Batola 2023, Menjaga Kondisi Tetap Kondusif

0

(Catatan Menjelang Hari Jadi Kabupaten Barito Kuala ke-63 Tahun)

Oleh : Nasrullah

KITA sepakat bahwa kondisi Batola harus tetap kondusif. Namun ada yang harus digarisbawahi, bahwa tahun 2023 berarti pula memasuki tahun politik dan juga peran pemimpin daerah masa transisi melalui Penjabat Bupati harus benar-benar di atas jalan lurus hingga mengantarkan kepada pemimpin hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2024.

APALAGI salah satu tugasnya adalah memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Seturut hal tersebut, saya menekankan pada situasi Batola yang tetap kondusif terbagi dua bagian. Pertama, kondisi pemerintahan dan kedua kondisi masyarakat Batola itu sendiri.

Inovasi atau Evaluasi?

Kita masuk bagian pertama, yakni kondisi pemerintahan. Pada mulanya saya sangat sepakat dan mendukung pernyataan Penjabat Bupati Batola yang diberitakan Jejakrekam.com (30/12) dalam judul berita Tahun 2023 Setiap SKPD Minimal Cetuskan Satu Inovasi menyatakan bahwa “Kalau sudah di level kepala dinas itu tentunya harus ada inovasi..” Saya berpandangan, pernyataan itupun sudah inovasi. Bagi saya, mencapai inovasi (pembaharuan) sudah hebat apalagi kalau dipertajam invention (reka cipta) dan discovery (temuan yang sudah ada) tentu luar biasa.

BACA : Ada 3 Isu Penting Bisa Diserap, Antropolog ULM Usul Penjabat Bupati Batola Berkantor di Kuripan

Alih-alih menguatkan inovasi itu, saya malah tertarik pada pernyataan lanjutan yakni “…Kalau sampai tidak ada ya kita evaluasi posisinya nantinya,” lalu pertanyaan saya, ada apa dengan pernyataan lanjutan ini? Mari kita cetak tebal kata-kata “evaluasi posisinya nanti” yang diucapkan kepada publik melalui media sebagai kata-kata yang mengandung power karena disampaikan oleh penjabat bupati yang dibackup oleh Surat Edaran Mendagri Nomor 821/5492/SJ tertanggal 14 September 2022 bahwa penjabat daerah diberikan kewenangan untuk melakukan mutasi. Di level pusat, anggota DPR mengkritik edaran ini karena rawan menyalahgunakan kewenangan (abuse power).

BACA JUGA : Tanyakan Kinerja Pj Bupati Batola ke Depan, Akademisi ULM Ingatkan DPRD Tak Boleh Diam

Di tingkat daerah, pernyataan tersebut memberikan tekanan kepada para bawahan baik pimpinan SKPD, atau kepala dinas, kepala badan dan lain sebagainya. Sedangkan, bagi anggota masyarakat yang kritis, mereka akan berfikir komparatif dengan mempertanyakan apakah Bupati sebelumnya pernah menyampaikan statemen yang sama di media.

Saya beranggapan ucapan evaluasi itu cenderung ke retorika kekuasaan, padahal akan lebih baik jika ucapan selengkapnya adalah “Kalau sudah di level kepala dinas itu tentunya harus ada inovasi. Kita akan membentuk tim penilai karena akan mengkompetisikan inovasi masing-masing kepala dinas untuk mendapatkan inovasi yang terbaik. Jika inovasi itu dapat menjadi model dinas lain, kabupaten lain atau berprestasi tingkat nasional maka akan ada penghargaan bagi kepala dinas tersebut,”

BACA JUGA : Tahun 2023 Setiap SKPD Minimal Cetuskan Satu Inovasi

Andai ucapan ini dilontarkan, atmosfer kompetitif akan mengisi udara yang segar bagi birokrasi di Batola di bawah pimpinan Penjabat Bupati yang baru dilantik kurang lebih sebulan lalu. Hal yang perlu ditelaah jika mengutamakan “evaluasi posisi”, maka inovasi yang dilakukan hanya untuk keluar dari margin bawah saja atau berkisar pada level standar yang biasa-biasa saja atau dalam bahasa Scoot adalah safety first (mengutamakan keselamatan) bagi masing-masing kepala dinas. Jika begini saja, saya hanya bisa mengatakan dengan lirih “Batola Biasa”.

