beberapa anggota dewan kota, dan penduduk penghuni rumah lanting yang merasa tertipu, adalah bahwa uang dapat diadakan untuk dan untuk kepentingan kelompok penduduk lainnya, tetapi kepentingan vital Penduduk Asli yang sederhana diabaikan begitu saja.

Sejumlah f (golden) 2000 dialokasikan untuk meningkatkan lapangan sepak bola, dan f 10.000 untuk pembelian tiga motor penyemprot api, satu atau paling banyak dua di antaranya mendesak. Akan tetapi pemerintah kota sedang membangun hotel yang sangat mahal untuk orang Eropa, nilai biayanya tidak dapat diperkirakan, tetapi ketika ratusan Pribumi digusur dari rumah mereka “untuk kepentingan umum”. Ketua Dewan Kota tidak dapat mengalokasikan f 4000 untuk menawarkan kepada para korban ini setidaknya sebidang tanah untuk membangun rumah sederhana.

BACA JUGA : Diawali Orang Bugis, Tajau Kuin Pernah Menembus Pasar Seni Bali

Dan kemudian mereka bergandengan tangan. Sejurus menggelengkan kepalanya dan tidak mengerti ketika satu bagian dari penduduk tidak mempunyai pengaruh, getir, dan dibuat putus asa, karena tindakan-tindakan yang diambil “untuk kepentingan umum”. Dilematis memang.

Sekarang ini rumah lanting semakin berkurang semakin menuju kepunahan. Karena itulah akhir-akhir ini Pemerintah Kota Banjarmasin mulai giat mempromosikan rumah lanting. Salah satunya dengan menciptakan destinasi wisata baru guna menunjang julukan Kota Banjarmasin sebagai Kota Seribu Sungai.

Pemkot Banjarmasin melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) membangun fasilitas Rumah Lanting di Teluk Masjid Kelurahan Mantuil Kecamatan Banjarmasin Selatan untuk semakin memperkuat identitas Banjarmasin sebagai kota sungai. Apalagi musim banjir ini rumah lanting bisa menjadi salah satu alternatif hunian yang mungkin bebas dari bahaya banjir.

Semoga ke depan ketika rumah lanting semakin bertambah, ada regulasi yang jelas baik dari sisi aturan maupun sisi tata ruangnya. Dan kita semakin menghargai dan mencintai rumah lanting sebagai identitas budaya kita.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Sejarah Banjar

Ketua Lembaga Adat Kerajaan Pulau Laut Korwil Banjarmasin

Sekretaris Syarikat Adat, Sejarah dan Budaya (Saraba) Hulu Sungai

Pencarian populer:rumah lanting zaman dulu
1 Komentar
  1. Tatik berkata

    Informatif dan keren….👍

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.