BACA JUGA : Evaluasi HGU Korporasi Sawit di Desa Jambu dan Jambu Baru, Ini Catatan bagi DPRD Batola

Namun jika diciptakan iklim inovasi yang kompetitif hingga level maksimal, maka kita akan menemukan kilauan berlian berasal dari kemampuan para kepala dinas di Pemerintah Kabupaten Batola. Maka dengan penuh kebanggaan saya akan berseru dengan keras “Batola Bisa”.

Konflik Masyarakat dengan Pihak Perusahaan Sawit

Bagian kedua yakni kondisi masyarakat Batola terutama menghadapi keberadaan perusahaan sawit yang selalu ada potensi dan letupan konflik di berbagai daerah kecamatan. Kondisi ini sudah terjadi dan saya yakin akan terus berlangsung selama perusahaan itu tidak memperbaiki relasinya dengan masyarakat.

BACA JUGA : Minta Presiden Jokowi Turun Tangan, Petani Plasma Sawit Mengadu ke Kejari Batola

Saya tidak hanya terlibat langsung bersama masyarakat dalam menghadapi kerakusan ekspansi perusahaan sawit, menangkis retorika hukum yang digunakan, menjaga relasi antar warga (antar desa, antar kecamatan) agar tetap harmonis, juga sering menerima kedatangan masyarakat yang mengeluh atas kehadiran pihak perusahaan sawit di wilayah mereka. Dari pengalaman tersebut, dua hal umum terkait konflik antara warga Batola versus pihak perusahaan sawit.

Pertama, konflik antar warga versus perusahaan sawit yang berbatasan wilayahnya. Konflik seperti ini bisa terjadi karena ancaman pencaplokan wilayah mereka oleh pihak perusahaan, dampak limbah sawit, atau dampak operasional perusahaan sawit juga subkontraktornya seperti angkutan sawit.

BACA JUGA : Gerakan Laung Bahenda, Sebuah Perlawanan Simbolik dan Kearifan Dayak

Kedua, konflik antar warga versus perusahaan sawit dalam areal perusahaan sawit. Konflik ini bisa terjadi karena isu tenaga kerja (gaji, PHK, dan permainan oknum), tata kelola koperasi sawit yang amatir dan tidak transparan kepada anggotanya,  janji-janji pihak perusahaan sawit entah terlambat, tidak ditepati atau diabaikan.

Konflik masyarakat versus perusahaan sawit ini akan semakin menemukan bahan bakarnya jika ada pihak atau oknum yang memancing di air keruh demi kepentingan pribadi, berpihak pada perusahaan, dan mengabaikan hak-hak masyarakat.

BACA JUGA : Eks Bupati Batola : Kabut Asap Bukan Hanya Dipicu Pembukaan Kebun Sawit

Dalam kondisi menghadapi tahun politik, saatnya Pemerintah Kabupaten di bawah pimpinan Penjabat Bupati berupaya untuk menekan potensi konflik dengan keberpihakan kepada masyarakat dan tidak terlena pada retorika investasi yang dibawa oleh perusahaan sawit.

Alangkah baiknya ada tim terpadu penanganan konflik sawit yang melakukan tindakan preventif, akomodatif dan evaluatif untuk memposisikan masyarakat Batola menjadi tuan di rumahnya sendiri.

Keinginan masyarakat itu sederhana saja, bagi mereka yang tidak mau perusahaan sawit beroperasi di tempat mereka itu semata-mata karena mereka ingin mandiri, sejahtera dan maju di atas kaki sendiri sebagaimana yang telah dilakukan jauh sebelum perusahaan sawit ada.

BACA JUGA : Diadili PN Marabahan, Pemkab Batola Digugat Kades Kolam Kanan Senilai Rp 16,7 Miliar Lebih

Bagi masyarakat yang menerima kehadiran perusahaan sawit, alat ukurnya sederhana juga, mereka ingin hidup lebih baik dari sebelum ada perusahaan sawit bukan sekadar menerima retorika atau omong kosong belaka.

Akhirnya, jika Batola tetap kondusif dari kondisi pemerintahan dinamis dan kompetitif, lalu kondisi sosial masyarakat yang tenang tanpa ada atau bersama perusahaan sawit, saya percaya dari Batola Bisa akan menjadi Batola Luar Biasa! Dirgahayu 63 tahun Kabupaten Barito Kuala! (jejakrekam)

Penulis adalah Warga Kecamatan Kuripan Batola

Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi ULM

Tengah Belajar di S3 Antropologi UGM Yogyakarta

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.